Penulis
Intisari-Online.com -Sebuah penggalan bait tembang lawas “First Love Never Dies” yang dipopulerkan Walker Brothers seolah pas untuk mewakili perasaan Stacey Rock dan Ed Schiller, dua sejoli yang kini tak muda lagi. Stacey benar-benar tak bisa melupakan peristiwa yang terjadi lebih dari 20 tahun lalu, ketika dia dan Ed menjalin cinta monyet.
”Masih terbayang adegan menjelang ciuman pertama kami. Waktu itu sama-sama masih SMA dan Ed kakak kelas saya. Ha ha ha, kami sama-sama malu sehingga terasa kagok saat melakukannya,” Stacey tertawa mengingat kembali kejadian “memalukan” tapi menyenangkan itu.
Setelah Ed lulus SMA dan memutuskan untuk melanjutkan kuliah di lain kota, kisah mereka berubah drastis. Tak bisa mentoleransi cinta jarak jauh, keduanya memutuskan berhenti pacaran begitu saja. Masih sama-sama muda, dua-duanya sama-sama tak mau kalah. Meski seusai menyelesaikan kuliah, saat Ed kembali ke kampung halamannya di Boston dan bersua lagi dengan Stacey, hubungan cinta mereka nyambung lagi.
”Begitulah, hubungan kami seperti aliran listrik yang kadang putus, kadang nyambung. Mungkin juga karena kami terlalu saling mencintai,” sambung Stacey.
Stacey yang tak ingin kehilangan kekasih untuk kali kedua, langsung minta Ed melamarnya. Sejak dulu, Stacey memang ingin kawin muda. Permintaan tersebut belum bisa dipenuhi Ed sebab merasa belum siap. Lagi, mereka berpisah. Kali ini lebih serius, karena bertahun-tahun keduanya tak saling tukar kabar. Stacey yang kecewa mengambil jalan pintas dengan menikahi pria yang sebenarnya tidak (dan tidak pernah) ia cintai, Jim Brescia, yang sembilan tahun lebih tua darinya. Setelah menikah selama sekitar tujuh tahun, Stacey dan Jim dikaruniai tiga orang anak.
Tahun 2005, Stacey yang saat itu berusia 36 tahun berjumpa lagi dengan Ed (saat itu 39 tahun). ”Aneh, getaran itu ternyata masih ada. Tanpa diduga, kami langsung lengket. Tiba-tiba saja hal-hal gila yang dulu terjadi, muncul lagi. Kami tidak ingin berpisah lagi, kali ini bertekad saling melindungi apa pun yang terjadi, dan mencoba memulai lagi apa yang pernah kami tinggalkan dulu,” papar Stacey.
Kebetulan, saat itu rumah tangga Stacey dan Jim tengah berada di titik nadir. Stacey mengajukan gugatan cerai dan mereka tengah mengurus perceraian di pengadilan. Sambil menunggu turunnya surat cerai, atas permintaan Stacey, Hakim melarang Jim tinggal di rumah mereka. Jim pun terpaksa hengkang. Larangan pengadilan itu membuat Stacey kian leluasa berhubungan dengan Ed. Cinta lama yang terkubur bertahun-tahun betul-betul bangkit kembali.
Setidaknya hingga 13 Januari 2006. Saat Ed ditemukan tewas secara mengenaskan di mobilnya!
Musik di slot parkir
Di pagi yang begitu dingin, Jumat, hari ketigabelas di bulan Januari 2006 itu, seperti biasanya, Ed menggeber Nissan Maxima kesayangannya – menuju kantor. Tak banyak halangan, karena jalan masih lumayan sepi. Tak juga di luar kebiasaan, ketika dia memarkir mobilnya di gedung parkir tak jauh dari kantornya. Ed juga tak lupa pada kebiasaan barunya di beberapa pekan terakhir: menyempatkan diri menelepon Stacey sebelum beraktivitas.
Mereka berbincang beberapa menit, sekadar ”say hello” dan bertukar kabar.
Pembicaraan diakhiri janji Stacey, ”I’ll talk to you later.” Sebuah janji yang tak pernah terpenuhi, karena sebelum sempat keluar dari mobil, sang pacar keburu didatangi seseorang yang langsung menyarangkan peluru panas di kepala Ed. Tubuh Ed ditemukan sudah dalam keadaan tak bernyawa oleh karyawan pengelola gedung perparkiran, di salah satu slot parkir di gedung dua lantai yang terletak tak jauh dari Aronson Insurance, tempat Ed tercatat sebagai pegawai.
Ed selama ini punya kebiasaan unik yang tak mudah dilupakan para karyawan tempat parkir tersebut. Ia biasa datang ke gedung parkir pagi-pagi sekali, pada pukul 7.45, lalu menghabiskan waktu sekitar 15 menit untuk mendengarkan musik di kursi depan mobil, sebelum akhirnya berjalan kaki menuju kantor. Kebiasaan yang telah berlangsung bertahuntahun itu, tentu membuka peluang sang pembunuh – siapa pun dia – untuk dengan leluasa menghabisi korban.
Polisi, datang ke tempat kejadian perkara tak lama setelah dilaporkan pengelola perkarkiran, tidak menemukan jejak penting. Tak ada pistol, sidik jari, atau sesuatu yang bisa dites DNA. ”Ini lebih mirip eksekusi. Korban sama sekali tak diberi kesempatan melakukan perlawanan. Tanpa banyak bicara, si pembunuh langsung menembak korban. Dorrrr!” tegas Duke Donoghue, detektif dari Kantor Polisi Middlesex Count County yang ditugasi menangani kasus ini.
Sersan Polisi (saat itu) Duke menambahkan, ”Hasil wawancara awal dengan sejumlah orang yang mengenal Ed menunjukkan, korban sepertinya punya kehidupan yang mengalir. Dia fleksibel dan menjalani apa pun yang dia suka. Dia tipe orang yang bisa punya sejuta teman, tapi tak satu pun musuh.”
Penyelidikan Duke dimulai dari keluarga dekat Ed dan tentu saja Stacey—orang terakhir yang ditelepon Ed. Dari sana mengerucut ke satu nama yang diduga kuat menyimpan motif, yakni Jim Brescia, mantan suami Stacey. Jim bisa saja membunuh Ed lantaran cemburu dan tidak rela mantan istrinya itu kembali pada cinta pertamanya.
Tapi untuk sementara waktu, posisi Jim aman, karena alibinya sangat kuat. Banyak saksi mata yang melihatnya sedang berada di kantor pada saat Ed ditembak. Bukan hanya minimnya calon tersangka yang menyulitkan Sersan Duke. Kasus ini sedikit banyak juga bermuatan politis. Saat itu, kawasan Newton, tempat terbunuhnya Ed Schiller, tak hanya dikenal sebagai kawasan paling aman di Boston, tapi juga di Amerika Serikat.
Newton terpilih sebagai ”The Safest city in America” selama dua tahun berturut-turut. Jika tak ada kasus pembunuhan Ed, boleh jadi Newton bakal terpilih untuk ketiga kalinya. Itu makanya, tekanan begitu besar dan kuat dari masyarakat, minta agar polisi menjawab teka-teki pembunuh Ed. Sersan Duke harus bergerak cepat.
Fenomena cinta segitiga
Di awal penyelidikan, dari sekian fakta yang terangkum di atas kertas puzzle pembunuhan Ed Schiller, kisah cinta Ed dan Stacey paling banyak menyita perhatian Duke. Apalagi data telepon masuk dan keluar di hape Ed mencatat banyak sekali nama Stacey. Calon janda itu bahkan tercatat sebagai orang terakhir yang dihubungi Ed sebelum mengembuskan napas terakhir.
“Saat memutuskan untuk menikah dengan Jim, apakah Anda akhirnya dapat mencintai dia, seperti Anda mencintai Ed?” tanya Duke pada Stacey, suatu ketika. “Sejujurnya, tidak.” Stacey mengakui, dia menikahi Jim karena berharap lelaki itu suatu saat dapat memberikan cinta pengganti. Dia juga berharap perjalanan waktu akan membuatnya melupakan Ed Schiller.
Sebuah usaha yang belakangan terbukti sia-sia. Meski sempat melahirkan tiga anak, Stacey tidak pernah benar-benar jatuh hati pada Jim. Banyak faktor yang membuat Stacey begitu. Di antaranya, dia menyebut Jim sebagai tukang perintah yang tak pernah menghargai istri, lebih suka keluyuran ketimbang diam di rumah, dan egois. Namun faktor terpenting yang membuat penyesalan besar di hati Stacey tampaknya adalah ”Jim tidak pernah bisa menjadi seperti Ed”.
Tahun 2005, Stacey memasukkan gugatan cerai terhadap Jim ke Pengadilan. Pertemuan kembali dengan Ed makin menguatkan tekad Stacey untuk berpisah. Dia tak ingin kesempatan untuk hidup bersama pacar lamanya itu hilang untuk kali ketiga. Kepada Duke, Stacey berujar, “Saya tidak pernah minta dia untuk kembali. Saya hanya bilang bahwa saya selalu mencintainya sepanjang hidup saya.”
Kepada Stacey, Jim Brescia pernah terang-terangan menyampaikan ketidaksukaannya pada Ed, yang dianggap sebagai penyebab keretakan rumah tangganya. Jim juga menganggap Ed sebagai orang yang selalu berusaha menguatkan dan mendorong Stacey menuju perceraian – hal yang justru coba dicegah oleh Jim.
Seorang rekan kerja Jim bersaksi, Jim sebenarnya tidak menginginkan perceraian itu, karena sangat mengkhawatirkan dampaknya terhadap tiga anak mereka. Tapi Stacey telah menjatuhkan talak. “Saat saya katakan padanya (Jim, Red.), Ed pagi tadi tewas ditembak, dia langsung bersikap defensif dan bilang, ‘Saya cuma ingin katakan bahwa saya sama sekali tidak terkait dengan hal itu.’ Saya merasa dia tahu sesuatu, sesuatu yang saya belum tahu apa,” terang Duke.
Detektif Duke mengaku, setelah melakukan serangkaian penyelidikan di lapangan, dia tak menemukan hal yang lebih menarik ketimbang kemungkinan cinta segitiga Ed-Stacey-Jim. Duke juga mendapati fakta, dalam 23 tahun terakhir, Jim bekerja di sebuah perusahaan kontraktor yang menyuplai barangbarang untuk Departemen Pertahanan Amerika Serikat.
Di perusahaan seperti ini, proses penerimaan karyawan biasanya dilakukan sangat ketat. Melihat track record-nya di kantor, Jim bukan seorang trouble maker. Apalagi saat Ed terbunuh, Jim sedang berada di kantornya di Raytheon, sekitar 20 mil dari Newton.
Toh di mata Stacey, Jim tetap patut dicurigai. “Dia pernah menakut-nakuti saya, juga anak-anak, agar tidak terlalu dekat dengan Ed. Jika saya tetap nekat berhubungan dengan Ed, dia bilang dia khawatir akan terjadi sesuatu yang buruk. Termasuk sesuatu yang buruk bakal menimpa Ed.” Namun Duke menyadari, intimidasi seperti itu tak cukup untuk menjerat Jim.
Duke mesti mencari cara lain untuk mendekat. Kali ini ia berusaha membawa temuan terakhir dari daftar transaksi kartu kredit Jim yang cukup mencurigakan, yaitu pembelian kartu telepon prabayar.
Duke cuma ingin tahu, mengapa Jim yang memiliki telepon rumah, telepon kantor, dan dua hape (satu hape pribadi, satu lagi jatah kantor) mas masih merasa perlu memiliki kartu telepon prabayar? Yang lebih mencurigakan, kartu prabayar itu baru digunakan lima kali, semuanya menuju nomor yang sama.
Pelaku saling tuding
Belum sempat teka-teki kartu telepon prabayar itu terungkap, Duke kembali mendapat temuan menarik. Di antara beberapa telepon masuk ke kantor Jim, pada saat Ed terbunuh, salah satunya ternyata datang dari Scott Foxworth.
Nama terakhir ini tidak asing lagi buat Duke, karena yang bersangkutan kerap berurusan dengan penegak hukum. Scott bahkan baru saja bebas dari penjara, setelah terbukti membunuh seseorang dalam perkelahian di bar. Tanda tanya berikutnya, Scott ternyata juga menelepon Nancy Campbell, teman sekantor Jim, pada waktu yang nyaris bersamaan.
Saat dikonfrontasi, Scott menjawab enteng: “Pembunuhan? Ha ha ha ha, ini jauh dari soal pembunuhan. Wong cuma soal cinta-cintaan kok. Jim ditelepon untuk dimintai tolong mendekatkan kembali saya dan Nancy. Kami dulu pernah pacaran.”
Karena tak bisa mendapatkan rekaman pembicaraan mereka, untuk sementara Duke berhenti bicara soal hubungan telepon.
Ia beralih ke puzzle berikutnya, keterangan karyawan gedung parkir, tak lama setelah Ed tewas. Tentang mobil merah atau marun, model lawas, yang parkir di seberang mobil Ed Schiller di hari pembunuhan. Duke mencari tahu warna mobil Jim, ah tak ada yang berwarna merah. Bagaimana dengan mobil Scott? Nah ini dia: Scott punya mobil Ford Taurus berwarna merah!
Duke dan kawan-kawan mulai mencoba membuat kesimpulan sederhana. Pertama, besar kemungkinan Jim Brescia menggunakan kartu telepon prabayar untuk mengontak Ed, mengancam dan menggiringnya ke arah pembunuhan. Kedua, Nancy Campbell, mantan pacar Scott Foxworth, adalah penghubung antara Jim dan Scott. Ketiga, Scott menjadi eksekutor yang bertugas menghabisi nyawa Ed dengan imbalan sejumlah uang.
Berdasarkan ketiga hipotesis di atas, Duke mencoba mencari celah di titik terlemah, Nancy Campbell (saat itu 25 tahun). Nancy dijanjikan keringanan hukuman jika mau buka mulut.
Siasat Duke berhasil. Sebagian hipotesisnya mendapat bukti kuat, ketika Nancy menyebut angka AS$10 ribu sebagai upah dari Jim untuk Scott. Untuk membunuh? “Bukan,” tegas Jim, yang akhirnya mengaku memang menyewa Scott, tapi kemudian menambahkan, “Saya memang membayar Scott, tapi tidak untuk membunuh. Saya membayar dia hanya untuk melakukan sesuatu, agar Ed menjauhi Stacey.”
Penyelidikan polisi memang menunjukkan, pada 14 Oktober 2005 Jim mencairkan cek dalam jumlah besar. Beberapa hari kemudian, saldo rekening Scott menggelembung.
Nancy juga buka rahasia, Jim dan Scott menggunakan kartu telepon prabayar untuk menelepon langsung Ed Schiller, agar mengetahui jadwal pekerjaan, keberadaan, dan tempat tinggal pacar Stacey itu. “Tanggal 13 Januari, Jim menelepon saya. Dia bilang, ‘Sesuatu yang buruk telah terjadi.’ Saya tanya apanya yang buruk? Tapi sekali lagi dia hanya bilang, ‘Sesuatu yang benar-benar buruk telah terjadi.’ Hanya itu.”
Lucunya, tak lama kemudian Scott juga menelepon Nancy, dan bilang: “Aku harap dia tidak menyewa orang lain untuk melakukan pekerjaan buruk itu.” Nancy berusaha bertanya: “Kamu bicara apa Scott?” Scott Cuma menjawab: “Kamu tahu, dia selalu minta aku melakukan sesuatu. Tapi untuk yang terakhir ini, bukan aku yang melakukannya.”
Saat menelepon Nancy, Jim dan Scott berusaha saling menyudutkan dan saling tunjuk batang hidung. Atau, keduanya memang sengaja berkomplot untuk membuat Nancy – satu-satunya orang yang dianggap mengetahui rencana pembunuhan Ed – bingung?
Jatuh stroke
Masih banyaknya tanda tanya yang tersisa seputar sikap Stacey sebenarnya terhadap Jim, serta rantai hubungan Jim, Nancy, dan Scott membuat persidangan berjalan seru. Total jenderal, dihadirkan tak kurang dari 69 saksi dan sekitar 200-an barang bukti. Penuntut umum tetap konsisten pada hasil penyelidikan Duke dan pernyataan Nancy. Jim dan Scott dianggap sebagai dua orang yang paling bertanggung jawab atas pembunuhan tingkat satu terhadap Ed Schiller. Hukuman mati, minimal penjara seumur hidup menunggu mereka.
Sementara itu, Jim Brescia dibela oleh salah satu pembela terlihai di Boston, Jay Carney.
“Banyak keterangan Nancy yang sulit diterima. Secara umum, dia berada di tengah keinginan untuk melepaskan diri dari rantai persekongkolan Jim dan Scott – jika itu dianggap sebagai persekongkolan Apa pun perkataannya tentu bakal memojokkan pihak lain,” tegas Jay. Jay pun bertanya pada Stacey: “Sekarang, apakah Anda membenci Jim Brescia?” Dijawab oleh Stacey: “Tidak, saya tidak membenci Jim. Karena kebencian hanya akan membebani hidup saya. Kebencian juga yang membuat Ed terbunuh.”
Jay juga berusaha meyakinkan Juri bahwa rekonsiliasi hubungan Jim dan Stacey sebenarnya hampir terjadi. Ketika Stacey memperbolehkan Jim tinggal di rumah bersama anak-anaknya, untuk merayakan liburan Natal. ”Jika proses rekonsiliasi tengah terjadi, untuk apa Jim Brescia merencanakan pembunuhan Ed Schiller?” suara Jay meninggi.
Jay lalu menunjukkan surat yang dibuat Jim untuk Stacey, tak lama setelah liburan itu: “I love you Stacey, I really do ... I just wish every day could be the same as the last. In spending the time together that we did just reinforced in me just how strong our emotions and feelings for each other really can be.”
Jim sendiri, di persidangan menegaskan, ia tidak pernah terobsesi untuk membunuh Ed.
“Proses gugatan cerai Stacey masuk ke pengadilan jauh sebelum kedatangan Ed.” Ia menolak kesaksian Stacey yang menyebut dirinya pernah mengancam keselamatan Ed Schiller. Tentang Scott, Jim bilang, dia hanya minta Scott untuk menakut-nakuti Ed, agar menjauh dari Stacey. Itu pun ongkosnya hanya AS$2.000, dengan uang muka AS$1.000. Jadi, bukan AS$10 ribu seperti disebutsebut Nancy.
“Tapi karena tak terlihat hasilnya, saya minta uang itu dikembalikan, sehingga otomatis perjanjian kami batal. Saya juga katakan, hubungan saya dan Stacey mulai membaik. Tak ada lagi yang perlu dia lakukan sekarang.” Saat itu, Scott hanya minta Jim bersabar. Sampai akhirnya, Jim shock berat ketika mendengar kabar Ed dibunuh.
“Scott, polisi menginterogasi saya karena pembunuhan itu,” ucap Jim di telepon.
“Well, bukankah Anda justru terbebas dari masalah sekarang?”
“Apa maksud kamu?”
“Bayar saja sisa honornya yang 1.000 dolar lagi.”
“Bukankah kamu yang harusnya mengembalikan uang muka saya? Perjanjian kita batal.”
Tapi Scott tetap ngeyel. “Jim terlibat dengan orang yang salah dan di tengah perjalanan ia menyadari hal itu. Sayangnya, sudah terlambat untuk berhenti. Scott terlalu sulit untuk dikendalikan,” tutup Jay.
Di acara pembacaan vonis, suasana menegang. Semua menanti, siapa yang dianggap berbohong dan paling bertanggung jawab di mata Juri: Jim Brescia atau Scott Foxworth? Sayangnya, di sidang hari terakhir itu, Jim Brescia tak tampak di ruang sidang. Dari hari ke hari, kondisi Jim memang kian memprihatinkan. Di beberapa persidangan terakhir, dia bahkan tak mampu menangkap makna pertanyaan pembela maupun penuntut umum.
”Maaf, saya tak mengerti maksud Anda …,” begitu sering terdengar jawab an Jim.
Kebohongan demi kebohongan membuat otak Jim susah membedakan khayalan dan kenyataan. Hari terakhir, ia mesti masuk rumah sakit akibat serangan stroke. Entah, apakah keputusan Juri yang mengganjar pelaku dengan hukuman bui seumur hidup (setahun kemudian, Scott juga diganjar hukuman yang sama), bisa dimengerti oleh Jim. Jim mungkin tak sempat lagi memikirkan soal hukuman penjara, karena ia telah dihukum oleh pikiran-pikirannya sendiri. Yang amat membingungkan.