Penulis
Intisari-Online.com – Sewindu lalu, saya ingat sekali, hari Sabtu. Waktu menunjukkan pukul 02.35 WIB dan beberapa jam lagi seharusnya saya ke kampus di Universitas Atma Jaya Yogyakarta untuk mengumpulkan tugas ujian akhir semester satu mata kuliah. Mata kuliah itu tergolong ringan, cuma 2 SKS. Karena itu sangat konyol kalau tidak mengumpulkannya dan mengambil risiko mengulang di semester berikutnya.
Namun kenyataannya, hingga malam selarut itu, tugas belum saya kerjakan. Bisa jadi karena sudah lelah semalaman mengerjakan tugas untuk mata kuliah lain yang bobotnya saya anggap lebih penting.
Saat itulah saya memutuskan untuk beristirahat, tidur sejenak. Meski sebenarnya saya sadar, risikonya bisa bablas sampai pagi. Tiap mata ini sudah terasa sangat berat. Di saat kritis itulah, dengan kekuatan terakhir sebelum terlelap, saya berdoa.
“Ya Tuhan, terima kasih atas berkat-Mu sehingga saya bisa mengerjakan beberapa tugas dengan baik. Tapi Tuhan, ada satu tugas yang belum saya kerjakan, tapi saya amat mengantuk. Kalau boleh saya mohon, berilah saya ‘tambahan waktu’, entah bagaimana caranya. Amin.” Dan saya pun terlelap. Waktumenunjukkan pukul 05.55. Entah bagaimana awal mulanya, saya tiba-tiba merasakan kamar dan benda-benda di dalamnya mulai bergerak-gerak. Semakin lama, semakin kencang. Sejurus kemudian, terdengar sayup-sayup teriakan tetangga samping rumah. Sampai di situ, saya sempat berpikir dalam tidur, “Ah, cuma gempa, paling besok masuk koran.”
Tiba-tiba terdengar bunyi, braaakkk! Sebuah batu bata merah entar dari mana asalnya menembus langit-langit kamar. Herannya, rasa lelah dan mengantuk ini masih saja mengalahkan rasa takut. Ah, paling cuma genteng bergeser, pikirku.
Sekali lagi, braaakkk! Batu bata merah kedua jatuh tak jauh dari lokasi yang pertama. Spontan saya sadar, inilah gempa terbesar yang pernah saya alami. Saya tak banyak berpikir lagi, langsung menyambar handphone dan kacamata, kemudian lari secepat mungkin ke ruang terbuka di tengah-tengah rumah. Kala itu saya sempat melihat air di dalam bak mandi berhamburan keluar karena guncangan Bumi yang hebat.
Saya berniat terus berlari, tapi segera menyadari, kamar kakak saya masih tertutup. Dalam keadaan luar biasa panik dan Bumi masih bergoyang, saya lari ke kamar kakak. Saya berteriak memanggil dan kakak saya merespons. Tapi anehnya dia tidak segera keluar. Setelah saya dobrak pintu kamarnya, saya dapati dia sudah tertindih rak buku berukuran 1,8 x 1,5 m (beserta buku-bukunya). Saya menariknya keluar secepat mungkin, bahkan sampai tidak menyadari kondisi kakinya yang bersimbah darah.
Untunglah pagi itu semua keluarga selamat. Bahkan nenek saya (kini alamarhum) yang sebenarnya sudah tidak bisa berjalan dengan baik, bisa berlari dari bagian belakang rumah menuju ke depan, kira-kira sepanjang 50 m. Gempa Yogyakarta, 27 Mei 2006, menjadi pengalaman luar biasa, mengerikan, sekaligus tak terlupakan. Waktu itu saya mengambil satu nilai bahwa Tuhan akhirnya benar-benar memberikan saya “tambahan waktu” untuk mengerjakan tugas kuliah. Tapi sedikit menakutkan juga sih, cara memberinya. (Lukkie Putranto)