Find Us On Social Media :

Menyaksikan Sisa Kejayaan Keluarga Cendana di Kepulauan Seribu

By K. Tatik Wardayati, Rabu, 7 Desember 2016 | 07:00 WIB

Bertandang ke Pulau Bulat

Intisari-Online.com – Hari kian petang ketika saya hendak kembali berlayar.  Ada sunset yang ingin saya kejar di sebuah pulau yang namanya tak tertera dalam peta, Pulau Bulat. Di pulau tak berpenghuni itu, suguhan sunrise dan sunset menjadi incaran para penikmat keindahan alam. Namun, jejak kejayaan sebuah keluarga yang begitu lekat dalam sejarah bangsa, menjadi daya tarik tersendiri. Itu tak lain sisa kejayaan keluarga Cendana di Kepulauan Seribu

--

Dari kejauhan, terlihat garis pantai Pulau Bulat yang berwarna putih. Semakin mendekat, terlihat pula warna air lautnya yang bergradasi. Mulai dari biru tua, biru muda, hijau, hingga putih. Airnya terlihat sangat jernih, memperlihatkan terumbu karang beragam rupa.

Di permukaan pulau, pohon-pohon pinus tumbuh rindang laksana canopy. Menampakkan hijau sempurna di antara warna biru laut dan putihnya pasir di pantai.

Pulau Bulat dikelilingi tembok pemecah ombak. Di antara tembok itu ada sebuah celah diapit dua tiang serupa gerbang. Perahu melewati celah tersebut, mencari jalan untuk berlabuh. Namun laut terlalu dangkal untuk dilewati, perahu pun berhenti.

Kami harus berloncatan ke air sedalam 50 cm. Ketika saya menoleh ke dermaga, perahu pengunjung amat rapat bersandar. Hari itu pengunjung salah satu pulau dari Kepulauan Seribu ini sangat ramai. Dermaga penuh!

Tempat peristirahatan keluarga Soeharto

Keramaian dermaga Pulau Bulat bukan tanpa alasan. Pesona bentang pulau ini terkuak seiring langkah kaki. Seperti namanya, pulau ini berbentuk bulat dan tidak terlalu luas, hanya 1,28 ha. Cukup berjalan kaki selama 15 menit, pulau ini selesai dikelilingi. Dari pulau ini terlihat deretan pulau lain yang jaraknya saling berdekatan.

Hal menarik lainnya, dari kabar yang beredar, Pulau Bulat merupakan pulau milik keluarga Soeharto, Presiden Republik Indonesia kedua yang berkuasa selama 32 tahun. Namun, kini pulau itu seperti ditinggalkan dan tidak terawat oleh pemiliknya, hanya ada penjaga pulau saja. Ada rasa takjub sekaligus sedih menyaksikan kemegahan fasilitas yang kini rapuh dan kian menua.

Sebuah bangunan penginapan cukup besar dan pendopo berukuran luas masih berdiri kokoh dikelilingi pohon-pohon pinus. Ada jalan setapak yang menghubungkan kedua bangunan itu dengan tempat tinggal penjaga, bangunan penyimpan mesin genset, tanki air, dermaga, serta landasan helikopter.

Deretan speedboat terpajang di tepian pulau. Ada jembatan menjorok ke laut, serta meja biliar yang lapuk dimakan serangga. Tentu ada beribu kisah pernah tergores ketika pulau ini masih sering digunakan sebagai tempat peristirahatan keluarga Soeharto. Menyisakan sebuah kenangan yang saya sendiri tidak bisa melukiskannya seperti apa.

Kendati pulau ini menyediakan banyak fasilitas, tetapi banyak yang tidak berfungsi lagi. Bangunan penginapan berdebu, tampak kusam dan suram. Pendingin ruangan banyak yang rusak, listrik mati, dan talang air kering. Untuk memperoleh air harus menimba dan itu pun airnya sedikit berbau. Lanskap pun tak lagi tertata. Landasan heli mulai rusak, tulisan WELCOME kehilangan huruf W. Tumbuhan liar tampak bergerilya merebut permukaan landasan. Aura ‘hidup’ sebuah pulau pribadi benar-benar tenggelam dalam kesuraman.