Find Us On Social Media :

Bahkan Untuk Eksekusi Hukuman Mati pun Tidak Gratis, Pelurunya Bayar Sendiri

By K. Tatik Wardayati, Selasa, 19 Juni 2018 | 18:15 WIB

Intisari-Online.com – Banyak cara yang dilakukan dalam sejarah manusia untuk menghukum mati para terpidana. Antara lain (maaf, kalau terdengar kejam): digantung, diumpankan ke binatang buas, disalib, dipancung lehernya, digergaji, direbus, sampai diinjak-injak gajah.

Tujuannya cuma satu: membuat mati, tapi caranya bervariasi sesuai budaya pada zamannya.

Hukuman tembak sendiri awainya diberlakukan di lingkungan militer di Eropa, seiring pemakaian senjata api dalam perang, pada abad 16 - 17.

Desersi, penakut, mangkir, atau perampokan adalah kesalahan yang langsung divonis mati.

Pemakaian senjata api dianggap efektif dan efisien. Jika butuh cepat, tahanan perang juga dieksekusi pakai cara ini.

Baca juga: Urutan Eksekusi Hukuman Mati di Nusakambangan yang Buat Narapidana Tak Kuasa Menahan Tangis

Senjata api juga dianggap praktis karena langsung mengarah ke sasaran mematikan, seperti jantung atau batang otak.

Begitu peluru merusak organ vital itu, terpidana langsung tak sadarkan diri sambil meregang nyawa, sesudah itu mati. Itu teorinya.

Kenyataannya banyak terpidana yang harus menanggung sakit terlebih dulu. Misalnya dalam sebuah eksekusi di Bahrain, 2006, seorang terpidana sempat 10 menit bergelimang darah sebelum benar-benar mati.

Awal abad ke-20, saat hukuman tembak diberlakukan kepada warga sipil, mulai tercipta aturan-aturan pelaksanaan eksekusi. Misalnya posisi terpidana bisa berdiri, duduk, atau berlutut.

Agar tenang, mata bisa ditutup dan tubuh diikat pada tiang. Eksekutor terdiri atas beberapa penembak, yang beberapa senjatanya hanya berisi peluru hampa.

Baca juga: Detik-detik Mengerikan di Ujung Ajal: Tahap demi Tahap saat Suatu Hukuman Mati Dilakukan

Gunanya untuk menjaga efek psikologis yang buruk bagi petugas eksekutor.