Penulis
Intisari-Online.com -Kalau Anda pergi ke Kairo, Mesir, dan sempat mengunjungi Masjid Sultan Barquq, Anda pasti akan terpesona oleh arsitektur dan hiasa pada masjid tersebut.
Langit-langitnya penuh ornamen warna-warni dengan desainnya yang khas dan apik. Masjid itu dibangun pada 1389 dan termasuk dalam zaman Mamluk.
Zaman itu Kairo merupakan salah keajaiban dunia.
Mamluk sebenarnya merupakan istilah bahasa Arab untuk menyebut orang-orang yang diperdagangkan, yakni para budak, orang yang ditawan, atau orang yang dihadiahkan sebagai upeti.
Golongan orang-orang itulah yang kemudian berhasil merampas tahta, bahkan bisa mewariskan kepada turunannya.
Mereka mula-mula “merintis karier” dari pasukan pengawal elite Kalifah Baghdad pada awal sejarah Islam. Golongan Mamluk yang terkenal berasal dari Turki di Asia Tengah.
Kerajaan Mamluk pertama di Mesir dan Suriah didirikan oleh pimpinan laskar Mamluk yang bernama Bahri Mamluk. Ia digulingkan oleh Barquq, yang kemudian mendirikan kesultanan pada 1382.
Baca juga:Perjanjian Giyanti, Perebutan Kekuasaan Kerajaan Mataram yang Melahirkan Kesultanan Yogyakarta
Periode Bahri (1250-1382) dan periode Burji (1382-1517) adalah dua periode penting dalam pemerintah para Mamluk.
Dalam peridoe Bahri, Baybar, Nasir, dan Sultan Hasan adalah sultan-sultan Mamluk yang ternama. Di zaman pemerintahan Baybar, diplomasi dan militer meluas.
Baybar dikenal berkat keberaniannya di medan perang, keterampilannya sebagai negarawan, dan terutama energinya yang tak kunjung padam sebagai pejuang Islam, sehingga mendapat tempat di hati rakyat.
Ia menjadi buah bibir dan pahlawan cerita romah di Kairo serta Damaskus di awal abad 20.
Zaman Sultan Nasir merupakan zaman kejayaan para Mamluk. Permusuhan dengan bangsa Mongol diakhiri dan perdagangan dijalankan bersama-sama mereka.
Sultan Hasan adalah putra Nasir. Di zamannya dibangunlah msjid yang paling terkenal di Kairo, yang menjadi salah satu karya besar arsitektur Islam.
Dalam periode Burji, Barquq membuka rangkaian pemerintahan dari 23 orang Mamluk. Di zamannya, hidupnya Ibn Khaldun, cendikiawan besar, yang berhasul menjadi hakim tinggi di Kairo.
Dalam periode Burji, ada juga Sultan Barsbaj yang berhasil melakukan ekspedisi melawan Cyprus. Negeri itu tunduk dan harus membayar upeti.
Periode Burji ditutup oleh Qansuh al-Ghuri yang mati terbunuh. Akibat korupsi, pengkhianatan, dan kurang disiplin militer, terjadilah kemunduran.
Pengganti Qansuh al-Ghuri cuma memerintah sebentar saja. Soalnya, ia kemudian dijatuhi hukuman mati oleh negara-negara jajahan yang mempunyai kekuatan lebih besar.
Tidak ada "darah biru"
Peraturan di dalam istana para Mamluk begitu ketat. Rupanya, karena di sana tak ada "darah biru", maka semua peraturan didasari oleh pembagian jabatan.
Bawahan harus tunduk pada atasan. Keputusan tentang siapa yang duduk di sebelah kanan atau kiri sultan saja jelas ditentukan.
Dinasti Mamluk membentuk lembaga sendiri. Mereka memasukkan budak laki-laki muda yang dibeli dari Turki, negara asal mereka. Pemuda-pemuda ltu dibawa ke Mesir dan dididik di Kairo pada sekolah para Mamluk.
Setelah itu, mereka disalurkan ke berbagai laskar sebagai pelayan. Jika para pemuda itu telah menjalani latihan yang diperlukan, mereka ditempatkan di rumah-rumah para bangsawan dan kalau ada lowongan, mereka bisa dikirim ke istana sultan.
Pimpinan militer pada dasarnya dikepalai oleh sultan yang tadinya adalah seorang Mamluk. Sultan dikelilingi oleh para bangsawan tinggi (Amir), yang berasal dari para Mamluk yang telah dibebaskan.
Setelah itu ada kelompok elite pemerintahan yang terdiri atas para ksatria berpedang. Sultan sendiri sebenarnya mempunyai pengawal. Dalam kemiliteran ada tiga unit dasar dari para Mamluk: Mamluk-nya sultan, Amir, dan Mamluk-nya para Amir.
Biarpun kesultanan mempunyai tentara pembantu dari suku Beduin, Mesir, Palestina, dan Suriah, tetapi bagian terbesar dari angkatan bersenjatanya terdiri atas para Mamluk.
Para Amir diberi warisan tanah oleh Sultan. Itu bisa berupa perkebunan, desa, atau bisa juga diberi pendapatan dari pajak tahunan dan bea biasa. Namun demikian, para Amir itu harus membagi kekayaan mereka kepada para Mamluk-nya.
Sebenarnya, dalam teori, setiap penguasa baru bukanlah otomatis keturunan Sultan. Penguasa baru “dipilih” oleh para Amir. Seringkali terjadi konflik antara berbagai persekutuan pimpinan para Mamluk itu.
Soalnya, setiap persekutuan mempunya calon sendiri. Kalau kekuatan berimbang, biasa diangkat seorang penguasa yang lemah, biasanya anak kecil, putra dari Sultan yang sebelumnya.
Namun, intrik tidak berhenti dan di akhir konflik sering terjadi pertumpahan darah. Biarpun begitu, sesudah itu pasti muncul orang berpribadi kuat, yang memaksakan kekuasaannya untuk diterima para Amir.
Kalau seorang penguasa yang kuat mampu memegang tampuk pemerintahan lebih dari satu dekade, maka istana mulai menghimpun kekayaan dan perdagangan menjadi maju.
Kairo jadi makmur. Sultan dan Amir membangun istana yang indah-indah di luar dan di dalam kota. Masjid, makan, sekolahan, pemandian, dan rumah sakit didirikan.
Beberapa bangunan masih bisa kita lihat sampai sekarang.
Kekayaan Negara Mamluk sebagian besar dari pertanian di lembah Nil. Meskipun demikian, perjalanan dagang dari India lewat Laut Merah ke Kairo, kemudian menyusur Sungai Nil menuju ke Alexandria, Venesia, Genoa, Marseilles, dan Barcelona lewat Mediterania juga memegang peranan penting.
Rute lainnya dimulai dari Teluk Persia dan Sungai Tigris menuju Baghdad, kemudian lewat Sungai Eufrat, lewat Aleppo menuju Mediterania.
Baca juga:Battle of the Nile : Misi Rahasia Pasukan Napoleon Mengusasi Mesir Lewat Laut yang Berakhir Tragis
Kerajaan Mamluk memungut bea yang tinggi di kedua rute perjalanan di atas. Namun, rute perdagangan dari sektor Mediterania diberikan kepada para pedagang dari Eropa.
Biarpun begitu, mereka tidak bisa menembus Laut Merah atau wilayah teluk.
Kejayaan kerajaan para Mamluk berakhir ketika Selim I, sultan dari negara jajahan Turki, mengalahkan Persia dan menuntut diberikannya sebuah negara bagian dari Mamluk di Anatolia Tenggara sebagai upeti.
Selim I kemudian berhasil menaklukkan Mesir. Januari 1517 Mesir sebagai pusat Kerajaan Mamluk jatuh ke tangannya. Maka berakhirlah masa pemerintahan para Mamluk yang agung itu. (Arnold Hottinger)
Artikel ini pernah tayang di Majalah Intisari edisi Mei 1986