Penulis
Intisari-Online.com -Banyak taman di Jakarta yang belum berfungsi dengan semestinya. Rata-rata masih mengedepankan keindahan, sementara fungsi sosialnya, biotopnya, rekreasinya, masih lemah. Taman masih sekadar ruang, belum menjadi sebuah tempat.
--------------
Dalam sebuah kota modern, taman menjadi salah satu elemen yang sangat diperlukan. Taman—dalam hal ini taman kota, mengutip Heinz Frik dalam bukunya Arsitektur Ekologis (2006), bukan sesuatu yang indah saja, melainkan memiliki makna yang mendasar. Suwardi Hagani, pakar lansekap dari Hagani Flora, menambahkan, taman adalah ruang milik publik yang fungsi dasarnya adalah meningkatkan kualitas hidup masyarakat, udara, juga sebagai tempat interaksi .
Baca juga:Dino-A-Live, Taman Robot Dinosaurus di Jepang yang Benar-benar Seperi Kenyataan
“Setidaknya, dalam sebuah kota, tiap 300 meter ada satu taman. Apa pun itu tamannya dan berapa luasnya, yang penting bisa digunakan sebagai tempat interaksi masyarakat, dan berteduh,” ujar Suwardi. Idealnya, sebuah kota modern, sepertiga wilayahnya adalah ruang terbuka hijauh (RTH), termasuk di dalamnya adalam taman kota. Sementara Jakarta, baru 9 persennya (data tahun 2014).
Taman dengan jumlah banyak, menurut Suwardi, akan memberi pilihan bagi masyarakat memilih tempat untuk menyendiri, memomong anak, dan sejenak keluar dari pemandangan rumahnya yang itu-itu saja.
Yang paling terasa dengan adanya taman, kota menjadi lebih teduh. Orang lansekap menyebutnya sebagai fungsi biotop. Selain menjadi lebih adem, kota yang awalnya gersang-kerontang, terlihat lebih sedap dipandang. Karena teduh, orang-orang akan berbondong-bondong datang, sukur-sukur membuat kegiatan di sana.
Belum menjadi saksi sejarah lingkuran
Dengan sedikit mengsem Rully Besari, pakar lansekap dari Universitas Trisaksi, menyebut, sampai saat ini, dari sekian banyak taman kota di Jakarta, yang mendekati layak hanya ada empat—selain taman Monumen Nasional—yaitu Taman Menteng, Taman Suropati, Taman Ayudya, dan Taman Situ Lembang.
Menurut Rully, taman kota setidaknya memiliki peran dan fungsi majemuk. Taman kota berperan sebagai RTH, pusat kegiatan ruang luar, dan tak kalah penting adalah sebagai saksi sejarah lingkungan sekitar dibangunnya taman tersebut.
Patut disayangkan, taman kota di Jakarta belum maksimal sebagai pusat kegiatan luar. Misalnya, pesta pernikahan, ulang tahun anak, ajang kumpul komunitas, dan lain-lain.
Hanya Taman Suropati di Menteng yang sudah lumayan. Jika sempat, coba sejenak mampir ke taman yang tepat berada di depan rumah dinas Gubernur DKI ini, banyak kegiatan yang ada di sana. Mulai dari membaca puisi sampai kopi darat antar-komunitas.
“Sayangnya, tidak semua taman di Jakarta seperti Taman Suropati yang hidup kegiatannya. Sekelas Taman Menteng saja, tidak seramai di Suropati, lebih-lebih Ayudya yang lebih sering digunakan sebagai tempat pacaran,” ujar Rully.
Taman kota di Jakarta juga belum bisa menjadi bukti sejarah lingkungan tempat taman itu dibangun. Misalnya Taman Menteng yang dulunya merupakan lapangan sepakbola milik klub sepakbola Persija Jakarta. Tapi tak banyak penanda yang menjelaskan bahwa taman yang identik dengan gedung kacanya itu dulunya adalah lapangan sepakbola. “Ada patung pesepakbola, tapi jelas kurang dari cukup untuk menjelaskan semuanya,” ujar Rully.
Atau Taman Ayudya di Kebayoran Baru. Bagi yang tidak pernah membuka lembaran sejarah Jakarta, bakal tidak tahu apa maksud dibangunnya taman tersebut. Jika mengacu pada paparan Rully, Taman Ayudya dibangun pada 1947 oleh Ir. Susilo sebagai tetenger dibangunnya blok-blok pemukiman di wilayah tersebut.
Taman Suropati bagi Rully adalah contoh yang baik. Sejak awal dibangun pada 1920-an, taman yang tepat berada di kawasan elite Jakarta ini tidak banyak berubah, baik desain maupun suasananya. Taman Menteng adalah saksi dibangunnya vila-vila mewah orang-orang Eropa yang tinggal di sekitaran Batavia dulu.
Selain berperan majemuk, taman kota juga harus berfungsi majemuk. Antara lain untuk rekreasi, untuk pusat interaksi sosial, untuk pusat olahraga, dan untuk pusat lain-lain. Pusat lain-lain dalam artian, taman juga bisa menjadi pusat berbagai kegiatan, baik formal maupun non-formal.
Masalah lain yang kerap muncul dari taman-taman kota di Jakarta adalah desainnya yang tunggal rupa. Misalnya Taman Kodok yang ada di Menteng memiliki elemen yang sama dengan Taman Ayudya di Kebayoran Baru. Akibatnya, taman kota tidak memiliki jati diri, tidak memiliki identitas asli, tidak bisa menjadi tetenger wilayah, dan tidak memiliki keunikan.
Jangankan dikunjungi banyak orang, taman-taman ini hanya akan menjadi bahan olok-olokan karena dianggap menjiplak taman sebelahnya.
Tidak melulu soal keindahan
Taman-taman kota di Jakarta kebanyakan dirancang untuk hijau rekreasi dengan dominasi perannya sebagai elemen dekorasi kota belaka. Oleh sebab itu, pemilihan jenis tanamannya juga lebih berfungsi estetis alih-alih ekologis. Hal ini menyebabkan taman kota sebagai etalase hijau kota saja, tidak ada fungsi dan peran majemuk di dalamnya.
Ketidakjelasan fungsi dan peran taman di Jakarta adalah Taman Semanggi. Rully sendiri heran, apa yang akan disasar dengan revitalisasi Taman Semanggi. Jika fungsinya sebagai taman jalur yang memisah dua jalan, semestinya tidak perlu dijejali dengan aneka warna bunga yang mencolok mata.
Warna-warni yang terlalu mencolok akan mengalihkan pandangan pengendara ketika menyetir mobil. Imbasnya, menyetir menjadi tidak fokus. Bukan kesejukan yang didapat, tapi maut yang justru datang dari jok belakang. “Apalagi sebagai taman publik? Orang datang ke taman itu untuk mendapatkan ketenangan, bukan kebisingan karena lalu-lalang kenderangan,” kata Rully nyinyir.
Perihal taman kota di Jakarta, Rully menyebutnya masih berkutat sebagai ruang, belum sebagai tempat. Oleh karena itu, kebanyakan masih menonjolkan sisi-sisi estetikanya saja. Meminjam istilah Rully, taman-taman di Jakarta belum bekerja sebagai pusat kegiatan sekaligus tempat yang menentramkan.
Pertanyaannya kemudian, apakah bisa dimaksimalkan fungsi dan perannya? Mengutip kalimat populer berbahasa Inggris, “No thing is impossible!”
Menjadikan taman sebagai mal
Bayangkan bahwa taman kota itu adalah sebuah pusat perbelanjaan atau mal. Dalam pandangan banyak orang, mal identik dengan segala sesuatu yang menyenangkan, pusat cuci mata, isinya melulu senang-senang. Karena taman kota adalah sebuah mal, maka unsur-unsur dalam mal harus dimasukkan dalam taman kota.
Menjadikan taman kota selayaknya mal, bukan berarti menjejalinya dengan kios-kios dan outlet-outlet. “Paradigma mal” lebih pada anggapan: tidak menyisakan sedikit pun ruang kosong menjadi tidak berguna; setiap sudut harus bisa dinikmati, setap sudut harus terisi, setiap sudut harus memiliki fungsi.
Salah satu caranya adalah dengan membuat tingkatan dalam taman. Harus ada ruang khusus buat anak-anak, untuk orang dewasa, dan untuk lansia. Yang suka bermusik dan berpusi disediakan panggung kreasi. Yang suka melukis disediakan ruang galeri kecil-kecilan. Bagi yang gemar berolahraga, terdapat track joging dan lapangan olahraga.
Taman juga harus didesain untuk kenyamanan, baik kenyamanan termal maupun kenyamanan visual. Kenyamanan termal berarti suhu yang ada di sekitar (taman) sama dengan suhu yang ada di tubuh, sementara kenyamanan visual lebih pada tampilan visual yang jika mata melihatnya terkesan adem-ayem.
“Untuk mengukur kenyamanan tidak sulit. Lihat, berapa lama seseorang berada di tempat itu?” tanya Rully.
Jika semua elemen taman sudah dipenuhi, ada satu hal lagi yang perlu diperhatikan, yaitu perawatan. Baik Rully maupun Suwardi prihatin dengan beberapa nasib taman di Jakarta.
Suwardi mengaku jarang sekali menemui ada penyemprotan berkala terhadap rumput dan pohon-pohon di taman kota Jakarta. Terutama yang berada di wilayah pinggiran, alih-alih diberi pupuk saban hari, pohon-pohon yang ada di dalamnya justru dipaku untuk kepentingan beberapa golongan.