Find Us On Social Media :

Beginilah Seni Menulis Resep Para Dokter Bijak

By Ilham Pradipta M., Rabu, 30 November 2016 | 13:02 WIB

Resep yang konservatif itu tak selalu segera manjur untuk membuat penyakit lari

Intisari-Online.com – Selain mendiagnosis, menulis resep pun ada seninya. Seni di sini maksudnya kemampuan dokter untuk menyusun sebuah komposisi obat. Penyusunan itu bertujuan agar selain tepat dengan diagnosis yang dibuatnya, tapi juga tidak memberatkan pihak pasien.

Memberatkan pasien? Makna memberatkan pasien berarti pasien tak harus menanggung besar efek samping obat (yang tidak perlu). Terlebih lagi juga tidak membuat kantong jebol setelah menebus obat. Makanya, konsep menulis resep yang rasional menjadi pegangan setiap dokter. Artinya dokter hanya akan memberikan obat yang betul-betul pasien perlukan saja.

Nah, dari obat yang diberikan pada pasien, biasanya dokter akan memilih obat yang efek sampingnya paling enteng dan paling murah menebusnya (cost-benefit). Sebab, kalau ada dua obat yang sama dengan khasiat yang sama, tapi ada yang lebih murah, mengapa harus memilih yang lebih mahal, bukan?

Dalam menulis resep, sebenarnya dokter juga tidak selalu memilih obat yang lebih baru yang biasanya lebih mahal, jika tersedia obat yang lebih murah dengan khasiat yang tak kalah ampuh. Usust punya usut, setiap obat baru belum tentu teruji kekurangan dan bahayanya. Sebab obat lama saja ada yang ditarik dari perederan setelah puluhan tahun karena kedapatan efek sampingnya yang membahayakan. Oleh karena itu, meresepkan obat baru belum tentu selalu aman. 

So, kesimpulan medisnya, semakin sedikit dokter menulis resep obat bagi pasien dan berhasil menyembuhkan penyakitnya, semakin bijak dokter dalam menulis resepnya. Lalu bagaimana dengan sebaliknya? Nah, semakin panjang resepnya, semakin perlu diragukan  diagnosisnya. Ibarat kata,  orang yang membabi buta menembak ke segala arah dengan senapan di tangannya.

Zhang Kai, Dokter yang Masih Melakukan Operasi pada Malam Terakhir Sebelum Menikah Esok Paginya

Dokter bijak juga tak akan menuliskan resep obat simptomatik (obat pereda keluhan) bila pasiennya dapat menahan keluhannya. Namun, terkadang ada ketakutan dari pihak dokter. Yakni, bila resep yang diberikan tak langsung memberi rasa manjur pada pasien, ada kekhawatiran kalau dokternya mungkin dianggap tidak cerdas.

 Padahal, resep yang konservatif itu tak selalu segera manjur untuk membuat penyakit lari. Namun, perlahan tapi pasti pasein pun akan sembuh juga. Yang perlu kita ingat, seenteng apa pun penyakitnya, perlu waktu juga untuk sembuh. Nah, biasanya semakin cepat kemanjuran suatu resep dan semakin “keras” dan beragam jenis obatnya, semakin besar pula efek samping yang harus ditanggung pasien.

Oleh karena itu, kita sebagai pasien harus rajin-rajin bertanya setiap mendapat resep dokter. Kalau tak perlu-perlu amat, mintalah dokter untuk mengurangi obat pereda keluhan. Sebab selain untuk menghindari efek samping yang tak diperlukan, kita juga tak terbebani biaya yang relatif mahal.