Penulis
Intisari-Online.com – Dengan mengendarai mobil, Pak Hendra mengajak anak tunggalnya Didi (5), dari Jakarta ke Bandung. Tujuannya, menengok kakaknya yang baru pindah ke kota tersebut. Bagi si Didi, ini perjalanan jauh yang pertama.
”Yah, kita mau pergi ke mana sih?.” ”Ke rumah Pak De di Bandung.”
”Ayah pernah ke sana?” ”Belum.”
”Bagaimana Ayah tahu jalan ke sana?” ”Kita ’kan bisa melihat peta.”
”Ayah tahu cara membaca peta?”
”Jangan khawatir, kita pasti akan sampai ke tujuan.”
Percakapan sempat terhenti sejenak lantaran Didi sedang menikmati minumannya.
”Kalau nanti lapar, kita makan di mana, Yah?” tanya Didi lagi.
”Kita bisa mampir di restoran.”
”Ayah tahu di mana restoran itu?” ”Tidak. Tapi kita ’kan bisa mencarinya.”
Satu sampai dua jam berikutnya masih banyak pertanyaan di lontarkan Didi. Namun setelah itu, suasana di dalam mobil senyap. Hendra mengira, anaknya sudah tidur kecapaian. Ternyata tidak. Dari kaca spion di dalam mobil, tampak Didi sedang asyik melihat-lihat pemandangan di luar yang gelap. Mengapa bocah ini tiba-tiba membisu.
”Nak, kamu tahu tujuan kita?” ujar Hendra memecah kesunyian.
”Bandung, rumah Pak De.”
”Tahu bagaimana bisa sampai ke sana?” ”Tidak tahu.”
”Mengapa kamu tidak bertanya lagi?”
”Karena Ayah sedang mengemudi.”
Kalimat yang meluncur dari mulut bocah itu di kemudian hari menjadi semacam kekuatan dan harapan bagi Pak Hendra dalam menghadapi perjalanan hidupnya.
Ya, benar, Ayah sedang mengemudi.
Bisa jadi kita mengetahui tujuan hidup kita (meski hanya tahu seperti Didi, ”Bandung”, tanpa tahu di mana dan bagaimana bisa sampai ke sana). Kita tak tahu jalan, kita tidak bisa membaca peta, kita tak tahu kalau bisa mampir di restoran di pinggir jalan. Namun si bocah kecil tadi tahu persis yang terpenting - Ayah sedang mengemudi - dengan demikian dirinya aman dan selamat. Ayah akan mencukupi apa yang dibutuhkannya.
Tahukah bahwa Sang Mahakuasa sedang mengemudi hari ini?
Sebagai penumpang, apa yang kita lakukan? Barangkali, kita juga sering mengajukan beragam pertanyaan sebelumnya. Tapi dapatkah kita bersikap seperti Didi, mulai menyadari dan percaya sepenuh hati bahwa Ia sedang mengemudi?