Penulis
Intisari-Online.com – Mendengar kata "Sumatra Utara", asosiasi kita langsung tertuju kepada Danau Toba yang masyhur itu. Danau purba itu jelas menarik, namun di sekitarnya pun banyak hal unik yang pantas dinikmati. Salah Satunya peninggalan tradisi megalitik, berupa makam tua. Mari kita menyusurinya, mulai Parapat bergerak menuju ke Dolok Sanggul, melintasi empat Kabupaten di tepian Danau Toba.
--
Kurang dari satu jam bertolak dari Pematang Siantar menuju Parapat menggunakan kendaraan bermotor, sampailah di sebuah desa nan sejuk di Kecamatan Dolok Panribuan. Di antara gemericik air dan beningnya aliran dua anak sungai yang dinamai Bah Kisat dan Bah Sipinggan, tampaklah bongkahan batu besar. Sepintas terlihat seperti bukit batu biasa, jika tidak mengetahui latar belakangnya.
Objek ini sesungguhnya merupakan salah satu bangunan berundak warisan leluhur. Bangunan berundak atau punden merupakan tradisi megalitik, atau tradisi kepercayaaan hubungan pertalian antara manusia yang hidup dan telah meninggal. Letaknya di tempat yang tinggi, dapat dipahami sebagai konsep kesakralan.
Menariknya, punden di situs ini dibangun dengan mengadaptasi alam, atau dibangun pada bongkahan batu atau bukit batu sehingga setiap unsurnya saling menyatu. Untuk menuju setiap teras terdapat pahatan berupa tangga batu berjumlah 11 jalur. Semua langsung dipahat pada lereng bukit batu. Bukannya hanya tangga terjal, pada batu dipahat pula ceruk-ceruk dan aneka bentuk binatang seperti cicak, kadal, ular, dan gajah. Bentuk gajah dipahat tepat di punggung bukit batu dengan ukuran sangat besar. Sedemikian besarnya, sehingga sekilas tidak tampak seperti gajah, jika kita tidak memandangnya dari titik yang tepat.
Bisa jadi lantaran bentuk gajah yang paling menonjol, situs ini dinamai Batu Gajah. Padahal di titik-titik lain juga terdapat patung harimau (yang sekilas lebih mirip bentuk kodok), kerbau, dan relief manusia dengan ukuran yang lebih kecil.
Di situs Batu Gajah yang notabene hasil karya pendukung tradisi megalitik, tentu kuburnya juga berjenis megalitik. Tepatnya biasa disebut sebagai kubur pahat batu karena elemen-elemennya yang langsung dipahatkan pada batu.
Namun sayang, kini yang tertinggal hanya lubang kubur berbentuk persegi panjang. Sementara penutupnya sudah raib entah ke mana. Hanya di sekeliling lubang kubur itu masih tampak pahatan-pahatan yang menyerupai bentuk kepala, kaki, dan ekor. Jadi jika diperhatikan lebih saksama ternyata kubur itu membentuk karakter seekor binatang melata sejenis cicak atau kadal.
Sarkofagus ikut bersolek
Puas menikmati Batu Gajah, perjalanan langsung bisa dilanjutkan lagi. Tapi sebentar! Kalau memang perut sudah menjerit minta diisi, bolehlah mampir sejenak mampir makan siang di Parapat, sambil menikmati keindahan Danau Toba. Jangan lupa pula cicipi hidangan ikan danaunya!
Perjalanan bisa berlanjut ke Kabupaten Toba Samosir, yang merupakan "surganya" makam. Bagaimana tidak, jika di sepanjang perjalanan kita akan disuguhi deretan tugu peringatan orang meninggal atau makam modern yang sangat megah, bahkan jauh lebih megah dari rumah-rumah penduduk yang umumnya sederhana. Dalam bahasa setempat, tugu atau makam etnis Batak itu disebut tambak.
Di beberapa kecamatan Toba Samosir kita bisa menemukan makam tua atau sarkofagus. Sejenak mengingatkan, sakofagus adalah sejenis peti kubur dari batu utuh, terdiri atas wadah dan tutupnya. Jenis makam tradisi megalitik ini bisa digunakan untuk penguburan primer (langsung) ataupun sekunder (dengan meletakkan tulang-belulang si mati), penguburan tunggal, ataupun ganda (satu kubur dipakai bersama-sama).
Ciri sarkofagus di daerah ini adalah bentuk dasarnya yang melengkung, menyerupai perahu. Tentu saja ini sangat mirip dengan bentuk atap rumah adat setempat. Variasinya terletak pada penggambaran raut-raut wajah menyeramkan di bagian depan, berupa wajah singa, serta ekornya di bagian belakang.
Kalau diamati betul, terasa kalau saat ini sudah sangat jarang sarkofagus berpenampilan polos seperti aslinya. Sebab ada kecenderungan makam untuk bersolek, yaitu memoles permukaan batu dengan warna-warna tradisional seperti merah, putih, dan hitam dengan menggunakan cat minyak. Memang sih sekilas tampak lebih meriah dan berkarakter, namun rasanya akan lebih sakral jika dibiarkan polos saja. Entahlah.
Sarkofagus umumnya terdapat di pelosok-pelosok kampung. Jadi kalau berniat untuk melihat semua, sediakanlah waktu yang cukup. Itupun paling-paling hanya terdapat satu atau dua buah sarkofagus di tiap kampung. Sebab jasad yang disemayamkan di dalam sarkofagus umumnya adalah leluhur kampung. Artinya seluruh warga suatu kampung berasal dari satu leluhur, sebagaimana kecenderungan etnis Batak.