Find Us On Social Media :

Bumi Langit Institute: Mengelola Alam dengan Pendekatan Spiritual

By Moh. Habib Asyhad, Kamis, 13 Oktober 2016 | 09:06 WIB

Bumi Langit Institute

Intisari-Online.com - Mesin bus yang kami—rombongan Majalah Sedap dari Jakarta—tumpangi terus menderu kencang. Sementara bus berjalan pelan lantaran jalan menanjak, naik dan berkelok-kelok. Tujuan kami siang pertengahan September 2014 itu adalah Bumi Langit Institute yang terletak di Desa Giriloyo, Imogiri, Bantul, Yogyakarta. Dalam brosur yang tertulis, ini adalah sebuah tempat di mana kita dapat melihat dan belajar bagaimana pentingnya hubungan mutual antara kehidupan manusia dengan alam sekitarnya.

Teman-teman, kita sudah hampir sampai di lokasi.” Tour guide memberi aba-aba melalui pengeras suara bus bahwa lokasi yang kami tuju sudah dekat. Sesampainya di Jalan Imogiri-Mangunan km 3, bus berbelok ke kiri, memasuki pintu gerbang sederhana dengan plang nama ala kadarnya. Dari tempat pemberhentian bus terakhir, kami masih harus berjalan naik ke halam utama. Jika ditarik garis lurus, kemiringannya sekitar 45º.

Seorang pria 60-an tahun, bersarung, hanya berkaos putih, berpeci dan berjenggot terawat, menyambut kami. Ia memperkenalkan diri dengan nama Iskandar Waworuntu. Pak Is—begitu ia biasa disapa—adalah pengelola sekaligus pemilik tempat ini. Dari nama dan wajahnya, Pak Is tentu bukan asli Bantul, tapi karena lamanya ia tinggal di kabupaten yang terletak di bagia selatan Yogyakarta itu, Pak Is begitu fasih menyapa kami dengan bahasa Jawa halus.

“Selamat datang. Pripun? Lancar toh perjalannya?”

Tidak hanya oleh Pak Is, rombongan juga dijamu dengan beragam hidangan khas Bumi Langit. Ikan patin dengan kuah asam sumatera, yang ikannya langsung diambil dari kolam Bumi Langit, nasi dari beras organis pecah kulit, keffir susu sapi, roti sorghum, wedang uwuh, dll. Satu hal yang menarik, dari penuturan Pak Is, bahwa semua hidangan itu dioleh dengan tidak menggunakan bumbu dan bahan pabrikan. Semua asli dari kebun belakang rumah.

Memaknai spiritualitas melalui makanan

Cerita bermula 13 tahun yang lalu. Pak Is yang campuran Manado-Inggris ingin mencari makna dalam kehidupan yang ia jalani, terutama dalam aspek spiritual. Secara lebih spesifik lagi, Pak Is menfokuskan diri pada makanan.

"Kerusakan yang kita lihat akhir-akhir ini, sebagian besar disebabkan karena kita salah makan,” argumen Pak Is. Ia lantas memutuskan untuk mencoba, daripada sekadar berbicara mengenai konsep, untuk memujudkannya dalam bentuk keseharian hidup.

"Kerusakan yang kita lihat akhir-akhir ini, sebagian besar disebabkan karena kita salah makan," Pak Iskandar.

Menurut Pak Is, makanan itu memiliki beberapa dimensi. Yang pertama adalah dimensi rasa, yang meliputi rasa enak di mulut dan nyang di perut. Kedua adalah dimensi emosisonal; kita merasa puas ketika makan di restoran yang keren, meskipun secara rasa tidak enak dan secara nutrisi tidak enak.

Ada satu lagi dimensi makan yang jarang dibahas oleh banyak orang; bagi Pak Is, ini krusial, yaitu dimensi spiritual. Dalam arti, bagaimana makanan itu, selain memberi rasa kenyang, sehat, juga bisa menguatkan ruhani.

Pak Is yakin—sembari mengutip dari sebuah ayat  dari sebuah kitab suci—ada rujukan paling pas mengenai semua peristiwa konsumtif: bahwa makanan tidak hanya harus halal, tapi juga baik. “Baik di sini tentu saja soal pengolahan, juga penyajian. Saya yakin, semua agama mengajarkan cara konsumsi yang seperti itu,” ujar Pak Is tegas.

Permakultur sebagai laku