Penulis
Intisari-Online.com -Maulwi Saelan, pejuang, pengawal Bung Karno, dan legenda sepakbola Indonesia telah mengembuskan napas terakhirnya, Senin (10/10), pukul 18.30 di RSPP, Jakarta. Sebelum dirujuk ke RSPP, laki-laki kelahiran Makassar, 8 Agustus 1926 itu sempat dirawat di Rumah Sakit Pondok Indah, Jakarta Selatan.
Salah satu andil Maulwi Saelan dalam sepakbola Indonesia, selain penampilan heroiknya ketika menghadapi Rusia pada Olimpiade 1956 di Melbourne, Australia, adalah keterlibatannya dalam mengunngkap Skandal Senayan yang penuh keculasan itu.
Skandal yang terjadi pada 1962 itu, sampai sekarang, disebut seabgai aib paling menjijikkan dalam sejarah sepakbola Indonesia dan PSSI.
Pada 2006, Wowo Sunaryo, seperti dilaporkan FourFourTwo Indonesia, membeberkan skandal itu pada sebuah surat kabar di Bandung. Bagi Wowo, kasus itu sangat erat hubungannya dengan kondisi ekonomi Indonesia yang tengah karut marut. Inflasi naik segila-gilanya. Nilai rupiah babak belur. Harga bahan pokok melonjak girang tak terjangkau.
Maulwi Saelan adalah salah satu sosok yang turut membantu mengorek aib itu. Waktu itu Saelan memang sudah tidak aktif lagi bermain, karena di tahun yang sama, Saelan diminta bergabung menjadi pasukan khusus pengawal presiden Cakrabirawa. Meski demikian, ia tetap diminta bantu-bantu untuk mempersiapkan pelatnas.
Pada suatu malam, seorang pemain keturunan Tionghoa datang ke rumah Saelan dan melaporkan bahwa ada permainan suap. Mendapat laporan demikian, Saelan lantas mengambil langkah dengan melapor ke Soedirgo, penanggung jawab timnas waktu itu.
Kasus suap diusut dan timnas dirombak sedemikian rupa karena hampir sebagian besar pemain penting timnas, terlibat skandal. Imbasnya, timnas kurang maksimal dan tersingkir di fase grup Asian Games Jakarta 1962.
Dua tahun berselang, Saelan diamanati menjadi Ketua Umum PSSI. Sebagai anggota Cakrabirawa, Saelan menjalankan roda PSSI dengan tegas. Ia memilih pengurus yang solid dan bisa dipegang. Dengan itu, dia berharap, saat dirinya berhalanga, ada sosok lain yang bisa menggantikannya di PSSI untuk sementara.
Sejak ditugaskan sebagai ketum PSSI, Saelan langsung membuat gebrakan. Ia merombak susunan tim nasional yang tidak diskriminatif, terlalu ada jarak antara yang senior dan pemain muda. Langkah strategis dalam menggalang tenaga muda diaplikasikan dengan perhelatan Piala Soeratin. Dari ajang ini, muncullah potensi-potensi jempolan sepeti Roni Pattinasarany, Abdul Kadir, dan pesepakbola yang terkenal nyentrik, Anjas Asmara.
Tahun 1967 menjadi akhir usia Saelan sebagai ketua PSSI. Dia digantikan Kosasih Purwanegara yang juga berasal dari kalangan militer. Meski demikian, ia tak lantas meninggalkan sepakbola Indonesia begitu saja. Ia terus mengamati, bahkan sampai ajal menjemputnya.