Find Us On Social Media :

Sedikit tentang Dipa Nusantara Aidit: Mozaik di Luar Politik

By Moh Habib Asyhad, Rabu, 20 September 2017 | 11:00 WIB

Khatam dan ikan

Sobron memang menyebut kakaknya Bang Amat, seperti enam adik lain – dari dua ibu – menyebutnya.

Nama Aidit datang dari ayahnya, Abdullah Aidit, seorang aktivis Masyumi.

”Orangtua saya tinggal selalu di pinggir hutan, sebab kerjanya sebagai mantri-hutan, atau mantri-kayu. Sebenarnya dengan ukuran sekarang tidak jauh, 7 km jaraknya dari Tanjung Pandan. Nama desanya Air Raya,” tulis Sobron.

Toh, dulu jarak seperti itu terasa jauh, mungkin karena semua orang berjalan kaki.

Maka Amat muda pun tinggal di rumah pamannya, Busu Rachman, yang ternyata guru mengaji, ”Kami seluruh bersaudara tamat mengaji, khatam. Termasuk Bang Amat.”

Sobron berkisah panjang lebar, bahwa di Belitung waktu itu, pada saat anak siapa pun tamat membaca al-Quran, akan diperlakukan seperti raja dalam suatu perayaan tradisional yang meriah. Termasuk ketika Amat muda itu juga khatam al-Quran.

Dalam kenangan Murad, ”Bang Amat sering diminta untuk mengumandangkan azan, karena suaranya dianggap keras dan lafadsnya jelas.”

Tentang sosok Aidit, Sobron berkisah, ”Bang Amat itu perawakannya boleh dikatakan agak pendek. Di antara kami seluruh bersaudara, Bang Amatlah yang badannya terpendek. Tetapi buat ukuran kebanyakan, dia sama sekali tidak pendek.” Sobron menegaskan, bahwa meskipun Aidit tidak tinggi, ”Badannya tampak jauh lebih kekar daripada kami semua. Tegap dan gempal.”

Pantaslah, karena ternyata Aidit menjadi seorang petinju!

Pelatihnya adalah seorang guru latihan jasmani sekaligus guru beladiri bernama Zonder, karena menjadi guru tanpa guru.

Untunglah, menurut Sobron, dengan berat hanya 53 kilogram Aidit tidak menjadi petinju profesional.

Namun dari pilihan olahraganya tersebut, jelaslah bagaimana Aidit dalam dunia politik akan menjadi petarung yang bernyali.

Sementara itu Murad bercerita, memang benar bahwa Aidit selain suka berolahraga, juga suka bertualang di tengah alam.

Diceritakannya bahwa di puncak Gunung Tajam yang hanya satu-satunya di Belitung, terdapat kolam tempat Aidit biasa berolahraga salto, yakni melakukan loncat indah ke dalam kolam itu.

”Bang Amat dapat melakukan salto dan kontra-salto, yakni memutar badan sambil berdiri ke depan dan ke belakang. Hal ini tidak mudah dilakukan setiap orang. Diperlukan latihan cukup keras untuk dapat melakukannya. Bang Amat jagonya. Kita akan tercengang dibuatnya ketika ia mulai melakukan liukan salto yang indah,” kenang Murad.

Namun masih dari catatan Murad, terbaca bahwa bukan hanya agresivitas menggebu yang keluar dari Aidit, melainkan juga peredamannya dalam kontemplasi.

Tulisnya, ”Bang Amat sangat tekun dan senantiasa menuliskan apa yang di lakukannya setiap hari dalam catatan hariannya, semacam diary. Tak pernah ada orang yang mengajarinya menulis buku harian atau menyuruh ia melakukan itu ....”

Cerita lanjutan tentang diary itu juga memperlihatkan bakat-bakat kerakyatan yang akan menentukan seperti apa warna politiknya.

”Dalam catatan hariannya Bang Amat menuliskan banyak hal. Misalnya tentang acara memancing, ia akan menulis berapa banyak hasil tangkapan ikan setiap nelayan pada waktu sekali melaut, juga berapa ongkos yang diperlukan atau dikeluarkan. Ongkos ini adalah untuk membeli makanan yang mereka perlukan dibawa melaut pada saat memancing. Sedangkan untuk hal-hal lain tak ada ongkos, karena mereka mempergunakan kolek (perahu) yang didayung, atau dengan layar, tanpa bahan bakar tentu saja.

”Jadi Bang Amat itu sejak masa kecilnya adalah orang yang senantiasa peduli dan sangat mau tahu kehidupan rakyat di mana pun dia berada. Ketika Bang Amat ikut serta memancing dengan Karim, dia tidak membawa semua ikan perolehannya ke rumah, tetapi diserahkan kepada Karim untuk dijual. Sedang Bang Amat sendiri hanya membawa sedikit ke rumah sekadar untuk lauk makan nasi.”