Find Us On Social Media :

Sedikit tentang Dipa Nusantara Aidit: Mozaik di Luar Politik

By Moh Habib Asyhad, Rabu, 20 September 2017 | 11:00 WIB

Namun Aidit kemudian berkata kepada putrinya, ”Kamu mau menggunakan mobil yang dibiayai oleh negara dari uang rakyat ini untuk keliling Jakarta? Kamu boleh keliling Jakarta dan kuberi pengawal pribadi, tapi naik bus.”

”Mereka pun naik bus PPD,” kenang Amarzan, ”Itu saya tahu. Besoknya, ketika Iba ingin pergi ke Gedung Pemuda di Menteng untuk bertemu dengan teman-temannya, fasilitas yang diberikan ayahnya hanyalah sepeda.”

Dipa dan Nusantara

Dua saudara Aidit, Sobron dan Murad, masing-masing menulis buku tentang Aidit, dan beredar bebas setelah reformasi.

Sobron menulis Aidit: Abang, Sahabat dan Guru di Masa Pergolakan (2003), sedangkan Murad menulis Aidit Sang Legenda (2005).

Dari cerita Sobron, kita dapat mengetahui bahwa revolusi pertama Aidit adalah mengganti namanya sendiri, dari Achmad Aidit menjadi Dipa Nusantara Aidit.

Dalam buku Sobron, disebutkan bahwa pada usia 17 tahun, Aidit meminta kepada ayahnya agar diizinkan mengganti nama, ”Dan ayah setuju, lalu disahkan di Notaris di Batavia ketika itu.”

Namun dalam buku Murad, kisahnya lebih panjang:

Di zaman pendudukan Jepang, hubungan antara kami di Jakarta dengan keluarga di Belitung putus sama sekali. Kiriman Ayah untuk membayar kos pun tak dapat diharapkan lagi. Pada waktu itu Bang Amat atau Achmad Aidit sudah mengganti namanya menjadi Dipo (sic!) Nusantara Aidit. Penggantian nama pada masa itu tidak dapat dilakukan sesederhana sekarang. Jika ketahuan seseorang telah mengganti namanya dianggap sebagai tindak kejahatan berisiko berat.

”Sebelum Jepang datang, surat-menyurat antara Ayah dengan Bang Amat perihal perubahan nama ini cukup ramai. Masalahnya nama Bang Amat tercatat dalam daftar gaji Ayah sebagai Achmad. Apabila ke tahuan tak ada lagi yang bernama Achmad maka ini akan ditindak sebagai kejahatan yang cukup merepotkan.

”Akhirnya diputuskan nama Dipo Nusantara Aidit atau D.N. Aidit itu baru digunakan jika telah memperoleh pengesahan dari Burgerlijke Stand (Catatan Sipil). Bang Amat sudah merasakan bahwa lapangan politik yang dipilihnya mengandung risiko tinggi, baik bagi dirinya maupun keluarga. Itu sebab dia bersikeras mengubah namanya dari Achmad menjadi D.N. Aidit, untuk sedikit melindungi keluarga.”

Lantas, mengapa Dipa dan mengapa Nusantara? Dalam kajian ”Aidit dan Partai Pada Tahun 1950”, yang terlampir dalam buku Sobron, Jacques Leclerc mengungkap hasil penelitiannya:

Di Tanjung Pandan, Achmad bersekolah HIS (Hollands Inlandsche School). Kemudian, antara tahun 1936-38, atas permintaannya sendiri kepada ayahnya, dia diantar pamannya ke Jakarta. Di Jakarta, sesudah tamat HIS, dia belajar di Sekolah Dagang Menengah (Handels School). Di sinilah dia terjun dalam pergerakan pemuda hingga memperoleh kesempatan berhubungan dengan Barisan Pemuda Gerindo yang dipimpin Wikana, Ismail Widjaja, A.M. Hanafi dan lain-lain, dan dengan Perhimpunan Pelajar-Pelajar Indonesia yang diketuai Chaerul Saleh. Waktu itu, dia meminta ayahnya untuk menyetujui pengubahan namanya menjadi Dipa Nusantara, dengan tetap mencantumkan nama ayahnya. 

”Permintaan itu dikabulkan. Nama Dipa Nusantara itu untuk menghormati perjuangan pahlawan Diponegoro dan agar memberi inspirasi kepada Aidit dalam usahanya membebaskan Negara Nusantara. Cara mengubah nama atau memilih gelar yang mengandung arti politik sudah agak biasa di kalangan pemuda nasionalis (misalnya A.M. Hanafi diberi gelar Anak Marhaen).

Jadi, penggantian nama sudah biasa bagi para aktivis revolusioner, tetapi justru karena itu keseriusan Aidit meminta izin ayahnya sama sekali tidak biasa.

Artinya luar biasa, karena menunjukkan perilaku santun, yang tidak terbayangkan jika segenap demonisasi terhadap Aidit wajib dipercaya.

Bagaimana sebenarnya pribadi Aidit itu?