Find Us On Social Media :

Ada Apa di Balik Padepokan Dimas Kanjeng yang Mentereng Itu?

By Moh Habib Asyhad, Kamis, 6 Oktober 2016 | 14:00 WIB

Ada Apa di Balik Padepokan Dimas Kanjeng yang Mentereng Itu?

Kini, akses jalannya bagus dan sudah beraspal. Semuanya dipercantik dengan dana pribadi Dimas Kanjeng sendiri. Lalu, pada tahun 2009, rumah Dimas Kanjeng masih berukuran kecil dengan warna dominan hijau. Kini, rumah berlantai dua itu megah dan mentereng. Tak sembarang orang bisa masuk, kecuali tamu penting dan sudah janjian dengan Dimas Kanjeng.

Padepokan Dimas Kanjeng selalu ramai setiap hari oleh para santri yang berasal dari berbagai daerah, mulai Sulawesi hingga Kalimantan, mulai Jawa Barat hingga Bali. Banyak juga santri yang berasal dari luar Kabupaten Probolinggo.

Shalat berjamaah lima waktu rutin dilakukan di masjid Padepokan. Suara adzan, wirid hingga mengaji terlihat sehari-hari. Ibadah mereka seperti ibadah kaum muslim kebanyakan. Bahkan, saat hari besar keagamaan, seperti Tahun Baru Islam, Maulid Nabi, Isra’ Miraj, Ramadhan, Idul Fitri, dan Idul Adha, padepokan selalu ramai oleh kegiatan, baik berupa pengajian umum, istighosah, hingga pembagian santunan.

Santunan di Padepokan yang diberikan Dimas Kanjeng nilainya juga fantastis. Mencapai miliaran rupiah. Kaum dhuafa dan anak yatim masing-masing mendapatkan santunan Rp100 ribu. Para penerima santuan mencapai 10 ribu orang.

“Kami di sini hanya mengaji, wirid, berdoa dan menggelar istighosah. Bahkan jika malam Jumat manis, kami selalu istighosah. Aktivitas kami di sini seperti kaum muslimin kebanyakan, seperti di pondok pesantrenlah,” ujar seorang santri asal Jawa Barat.

Ajaran mencurigakan

Namun, Sekretaris Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kabupaten Probolinggo H Yasin mengatakan, ajaran di Padepokan Dimas Kanjeng ada yang terbuka dan ada yang tertutup. Ajaran yang terbuka tidak ada yang aneh, seperti istighosah, pengajian umum dengan mendatangkan kiai, dan memperingati hari besar keagamaan.

“Namun, ada ajaran yang tertutup. Ajaran yang tertutup inilah yang dicurigai. Dari laporan yang sudah sampai ke MUI, ajaran tertutup itu berupa wirid, bacaan-bacaan, mandi, dan ritual lainnya yang mengarah ke pencairan uang atau penggandaan uang,” ungkap Yasin.

 

Dari temuan MUI dan laporan santri, lanjut Yasin, santri Padepokan diwajibkan membayar mahar dan memperoleh dapur ATM berupa kotak dan kantong. Kotak itu sudah berisi jimat yang bisa menyedot banyak uang. Nah, sebagai ritual agar dapur ATM itu terus berisi uang, santri harus membayar mahar untuk membeli gelang, sabuk, dan kartu ATM, nilainya hingga jutaan rupiah.

“Kotak itu terlebih dulu diisi Rp 10 ribu. Nah, jika ingin terus bertambah, kotak tidak boleh dibuka. Dan santri harus terus membayar mahar supaya kotak itu terus bertambah uangnya. Begitu modus dan temuan kami,” katanya.

MUI juga menemukan selebaran bacaan Shalawat Fulus, yang dibaca pengikut padepokan dalam setiap kegiatan. Shalawat Fulus, kata Yasin, adalah bacaan yang diyakini bisa mendatangkan uang ghaib. Ajaran tertutup atau ritual pencairan itulah yang disampaikan MUI Kabupaten Probolinggo ke MUI Jatim dan akan disampaikan ke MUI Pusat.

“Kami masih belum memvonis ajaran padepokan. Kami sepakat untuk menyampaikan laporan ajaran Padepokan Dimas Kanjeng ke MUI Pusat pada Selasa (4/10). Nanti MUI Pusat yang akan memberikan vonis atas fatwa. MUI hanya fokus pada ajaran ritual di sana,” imbuh Yasin.

Jumlah santri di Padepokan Dimas Kanjeng dikabarkan mencapai 20 ribu-30 ribu orang yang berasal dari banyak daerah di Indonesia. Yasin membenarkannya. Menurut dia, video mendatangkan uang yang diunggah di Youtube berhasil menarik orang untuk berlomba-lomba mendatangi dan berguru kepada Dimas Kanjeng.

“Siapa yang tidak tergiur dengan keberadaan uang sebanyak itu di Youtube,” ujarnya.

Santri Padepokan berasal dari berbagai profesi. Mulai PNS, pengusaha, pedagang, guru, petani, wirawaswasta, pegawai BUMN, dan politisi. Bahkan, seorang mantan Wakil Bupati juga terlihat mengikuti kegiatan Padepokan Dimas Kanjeng.

Para santri, lanjut Yasin, terlihat berpendidikan dengan penampilan rapi dan bersih. Namun kebanyakan, santrinya berasal dari ekonomi menengah ke bawah. “Soal berpendidikan tidaknya santrinya, kan bisa dilihat sendiri. Wong Marwah Daud Ibrahim saja jadi santrinya,” tukasnya.