Find Us On Social Media :

Nyai Roro Kidul, Sosok Rekaan Panembahan Senopati dalam Babad Tanah Jawi

By Birgitta Ajeng, Kamis, 20 April 2017 | 11:45 WIB

Intisari-Online.com - Suatu ketika laut selatan Pulau Jawa oleng, menggelegak macam air panas di kuali. Kemilau air laut yang biru, mendadak keruh berbuih mendidih, terguncang gempa.

Ikan-ikan berlompatan mati kepanasan.

Para jin, setan periperayangan, risau menyaksikan perubahan gejala aneh di segoro kidul (laut selatan), karena gemuruh taufan itu terasa panas-dingin tak menentu sampai menembus dasar laut diantar angin tujuh keliling.

Nyai Roro Kidul, ratu dedemit di dasar samudera, itu pun tersentak kaget. Selama ribuan tahun hidup, baru kali ini melihat perubahan alam yang aneh di istananya.

(Baca juga: Situs Gunung Padang: Asal Usulnya Misterius, Keindahannya Membius)

Apa gerangan yang terjadi? Segera Nyai Roro Kidul melesat ke luar dan berdiri di atas air laut memandang bumi. Dunia terang benderang, tak ada apa-apanya.

Cuma di tepi laut itu memang ada seorang lelaki berdiri bersedekap mengheningkan cipta. Diakah penyebabnya?

Nyai Roro Kidul terdiam sejenak. Diamat-amatinya lelaki yang berdiri semadi itu; dan betapa kaget setelah tahu dia adalah Panembahan Senopati. Tak salah, tak silap, dialah penyebab prahara laut selatan.

Gemuruh ombak laut panas semakin tak tertahankan, sampai menciptakan bergunung-gunung gelombang.

Menyadari kesaktian Panembahan Senopati, Nyai Roro Kidul diiringi sekalian makhluk halus mendekat dan menyembah seraya memohon belas kasihan, agar sang panembahan menghentikan tapa brata-nya.

Sebagai balasannya, Roro Kidul bersedia memenuhi permintaan Senopati yang ingin menjadi raja sampai ke anak cucunya.

Bahkan penguasa samudera selatan itu pun berjanji akan membantu apa saja demi kejayaan pemerintahan Senopati, termasuk kelak kalau bumi Mataram kedatangan musuh, makhluk-makhluk halus laskar Ratu Kidul siap membereskannya.

"Saya akan segera mengirimkan setansetan berikut genderang perang," kata Nyai Roro Kidul berjanji. Seketika gemuruh air laut hilang. Tak ada badai tak ada gelombang, bahkan ikan-ikan dan semua makhluk laut yang mati hidup kembali.

(Baca juga: (Foto) Kisah Memilukan dari Jasad-jasad 'Abadi' para Pendaki Everest)

Singkatnya, Panembahan Senopati terpikat, lalu jatuh cinta. Mereka berdua berjalan di atas laut menuju istana.

Konon, keindahan istana itu tak ada tandingannya di dunia. Pagar kelilingnya saja terbuat dari bata emas, penuh dengan tanaman serta bunga dan buah dari berbagai jenis ratna mutu manikam.

Dihadap oleh sekalian jin, setan, Senopati dan Nyai Roro Kidul duduk di balai-balai tempat bersantai.

Di sinilah setiap hari Panembahan Senopati menerima berbagai pelajaran: ketatanegaraan, ilmu menjadi raja, memerintah manusia serta jin dan peri, berikut taktik berperang sampai ke percintaan.

Selama tiga hari tiga malam, mereka berkasih-kasihan layaknya suami-istri.

Semua ilmu pemberian Nyai Roro Kidul, menjadi bekal bagi Senopati untuk hadir sebagai raja sakti, bijaksana, penguasa tanah Jawa yang tiada duanya.

Setelah dirasa cukup, Senopati mohon diri kembali ke bumi. Namun sebelumnya ia sempat bertanya, bagaimana caranya memanggil sang ratu jika suatu saat Mataram kedatangan musuh?

Ratu penguasa laut selatan itu tersenyum, menjawab, "Bersedekaplah dengan berdiri suku tunggal memandang langit, aku dan sekalian tentaraku akan segera membawa kemenangan."

Kisah Gaib Rakyat Jelata yang Kemahsyurannya Tembus Waktu

Mitos Nyai Roro Kidul sebagaimana tersurat dalam Babad Tanah Jawi itu sampai sekarang masih ada.

Kemasyhurannya bergema hingga terekam dalam kitab-kitab ilmiah bangsa seberang. 

Sudah lama mitos ini dikaji dan diteliti oleh para ahli, namun semua itu tak sanggup mengubah pandangan masyarakat Jawa akan eksistensi tokoh yang dianggapnya betul-betul ada.

Babad Tanah Jawi karya gabungan sejarah dan dongeng, memang bukan satu-satunya sumber tentang Nyai Roro Kidul.

Namun dari karya tanpa nama inilah, kisah ratu dedemit laut selatan muncul menjadi bagian dari cerita rakyat Indonesia, bukan Jawa saja.

Nyai Roro Kidul, demikian ejaan sebenarnya dari tulisan serai Babad Tanah ]awi. Tapi entah kenapa beredar dan terkenal dengan nama yang salah baca, Kanjeng Ratu Kidul! 

Bahkan ada perbedaan persepsi yang meluas dan diyakininya, bahwa antara Nyai Roro Kidul dan Kanjeng Ratu Kidul itu berbeda.

Artinya, Roro Kidul itu patih, sedangkan Kanjeng Ratu Kidul itu ratunya. Namun, Babad Tanah ]awi tak menyebutkan itu.

Kisah gaib rakyat jelata ini pun lantas berkembang menjadi kisah sakral yang menuntut pertanggungjawaban religi yang sifatnya abadi.

Ya, abadi karena sesuai janji, Roro Kidul akan selalu berhubungan dengan seluruh raja Jawa keturunan Panembahan Senopati hingga kini.

Maka selama Kerajaan Mataram ada, tokoh penguasa dedemit Pulau Jawa ini akan tetap disembah untuk dimintai berkah.

Jadi ratu makhluk halus yang mendirikan bulu roma ini, sesungguhnya tidak memiliki watak jahat, bahkan sebaliknya berhati mulia karena dipercaya menjaga ketenteraman keraton dan rakyat Mataram hingga sekarang.

Memang tak salah kalau cerita besar ini kemudian disebarluaskan lewat media bacaan bergambar yang komiknya laku keras di sekitar tahun '60-an.

Justru komik inilah yang menarik, mengingat penyajian katanya singkat dan padat, sementara gambarnya sanggup menghanyutkan daya fantasi pembaca untuk membayangkan kecantikan rupa Nyai Roro Kidul, serta kebrutalan jin, setan laknat penjaga laut selatan.

Layar perak film nasional pun tak pernah sepi dari cerita-cerita berbau mistis tentang Nyai Roro Kidul dengan serentet judul yang seram plus bumbu seks.

Yang jelas ratu sakti yang rupawan ini sudah menjadi salah satu isi khazanah kisah klasik di Indonesia.

Bahkan nampak semakin sakral, karena seringnya diperingati dalam bentuk upacara labuhan atau terpentaskan dalam teater tertutup berbentuk seni tari bedaya ketawang dan bedaya semang.

Wajar kalau kemudian mitos Nyai Roro Kidul melebihi kisah Babad Tanah ]awi dan kebesaran Kerajaan Mataram sendiri.

Lihat saja, setahun sekali Keraton Yogyakarta pasti melakukan upacara tradisi labuhan di Parangkusuma.

Labuhan adalah persembahan sesaji yang ditujukan kepada Kanjeng Ratu Kidul.

Tradisi ini dilakukan bukan sekadar gengsi keraton atau untuk kepentingan wisatawan melainkan demi keselamatan raja, keraton, dan seluruh rakyatnya.

Ambil contoh, Sri Paku Buwono XII dari Keraton Solo di penghujung tahun 1985 melakukan labuhan guna keselamatan rakyat dan keraton setelah mengalami musibah kebakaran.

Untuk menciptakan keserasian hubungan dengan Ratu Laut Selatan, Kasunanan Surakarta membangun panggung Sanggabuwana sebagai tempat pertemuan mereka berdua.

Sedangkan Kasultanan Yogyakarta memilik sumur gemuling, terowongan bawah tanah di Tamansari Keraton Yogyakarta yang konon tembus sampai laut selatan sebagai tempat hubungan mistis antara Sunan dengan Kanjeng Ratu Kidul.

Tapi hubungan cinta antara raja dan ratu ini oleh sejarawan Prof. Dr. Edi Sedyawati diartikan sebagai hubungan yang bersifat adikodrati bukan hubungan seksual duniawi. 

"Karena itu," tulis Edi dalam Prisma no. 7, Juli 1991, "hubungan mereka tak pernah membuahkan anak."

Menyinggung hubungan seksual, sejarawan IKIP Sanata Dharma Yogya, Suhardjo Hatmosuprobo, menyatakan hubungan suami-istri Raja Jawa dan Ratu Kidul itu hanya berlaku sebelum Perjanjian Gianti 1755.

Sesudah Mataram pecah terbagi dua, masing-masing raja Yogya dan Surakarta sama-sama menganggap Kanjeng Ratu sebagai eyang, bukan istri.

"Soalnya, kalau tidak begitu Kanjeng Ratu Kidul itu namanya poliandri," katanya.

Apa pun komentar ahli, persepsi masyarakat Jawa tetaplah tak bergeming dari dulu hingga kini. Semua raja Jawa bisa berkomunikasi dengan Ratu Kidul.

Tak percaya? Sekadar contoh baca saja Tahta Untuk Rakyat hlm. 103. Jelas sekali almarhum Hamengku Buwono IX mengisahkan pengalamannya bertemu dengan Kanjeng Ratu Kidul setelah menjalankan laku puasa.

Katanya, ketika bulan naik, Kanjeng Ratu ini terlihat cantik sekali. Sebaliknya, saat bulan menurun dia nampak sebagai wanita tua renta.

(Tulisan ini ditulis dalam Kumpulan Kisah Misteri Intisari tahun 2002 dengan judul asli Nyai Roro Kidul, Sosok Rekaan Senopati yang ditulis oleh B. Soelist dan Djati Surendro)

(Baca juga: Misteri Jam Raksasa di Candi Borobudur)