Find Us On Social Media :

Tradisi Jawa Ruwatan dengan Pergelaran Wayang Kulit

By K. Tatik Wardayati, Rabu, 6 Mei 2015 | 17:00 WIB

Tradisi Jawa Ruwatan dengan Pergelaran Wayang Kulit

Pakar susastra Jawa Drs. Subalidinata menilai, ruwatan zaman dulu merupakan proses suci berkaitan dengan kepercayaan. Kini ruwatan lebih berkesan pada kebudayaan yang bercampur dengan seni. Khususnya wayang sebagai fiksi yang divisualkan sedemikian rupa agar masyarakat bertambah tertarik dan percaya, bahwa Betara Kala betul-betul ada. Padahal tokoh raksasa itu hanya simbol. Maka kalau upacara ruwatan ini ingin terus dilestarikan, nilai simbolis dari kelahiran Betara Kala itu yang perlu dipahami. la simbol ketamakan akibat sperma yang tercecer. "Itu sebabnya Betara Kala juga dinamakan Kama Salah atau sperma yang salah tempat," ujar Subalidinata.

Tapi upacara ruwat, menurut Dr. Budi Susanto, diterjemahkan lain. la adalah simbol penghargaan terhadap suatu gejala atau perubahan yang tidak terduga. Di saat rasio tak mampu menjawab, ketika pikiran sudah mentok tak sanggup memecahkan, maka ruwatan memang cara termudah untuk memasrahkan diri dengan harapan gejala perubahan itu pulih kembali. "Bagaimanapun aktivitas seremonial sakral ini akan mampu memberikan dampak psikologis bagi yang percaya dan melakukannya," ujar antropolog lulusan Cornell University itu.

Betul sekali, Susanto dari Surakarta misalnya, mengaku begitu usai anaknya yang unting-unting diruwat merasa plong dadanya. "Hilang beban saya sekarang. Bertahun-tahun upacara ruwatan ini kami tunggu, baru sekarang sempat terlaksana. Ya, semoga keluarga kami dijauhkan dari berbagai cobaan," ungkapnya berharap.

Susanto bisa jadi wakil contoh kecil dari sekian banyak contoh besar, bahwa ruwatan merupakan upaya transendental yang sanggup menenenangkan batin manusia yang lagi bimbang dan guncang. Kalau betul, itu berarti tradisi sanggup mengalahkan modernisasi. Mitos nyaris menggeser realitas.

Namun, H. Karkono K. Partokusumo menyatakan, tidak berani menjamin bahwa setelah bocah sukerto diruwat akan benar-benar menghapus segala mara bahaya dirinya maupun lingkungan keluarganya. "Anak jenis apa pun, itu titipan Tuhan. Kita hanya sebartasberdoa, “ujarnya.

Bertolak dari pengalaman Lembaga Javanologi selama 4 kali menyelenggarakan ruwatan, Karkono menyatakan banyak orang Jawa masih percaya. Tapi pihak penyelenggara berusaha agar masyarakat tidak yakin begitu saja tanpa pemahaman realistis makna yang tersirat di baliknya. Upacara ruwatan dengan pergelaran wayang berlakon Murwakala, menurut Karkono, sebenarnya sarat akan pesan dan amanat nilai-nilai luhur dalam kehidupan bermasyarakat.

Melalui pesan-pesan simbolik, upacara ruwatan menyadarkan kita akan hukum adikodrati yang sifatnya mutlak dan abadi. Siapa  yang taat akan selamat, sebaliknya siapa yang melanggar akan mengalami kesengsaraan. Dengan demikian, kata Karkono, "Upacara ruwatan merupakan media pendidikan yang mengajarkan nilai-nilai kehidupan yang hakiki sebagai bekal hidup untuk mencapai ketenteraman dan keselamatan lahir maupun batin."

Pandangan di atas digarisbawahi oleh Drs. Subalidinata. Dosen Fakultas Sastra jurusan Sastra Jawa, UGM, ini mengingatkan, ruwatan secara rasional sebenarnya menyucikan jiwa anak sukerto dengan pembekalan berbagai ajaran etik dan moral yang terungkap dalam upacara maupun pergelaran wayang. Sejak itu diharapkan anak sukerto tersebut selalu berhati-hati sesuai dengan ajaran yang telah diterimanya.

--

Tulisan ini pernah dimuat dalam rubrik Terawang di Majalah Intisari edisi September 1993 dengan judul asli Ruwat, Sebuah Ungkapan Kepasrahan Diri. Ditulis oleh koresponden Intisari B. Soelist.