Find Us On Social Media :

Tradisi Jawa Ruwatan dengan Pergelaran Wayang Kulit

By K. Tatik Wardayati, Rabu, 6 Mei 2015 | 17:00 WIB

Tradisi Jawa Ruwatan dengan Pergelaran Wayang Kulit

Intisari-Online.com – Tradisi Jawa yang satu ini sering kali membawa mereka yang percaya pada keadaan dilematis psikologis. Kegelisahan batin akan mengusik jiwa mereka jika upacara ruwatan untuk keselamatan anaknya tidak dilaksanakan. Sementara pelaksanaannya butuh biaya tidak sedikit. Masih perlukah tradisi Jawa ruwatan dengan pergelaran wayang kulit ini dilestarikan?

--

Orang yang tak mengenal tradisi Jawa pasti bingung lalu geleng-geleng kepala menyaksikan sekitar 53 anak sukerto berbaris rapi, duduk khusyuk di belakang kelir (layar) mendengarkan wejangan ki dalang yang sedang menyuguhkan pergelaran wayang kulit. Pakaian mereka seragam, berupa kain putih polos yang dililitkan di tubuh, disebut kopohan.

Nampak seorang bocah berumur 6 tahun duduk terkantuk-kantuk, lalu diperingatkan oleh orang tuanya. Maklum, dalam proses ritual ruwatan ini memang banyak pantangannya, salah satunya mereka tak boleh tertidur bila tak ingin disambar Betara Kala. Apalagi ketika sang dalang sedang merapal mantra wringin sungsang dan rajah kala cakra, semua yang hadir dalam upacara itu termasuk para sukerto dilarang berbicara, apalagi mengantuk. Pada kesempatan itu pula penonton wanita yang sedang hamil dimohon untuk sementara meninggalkan tempat upacara. Sementara penonton anak-anak dilarang memanjat pohon atau pagar. Semua diminta hening, sebab Betara Kala sedang berkeliaran dan nyaris berhasil ditangkap dan dikalahkan sang dalang.

Tiba pada puncak upacara ruwatan, ki dalang akan memotong sedikit rambut para sukerto sebelum dilanjutkan dengan upacara siraman, mandi dengan air dari tujuh sumber. Siraman yang juga dilakukan oleh ki dalang, itu simbol terbebasnya Kala dari tubuh suterto.

Apa Bapak percaya pada ruwatan dan manusia sukerto?

"Ya, saya percaya," kata Pujiarto (45), keluarga peserta ruwatan. "Sudah lama saya diperintah oleh orang tua saya untuk meruwat anak saya, tetapi karena sibuk baru kali ini bisa kami lakukan," ungkap pegawai Pertamina dari Jakarta ini. Ketiga anaknya, perempuan di tengah (pakem pangruwatan menyebutnya  sendang kapit pancuran), acap kali sakit dan ada saja masalah yang mengganggu ketenangan keluarga.

 "Saya puas dan lega bisa memenuhi amanat orang tua. Sekaligus kami juga ingin membuktikan, apakah ada perubahan suasana dalam keluarga dengan ruwatan itu nanti," tambahnya.

Beberapa kasus di atas adalah contoh nyata betapa ruwat masih melekat dalam sistem kepercayaan masyarakat Jawa hingga sekarang. Akibatnya, dalang ruwat pun dianggap sebagai dalang sakti. Konon  tak semua dalang "bisa" melakukannya.

"Ah, apanya yang sakti, saya mendalang tidak pakai puasa dan tirakat. Yang penting kita punya maksud baik, pasti selamat," aku Ki Cermosujarwo alias Suyatin, dalang wayang kulit yang pada upacara ruwatan masal keempat itu dipasrahi untuk mendalang.

Dalam konteks demikian itulah, H. Karkono berani menggantikan dalang yang berbeda dalam setiap acara ruwatan. Sebelum Ki Suyatin yang asal Klaten ini, dalang ruwatnya Sugi Cermo Sudjono, lalu Timbul Hadi Prayitno. "Tak ada maksud apa-apa, pemerataan saja," jelas Karkono.

Kama Salah simbol ketamakan