Penulis
Intisari-Online.com – Tradisi Jawa yang satu ini sering kali membawa mereka yang percaya pada keadaan dilematis psikologis. Kegelisahan batin akan mengusik jiwa mereka jika upacara ruwatan untuk keselamatan anaknya tidak dilaksanakan. Sementara pelaksanaannya butuh biaya tidak sedikit. Masih perlukah tradisi Jawa ruwatan dengan pergelaran wayang kulit ini dilestarikan?
--
Orang yang tak mengenal tradisi Jawa pasti bingung lalu geleng-geleng kepala menyaksikan sekitar 53 anak sukerto berbaris rapi, duduk khusyuk di belakang kelir (layar) mendengarkan wejangan ki dalang yang sedang menyuguhkan pergelaran wayang kulit. Pakaian mereka seragam, berupa kain putih polos yang dililitkan di tubuh, disebut kopohan.
Nampak seorang bocah berumur 6 tahun duduk terkantuk-kantuk, lalu diperingatkan oleh orang tuanya. Maklum, dalam proses ritual ruwatan ini memang banyak pantangannya, salah satunya mereka tak boleh tertidur bila tak ingin disambar Betara Kala. Apalagi ketika sang dalang sedang merapal mantra wringin sungsang dan rajah kala cakra, semua yang hadir dalam upacara itu termasuk para sukerto dilarang berbicara, apalagi mengantuk. Pada kesempatan itu pula penonton wanita yang sedang hamil dimohon untuk sementara meninggalkan tempat upacara. Sementara penonton anak-anak dilarang memanjat pohon atau pagar. Semua diminta hening, sebab Betara Kala sedang berkeliaran dan nyaris berhasil ditangkap dan dikalahkan sang dalang.
Tiba pada puncak upacara ruwatan, ki dalang akan memotong sedikit rambut para sukerto sebelum dilanjutkan dengan upacara siraman, mandi dengan air dari tujuh sumber. Siraman yang juga dilakukan oleh ki dalang, itu simbol terbebasnya Kala dari tubuh suterto.
Apa Bapak percaya pada ruwatan dan manusia sukerto?
"Ya, saya percaya," kata Pujiarto (45), keluarga peserta ruwatan. "Sudah lama saya diperintah oleh orang tua saya untuk meruwat anak saya, tetapi karena sibuk baru kali ini bisa kami lakukan," ungkap pegawai Pertamina dari Jakarta ini. Ketiga anaknya, perempuan di tengah (pakem pangruwatan menyebutnya sendang kapit pancuran), acap kali sakit dan ada saja masalah yang mengganggu ketenangan keluarga.
"Saya puas dan lega bisa memenuhi amanat orang tua. Sekaligus kami juga ingin membuktikan, apakah ada perubahan suasana dalam keluarga dengan ruwatan itu nanti," tambahnya.
Beberapa kasus di atas adalah contoh nyata betapa ruwat masih melekat dalam sistem kepercayaan masyarakat Jawa hingga sekarang. Akibatnya, dalang ruwat pun dianggap sebagai dalang sakti. Konon tak semua dalang "bisa" melakukannya.
"Ah, apanya yang sakti, saya mendalang tidak pakai puasa dan tirakat. Yang penting kita punya maksud baik, pasti selamat," aku Ki Cermosujarwo alias Suyatin, dalang wayang kulit yang pada upacara ruwatan masal keempat itu dipasrahi untuk mendalang.
Dalam konteks demikian itulah, H. Karkono berani menggantikan dalang yang berbeda dalam setiap acara ruwatan. Sebelum Ki Suyatin yang asal Klaten ini, dalang ruwatnya Sugi Cermo Sudjono, lalu Timbul Hadi Prayitno. "Tak ada maksud apa-apa, pemerataan saja," jelas Karkono.
Kama Salah simbol ketamakan
Pakar susastra Jawa Drs. Subalidinata menilai, ruwatan zaman dulu merupakan proses suci berkaitan dengan kepercayaan. Kini ruwatan lebih berkesan pada kebudayaan yang bercampur dengan seni. Khususnya wayang sebagai fiksi yang divisualkan sedemikian rupa agar masyarakat bertambah tertarik dan percaya, bahwa Betara Kala betul-betul ada. Padahal tokoh raksasa itu hanya simbol. Maka kalau upacara ruwatan ini ingin terus dilestarikan, nilai simbolis dari kelahiran Betara Kala itu yang perlu dipahami. la simbol ketamakan akibat sperma yang tercecer. "Itu sebabnya Betara Kala juga dinamakan Kama Salah atau sperma yang salah tempat," ujar Subalidinata.
Tapi upacara ruwat, menurut Dr. Budi Susanto, diterjemahkan lain. la adalah simbol penghargaan terhadap suatu gejala atau perubahan yang tidak terduga. Di saat rasio tak mampu menjawab, ketika pikiran sudah mentok tak sanggup memecahkan, maka ruwatan memang cara termudah untuk memasrahkan diri dengan harapan gejala perubahan itu pulih kembali. "Bagaimanapun aktivitas seremonial sakral ini akan mampu memberikan dampak psikologis bagi yang percaya dan melakukannya," ujar antropolog lulusan Cornell University itu.
Betul sekali, Susanto dari Surakarta misalnya, mengaku begitu usai anaknya yang unting-unting diruwat merasa plong dadanya. "Hilang beban saya sekarang. Bertahun-tahun upacara ruwatan ini kami tunggu, baru sekarang sempat terlaksana. Ya, semoga keluarga kami dijauhkan dari berbagai cobaan," ungkapnya berharap.
Susanto bisa jadi wakil contoh kecil dari sekian banyak contoh besar, bahwa ruwatan merupakan upaya transendental yang sanggup menenenangkan batin manusia yang lagi bimbang dan guncang. Kalau betul, itu berarti tradisi sanggup mengalahkan modernisasi. Mitos nyaris menggeser realitas.
Namun, H. Karkono K. Partokusumo menyatakan, tidak berani menjamin bahwa setelah bocah sukerto diruwat akan benar-benar menghapus segala mara bahaya dirinya maupun lingkungan keluarganya. "Anak jenis apa pun, itu titipan Tuhan. Kita hanya sebartasberdoa, “ujarnya.
Bertolak dari pengalaman Lembaga Javanologi selama 4 kali menyelenggarakan ruwatan, Karkono menyatakan banyak orang Jawa masih percaya. Tapi pihak penyelenggara berusaha agar masyarakat tidak yakin begitu saja tanpa pemahaman realistis makna yang tersirat di baliknya. Upacara ruwatan dengan pergelaran wayang berlakon Murwakala, menurut Karkono, sebenarnya sarat akan pesan dan amanat nilai-nilai luhur dalam kehidupan bermasyarakat.
Melalui pesan-pesan simbolik, upacara ruwatan menyadarkan kita akan hukum adikodrati yang sifatnya mutlak dan abadi. Siapa yang taat akan selamat, sebaliknya siapa yang melanggar akan mengalami kesengsaraan. Dengan demikian, kata Karkono, "Upacara ruwatan merupakan media pendidikan yang mengajarkan nilai-nilai kehidupan yang hakiki sebagai bekal hidup untuk mencapai ketenteraman dan keselamatan lahir maupun batin."
Pandangan di atas digarisbawahi oleh Drs. Subalidinata. Dosen Fakultas Sastra jurusan Sastra Jawa, UGM, ini mengingatkan, ruwatan secara rasional sebenarnya menyucikan jiwa anak sukerto dengan pembekalan berbagai ajaran etik dan moral yang terungkap dalam upacara maupun pergelaran wayang. Sejak itu diharapkan anak sukerto tersebut selalu berhati-hati sesuai dengan ajaran yang telah diterimanya.
--
Tulisan ini pernah dimuat dalam rubrik Terawang di Majalah Intisari edisi September 1993 dengan judul asli Ruwat, Sebuah Ungkapan Kepasrahan Diri. Ditulis oleh koresponden Intisari B. Soelist.