Find Us On Social Media :

Rumah Panggung, Kekayaan Arsitektur Indonesia yang Penuh dengan Makna SImbolis dan Filosofis

By intisari-online, Minggu, 19 Februari 2017 | 09:01 WIB

Rumah Panggung

Dahulu, rumah panggung di Desa Palakka maupun di Benteng Wolio 100% terbuat dari kayu dan bahan alam lainnya. Namun seiring dengan perkembangan zaman, rumah panggung sudah divariasi dengan berbagai elemen modern seperti batu bata, keramik, dan atap dari seng atau genting. Bagian rumah seperti dinding dan jendela juga mulai mengikuti gaya rumah-rumah di kota atau di televisi yang setiap hari mereka tonton.

Selain karena pengaruh modernisasi, salah satu yang paling signifikan mengubah kebiasaan membangun rumah panggung dengan kayu 100% adalah larangan menebang kayu di hutan secara serampangan. Banyak hutan dijadikan hutan kawasan dan dilindungi. Tidak setiap penduduk boleh menebang kayu, lebih-lebih kayu-kayu mahal dan berdiameter besar yang mulai langka.

Hal ini pula yang menjadi kegelisahan seorang seniman karungut (seni bertutur, semacam pantun atau syair tentang nilai, adat, moral, dan perjuangan) yang tersohor di Kabupaten Katingan, Kalimantan Tengah, yang bernama Syaer Sua U Rangka atau biasa dipanggil Syaer Sua. Kecintaannya kepada rumah panggung (huma betang/rumah panjang) khas Dayak yang mulai ditinggalkan, membuatnya membangun dua huma betang yang selain untuk ditinggali juga menjadi wahana untuk melestarikan kegiatan kesenian tradisional Dayak lainnya.

Huma Betang khas Dayak ini mulai ditinggalkan karena orang-orang sudah beralih untuk tinggal di rumah-rumah tunggal. Mereka hanya berkumpul di rumah betang ketika upacara adat saja. Untuk mewujudkan rumah betang idamannya itu, Syaer Sua harus mendapatkan kayu pohon ulin atau belian (Eusideraoxlon zwageri) yang mahal dan langka di hutan-hutan adat selama dua sampai tiga bulan sebagai bahan baku rumahnya. Untuk memperoleh kayu-kayu tersebut dia dibantu oleh perusahaan perkayuan yang membantu mengangkut sekitar 150 pohon ulin untuk kedua huma betangnya.

Semakin sulit dan langkanya bahan baku kayu atau pohon untuk membangun rumah panggung tentu menjadi kendala tersendiri bagi masyarakat yang ingin membangun rumah panggung. Meskipun, hal ini menjadi kabar gembira bagi mereka yang cinta dan berjuang menjaga lingkungan, khususnya hutan-hutan Nusantara yang mulai rusak karena pembalakan liar dan pembakaran. Masyarakat, terpaksa ataupun tidak, mulai menahan diri untuk tidak menebang pohon dengan secara liar. Meskipun di sisi lain, muncul kesedihan karena kita akan semakin jarang melihat rumah panggung kayu unik yang dibangun oleh masyarakat, kecuali untuk situs-situs atau pameran cagar budaya yang terbatas sifatnya.

Namun, bukankah makin jarang, tua, dan langka, maka makin bernilai sesuatu itu? Begitu pun dengan rumah panggung, makin tua usia dan orisinil, maka makin bernilai bangunan tersebut. Bahkan seperti sekarang, kecenderungan membangun rumah panggung mini untuk rumah makan, penginapan, atau tempat-tempat peristirahatan di wahana wisata, menunjukkan rumah panggung bisa menjadi trend bangunan dan arsitektur yang menginspirasi dan terpelihara. Tentu dengan bahan-bahan bangunan yang lebih variatif dan (semoga) ramah lingkungan.