Find Us On Social Media :

Mengertilah Wahai Orangtua, Jangan Paksa Anak Kidal Menjadi 'Normal'!

By Ade Sulaeman, Senin, 3 Juli 2017 | 06:00 WIB

Jangan Paksa Anak Kidal Menjadi 'Normal'

Intisari-Online.com - Jumlah populasi anak kidal di dunia yang hanya 5-25% disebabkan oleh faktor sosial dan budaya.

Sebagian besar norma menyatakan bahwa tangan kanan “lebih baik” dibandingkan tangan kiri.

Pada akhirnya, “Hal ini menjadi masalah karena berdasarkan kesepakatan bersama, tangan kiri itu dinilai tidak baik,” ujar Harini Tunjungsari, psikolog dari Unika Atma Jaya.

(Baca juga: Akhirnya Ditemukan Alasan Mengapa Orang Kidal atau Bertangan Kanan Dominan)

Menurut Atink, panggilan Harini, hal ini membuat mereka cenderung mendapat stigma buruk dari masyarakat.

Terutama bila orang kidal tersebut harus berinteraksi langsung dengan orang lain yang non-kidal, misalnya saat berjabat tangan atau saat memberikan suatu barang.

Anak kidal yang belum terbiasa bisa saja dengan otomatis menggunakan tangan kirinya.

Tentunya perubahan kecenderungan ini pada akhirnya memberikan dampak bagi anak. Dampak positif tentunya lebih dianggap “normal” oleh masyarakat pada umumnya.

Sebuah keuntungan yang tidak sebanding dengan kerugian yang dialami anak.

Menurut Dr. Barbara Sattler, ketua sebuah lembaga konsultasi bagi anak kidal dari Jerman, perubahan itu diiringi juga perubahan pada bagian otak yang mengakibatkan berbagai dampak primer.

Beberapa dampak primer yang dimaksud adalah terganggunya ingatan, terutama pada bagian penting dalam mengolah infomasi, kesulitan dalam berkonsentrasi, kesulitan dalam membaca dan mengeja, disorientasi ruang, gangguan dalam berbicara, seperti gagap, serta gangguan motorik yang menyebabkan terganggunya berbagai aktivitas yang memerlukan presisi seperti menulis.

(Baca juga: Mengharukan! Tiga Bersaudara Ini Rela Mati Terbakar Demi Menemani Orangtua Terkasih)

Nah, ketika gejala-gejala primer tersebut telah muncul namun anak masih dipaksa mengubah kecenderungan penggunaan tangannya, maka, beberapa dampak sekunder dapat terjadi.

Contoh dari dampak burukh yang dimaksud adalah anak menjadi merasa rendah diri, pemalu, tertutup, bersifat agresif, suka memprovokasi, suka mengompol, serta dapat memiliki masalah emosi yang ketika terbawa hingga dewasa dapat menyebabkan gangguan saraf atau beberapa gangguan kepribadian.