Penulis
Intisari-Online.com – Mungkin Anda masih teringat peristiwa Mogadishu, waktu tentara khusus Jerman GSG-9 berhasil membebaskan para sandera dalam pesawat Lufthansa di ibukota Somalia.
Waktu itu dunia gempar, karena ada kelompok yang bisa menaklukkan teroris. Sejak itu tidak terdengar apa-apa lagi tentang kelompok elite Jerman itu.
Apakah mereka sedang "lengah"? Bagaimana kalau teroris beraksi lagi? Berikut ini kisah mereka seperti dimuat dalam Majalah Intisari edisi Februari 1985.
--
Malam itu, sebuah pesawat Airbus Lufthansa LH 600 tinggal landas menuju Teheran. Sejajar dengan jalur terbang di Pelabuhan Udara Rhein-Main, Frankfurt itu, tampak sebuah Jumbo "Rheinland-Pfalz."
Di dalam kegelapan, tiba-tiba tampak sosok-sosok berseragam hijau tua, mengendap-endap, mendekati bagian belakang pesawat raksasa itu. Mereka adalah Regu "Tango". "Tango" yang dalam alphabet penerbangan mewakili huruf "T", mempunyai arti tersendiri bagi sosok-sosok tadi: Teroris!
Baca juga: Koopssusgab, Hanya 90 Orang Namun Paling Mematikan di Dunia! Siap Kirim Teroris ke Neraka
Ada yang menggotong tangga aluminium hitam, ada yang menyandang senjata mesin. Di bawah pintu besar dan pintu darurat pesawat, tangga-tangga itu diletakkan. Sedikit demi sedikit tangga itu disorong ke atas.
Begitu ujung tangga-tangga yang terbungkus karet busa itu menyentuh pesawat, sambil membungkuk, keempat pria bersenjata berat itu segera naik. Juga tanpa suara. Perlahan, yang paling atas merapatkan dirinya pada dinding pesawat, mendekati pembuka pintu.
Dengan perintah "go", serentak mereka mengelilingi pintu, menarik pintu ke luar dan sambil menundukkan kepala mereka minggir.
Dalam sekejap, orang-orang di sebelahnya yang memegang senjata menyerbu masuk kabin. Mereka langsung menuju cockpit, lewat tangga putar.
"Tundukkan kepala!", dengan gerak cepat pria-pria yang berpakaian tidak tembus peluru dan topi baja hitam itu memeriksa deretan tempat duduk, mencari "Tango", di dapur, wc, lemari dan kabin tempat tidur. Perintah selanjutnya: "Ulangi dari permulaan!"
Baca juga: Heli Apache Bisa Jadi Partner Pasukan Khusus untuk Tumpas Teroris
Pasukan Pengawal Perbatasan – 9 , GSG-9, itu sedang mengadakan latihan penyergapan yang membuat mereka terkenal di dunia: Menyerbu pesawat udara yang penuh penumpang yang dikuasai para teroris. Malam itu mereka berlatih selama enam jam.
Juga pada malam berikutnya. Latihan terakhir diadakan pada hari Kamis, 18 Oktober, Hari Mogadishu.
Pada tanggal 18 Oktober 1977, pasukan GSG-9, berhasil membebaskan 86 penumpang beserta awak pesawat Lufthansa City Jet Landshut, di lapangan udara ibukota Somalia dari tangan teroris Palestina.
Dengan keberhasilan itu berarti para pahlawan Mogadishu telah membuktikan, kalau negara mereka tidak bisa terus diperas oleh para teroris. Seluruh sandera berhasil dibebaskan tanpa cedera.
Ini suatu kemenangan. Komandan Ulrich Wegener beserta anak buahnya pun dielu-elukan dan mendapat penghargaan tinggi.
Baca juga: Terungkap, Pelaku Bom Di Gereja Surabaya Ternyata Keponakan Jaringan Teroris Bom Bali 1!
Sejak itu, tidak lagi pernah terdengar prestasi spektakuler pasukan khusus Pengawal Perbatasan Jerman itu. Apa yang dilakukan mereka di dalam barak yang berpengaman pagar kawat berduri dan kamera video di Hangelar, Bonn itu? Apakah pasukan itu masih akan tetap diperlukan?
Uwe Dee (44), yang sekarang memegang pimpinan pasukan itu, tenang-tenang saja mendengar pertanyaan itu. Dia menganggap, berkat anak buahnyalah, maka akhir-akhir ini mereka tidak lagi menghadapi aksi besar kaum teroris.
"Karena ada GSG-9, orang jadi ngeri untuk berbuat yang bukan-bukan," ujar Dee. Contohnya, dengan bangga dia menceritakan tentang reaksi pembajak Libanon.
Pada bulan Desember 1981, para pembajak berhasil menguasai pesawat Boeing 727 milik Libia dalam perjalanan menuju Zurich. Mereka memaksa pesawat itu untuk terbang ke Tripoli.
Setelah putar-putar beberapa hari, kapten pesawat waktu itu minta izin mengisi bahan bakar di Saudi Arabia. Para penculik menolak permintaan itu dengan alasan, GSG-9 berada di sana.
Baca juga: Inilah Gambaran Jika Pasukan Elit Bersatu Menumpas Teroris Tanpa Kenal Kompromi
Memang saat itu pasukan khusus dari Hangelar berada di Riyadh, untuk melatih kesatuan khusus Angkatan Perang dalam menangkis serangan teroris.
Terpaksa berlindung di bawah seprai
Kini salah satu dari 24 regu khusus Dee, yang terdiri atas lima orang harus dikirim ke Libanon. Kementerian Luar Negeri minta kepada Menteri Dalam Negeri Zimmermann, agar memberi perlindungan khusus bagi duta besar mereka di Beirut.
Mereka minta dua regu. "Itu tidak mungkin, kalau mau efektif." Dee sendiri sebenarnya tidak setuju dengan pengiriman itu. Tapi perintah tetap perintah.
"Kelima anggota regu yang bekerja secara kompak. itu pun berangkat!" Dengan paspor diplomatik dan persenjataan komplet, kelima anggota GSG-9 berangkat dalam misi rahasianya ke Timur Dekat. Sampai saat akhir pun istri mereka tidak diberi tahu tujuan mereka.
Ketekunan dan kesabaran merupakan syarat yang harus dimiliki setiap anggota GSG-9. Mereka juga dituntut bisa mengatasi stress, memiliki jiwa kerja sama antar anggota, kecepatan reaksi dan kemampuan berkonsentrasi.
Baca juga: 3 Terduga Teroris di Probolinggo Berhasil Diciduk oleh Densus 88 Tanpa Perlawanan
Di- samping tes kesehatan, juga ada tes olahraga, tes menembak, inteligensi dan tes psikologi selama lima jam.
Penyaringan anggota anti teroris dipegang oteh psikolog polisi Wolfgang Salewski. Dalam ujian biasanya 70% peserta gugur. Yang diperlukan bukan tindakan wildwest, tetapi mentalitas baja.
Ini tampak dalam penangkapan dua tokoh teroris besar pada tanggal 11 November 1982 di dekat Offenbach, yang mengakibatkan berakhirnya "fraksi" tentara merah (RAF).
Selama empat hari empat malam, anggota GSG-9 bersembunyi di tempat persembunyian di hutan.
"Selama masa observasi itu kadang-kadang kami sudah putus asa," ujar Dee. "Bukan karena waktunya yang lama, melainkan karena para pencari jamur dan para jogger sudah mencium kehadiran anggota kami. Kami takut sekali kalau aksi kami sudah ketahuan."
Baca juga: Begini Cara ISIS Kumpulkan Uang Hingga Jadi Organisasi Teroris Terkaya
Perjuangan menghadapi RAF waktu itu benar-benar memaksai konsep gerilya. Para spesialis anti teroris itu tidak memiliki perlengkapan hutan yang memadai: tidak ada sekop lipat, jaring dan tenda.
Benda-benda perlengkapan itu sudah dicoret dari daftar keperluan. Ketika salju turun, mereka hanya bisa berlindung di bawah kain seprai.
Akhirnya, dalam keremangan, tampaklah dua wanita berambut pirang dan hitam menyelinap masuk ke tempat yang diincar para anggota anti teroris itu. Di tempat itu baru saja diketemukan berkas rencana penyerbuan dan strategi RAF dan senjata-senjata berat.
Kedua wanita tadi ternyata anggota RAF yang sudah lama dicari, Brigitte Mohnhaupt dan Adelheid Schulz. Saat mereka sedang sibuk menggali, dalam sekejap mereka sudah terbanting di lantai dan senjatanya dilucuti.
Bahkan Brigitte Mohnhaupt yang paling ditakuti itu tidak sempat menarik pistolnya yang disembunyikan di balik bajunya.
Baca juga: Terlibat Langsung Memberantas Terorisme, TNI Bisa Jadi 'Sasaran Resmi' para Teroris Berikutnya
Bahwa teroris bisa disergap tanpa pertumpahan darah, juga sudah dibuktikan oleh GSG-9 di dalam pertemuan Kementerian Dalam Negeri tahun 1979. Waktu itu seorang polisi komando istimewa Bayern, pernah menembak mati seorang anggota RAF, Elizabeth von Dyck, di Nurnberg.
Seorang anggota pria RAF lain, Rolf Heissler, tertangkap di Frankfurt dengan luka berat di kepalanya. Sementara dalam demonstrasi seperti sesungguhnya di barak Hangelar, para "teroris" tampak terbaring terikat di lantai. Tanpa ada tembusan peluru.
Mereka cukup menggunakan lampu kilat untuk mengejutkan dan pukulan karate untuk melucuti senjata.
Menyerbu dengan stopwatch
"Kalau menyerbu ke suatu tempat, seperti rumah, bus, kereta api atau kapal terbang, kami selalu menggunakan stopwatch," kata komandan Dee. "Dalam waktu empat sampai lima detik, semua harus sudah beres. Efek memberikan keterkejutan dan kecepatan merupakan kunci keberhasilan.
Tujuan tentu saja menangkap para penyandera, tapi dalam hal penyanderaan itu tentu saja tugas utama kami adalah menyelamatkan para sandera. Sedang menembak mati adalah konsep tindakan kami yang terakhir."
Baca juga: Ini Kekuatan Pasukan Elite Anti-teror TNI yang Siap Bantu Densus 88 Tumpas Teroris
Bagaimana keadaan sehari-hari di Hangelar? Di dalam ruang tembak yang terletak di bawah tanah barak itu, tampak dua orang anggota sedang latihan menembak dengan selfloading pistol P7 kaliber 9 mm.
Dengan alat peredam suara kuning yang dipasang di telinga, mereka membidik dan menembak. Tidak keras suara yang terdengar. Selongsong peluru kosong melesat dan menggelinding di lantai.
Setiap setelah delapan kali tembakan, dengan sepatu bot tempur, para penembak menuju ke sasaran yang terletak 25 meter di depan untuk melihat berapa yang kena.
Dalam ruang senjata di tingkat pertama terdapat bungkusan obat-obatan dan pisau karet untuk pendidikan pertempuran jarak dekat. Di atas sebuah rak panjang, terdapat peralatan kerja pasukan anti teroris: senjata mesin, senapan, revolver dan pistol.
Pada setiap gagang senjata itu tertempel label nama masing-masing pemilik. Setiap anggota GSG-9, yang kini berjumlah dua ratus orang itu, mempunyai senjata yang siap pakai. Yang terbaru adalah senjata PSG-1, alat tembak tepat dengan lensa teleskop sinar infra merah.
Baca juga: Alasan Tujuan Teroris untuk Tegakkan Ideologi dan Tatanan Baru Sulit untuk Diterima
"Sehingga malam hari kami juga dapat menggunakan teleskop," kata seorang anggota. Persenjataan seberat tujuh kilo yang dimasukkan dalam kopor hijau dari aluminium itulah yang dibawa oleh tiap regu dalam tugas.
Di dalam tempat persenjataan itu juga terdapat "senjata-senjata rahasia" GSG-9, misalnya alat tembak yang bisa menembus dinding beton setebal 30 cm. Ada lagi alat tembak dengan amunisi khusus, untuk "mengetuk", kata seorang pelatihnya.
Dengan peluru itu kaca-kaca tebal jendela dan pintu dengan mudah bisa dipecahkan.
"Sekarang saya sudah tahu semua tipuan. Seandainya saya ganti tempat jadi teroris, saya yakin tidak akan bisa berbuat apa-apa," kata seorang anggota, sehabis latihan menyerbu rumah.
Dari atap sebuah gedung tinggi, dua anggota meluncur dengan tali ke sebuah ruangan. Ceritanya, di dalam ruang itu ada seseorang yang sedang disandera sekelompok teroris.
Baca juga: Sulit Serang Tokoh Penting, Teroris Cenderung Incar Sasaran yang Sedang Lengah
Dalam waktu bersamaan yang begitu sempurna, para anggota GSG-9 menerjang jendela dan langsung membekuk teroris-teroris palsu itu. Melihat adegan itu, seorang ahli efek khusus film ala James Bond, begitu kagum.
Menurut dia, walau dia tahu tepat apa yang akan terjadi, dia tetap begitu terkejut. Sampai dia berpendapat, mungkin kalau di AS mereka itu bisa dipakai sebagai stuntman dengan bayaran tinggi. Di sana belum ada yang bisa bertindak demikian sempurna.
Selalu siap 100%
"Entah mengapa, kata elite sekarang ini tidak begitu suka saya gunakan,” kata Uwe Dee. "Kami ini memang elite dan kami tidak perlu memamerkan kebisaan kami, karena keyakinan itu sudah dimiliki dalam diri masing-masing anggota kami."
"Usahakan supaya Anda selalu bisa bertindak bebas!" merupakan salah satu dari tujuh petunjuk dasar yang tercantum di kertas yang tertempel di ruang kelas 3 barak Hangelar. Juga ada: "Hanya yang mudah yang biasanya berhasil."
Contoh buruk dari gerak yang diatur dari pusat adalah apa yang terjadi pada pasukan anti teroris AS, ketika berusaha membebaskan para sandera di kedubes di Teheran. Menurut Dee, pada prinsipnya: Ada perintah.
Baca juga: Atasi Terorisme, Jokowi Aktifkan Kembali Koopsusgab TNI, Pasukan Elite dari yang Elite
Tindakan apa yang akan diambil, terserah pada masing-masing pemimpin regu.
Semua upaya penyelamatan sandera yang pernah terjadi di dalam maupun di luar negeri, dianalisa oleh para ahli di Hangelar. Selama berhari-hari dari sampai pada hal yang sekecil-kecilnya.
"Kami mengundang seorang anggota yang pernah ikut dalam masing-masing aksi itu dan minta dia memberi penjelasan sampai hal sekecilnya. Juga disertai foto dan film yang bisa memperlihatkan kesalahan-kesalahan yang dilakukan. Kemudian kami diskusikan, tindakan lebih baik mana yang dapat diambil," demikian ungkap Dee.
"Di antara kami memang ada yang tangannya sudah gatal. Sementara sebagian besar tetap bersikap tenang. Mereka lebih senang terus berlatih sesempurna mungkin," kata pemimpin bagian pendidikan.
"Yang jelas, bila tiba waktu penyerangan, mereka sudah siap 100%!" (Michael Seufert)
Baca juga: Meski Belum Ada Perintah, Pasukan Anti-teror TNI Selalu Siaga Untuk Melibas Aksi Terorisme