Guru Bermental (Wira)Swasta

Arif Bawono Surya

Penulis

Guru Bermental (Wira)Swasta

Intisari-Online.com -Bila ada pertanyaan, "Siapakah yang bersalah ketika ada seorang murid yang dianggap bodoh atau nakal?" Kebanyakan dari guru saat ini lebih banyak menyalahkan si murid. Entah karena si murid malas belajar, banyak bolos, ramai sendiri saat di kelas atau pun alasan lain. Akan tetapi coba kita mundur sejenak, melihat segala sesuatu dari luar kotak dan berpikir dari sudut pandang yang berbeda. Berpikir layaknya seorang pengusaha atau wiraswasta. Lo kok wiraswasta?

(Alicia Zimmerman, Guru yang Gunakan Lego untuk Mengajarkan Matematika)

Iya, karena sebenarnya guru - baik guru PNS yang mengabdi di sekolah negeri maupun guru non-PNS atau guru yang mengabdi di sekolah swasta - berada pada suatu instansi yang di dalamnya juga ada perputaran uang. Ada sistem, ada produk berupa jasa yang “diperjual-belikan”. Sekolah ibarat perusahaan dengan kepala sekolah sebagai direkturnya, guru sebagai penghasil produk plus penjualnya, dan karyawan sekolah sebagai tenaga operasional sehari-hari. Orangtua murid atau bahkan murid itu sendiri adalah konsumen dari perusahaan bernama sekolah ini.

Maka bila seorang guru berpikir sebagai wiraswasta maka pasti akan berusaha memenuhi kebutuhan dan kepuasan dari konsumennya. Tidak hanya sekadar mengajar dengan hanya berniat menggugurkan kurikulum atau sekedar memenuhi tugas tapi selalu dituntut untuk memberikan apa yang terbaik bagi konsumennya yaitu anak didiknya. Memberikan yang terbaik tidak hanya dari segi fasilitas seperti keberadaan LCD, komputer, dan AC di ruang kelas. Lebih dari itu yakni menyentuh aspek-aspek intangible yaitu tentang bagaimana memberikan ilmu yang bermanfaat, up to date, dan lebih penting adalah sesuai dengan kebutuhan para murid.

Murid (khususnya SMA) tidak bisa dan tidak boleh dijejali ilmu yang menurut mereka kurang bermanfaat bagi mereka. Karena ilmu yang mereka peroleh adalah fondasi bagi mereka dalam menjalani kehidupan mereka selanjutnya. Seorang guru wajib mengetahui ilmu ter-update dari bidang keilmuannya. Hal ini agar murid didikannya tidak menjadi pembelajar masa lampau tetapi juga terangsang untuk mempelajari perkembangan ilmu-ilmu terkini.

Semisal guru fisika, harus memberikan gambaran siapa penerima Nobel Fmentalisika terkini, apa yang ditelitinya, dan bagaimana kemanfaatan penemuannya untuk kehidupan masyarakat masa kini. Guru akuntansi juga seyogianya memberikan pengetahuan akuntansi yang tidak saja menggunakan kertas kerja manual sebagai media pembukuan tetapi juga memperkenalkan software-software akuntansi terbaru yang dapat mempermudah pemahaman dan kinerja siswa dalam mengerjakan tugas-tugas keuangan.

Guru kewirausahaan juga harus memperkenalkan info-info terbaru mengenai dunia usaha yang berkembang di dunia saat ini, apa pentingnya wirausaha bagi kemajuan negara, buku-buku kewirausahaan terlaris dan tokoh-tokoh muda pembawa perubahan di dunia usaha sehingga murid-muridnya mengerti secara menyeluruh tentang aspek-aspek yang dipelajarinya.

(Sharee Castlebury, Guru SD yang Membiarkan Murid-muridnya Menggambari Gaunnya dengan Spidol)

Mungkin ada beberapa dari guru yang menyatakan bahwa itu tidak sesuai kurikulum atau penggunaan cara mengajar yang bermacam-macam belum saatnya diterapkan bagi siswa SMA. Namun tidak bisa kita pungkiri bahwa siswa-siswa saat ini begitu mudahnya mendapatkan informasi dan pengetahuan mereka melesat lebih jauh dari pengetahuan anak-anak SMA, 10 atau 15 tahun yang lalu. Informasi dan buku-buku referensi begitu cepat basi karena membanjirnya arus informasi di internet, teve, maupun media cetak.

Seorang guru tidak bisa menutup mata pada hal ini. Pola pengajaran harus disesuaikan dengan perkembangan anak didik. Karena mereka berhak mendapatkan ilmu yang bermanfaat dan terkini. Karena merekalah sebenarnya yang langsung maupun tidak langsung membayar gaji-gaji para tenaga pengajar. Boleh diteliti seberapa banyak dan seberapa sering sekolah-sekolah negeri melakukan tes dan ukur tingkat kepuasan para murid pada guru pengajar mereka. Bisa dipastikan sangat jarang sekolah negeri yang menyebarkan angket dan kuesioner pada para muridnya untuk mengetahui seberapa besar manfaat materi yang mereka terima dari para guru pengajarnya.

Paradigma guru-guru sekolah negeri harus diubah dari yang sebelumnya bermental PNS yang dengan “ngajar” apa adanya tetap mendapat gaji ke mental wiraswasta bahwa murid adalah konsumen. Tanpa konsumen maka tak akan ada pendapatan; dan tak ada pendapatan maka tak akan ada gaji. Bila ingin pendapatan besar maka usaha pun harus sama besarnya, harus yang terbaik. Bila paradigma ini tertanamkan di benak setiap guru maka tak akan ada siswa yang dijadikan alasan bila nilainya buruk.

Setiap kekurangan yang timbul maka guru harus melihat ke dalam dirinya dulu, mengoreksi cara pengajarannya dulu. Karena pada dasarnya setiap siswa adalah istimewa. Tidak ada siswa nakal atau kurang pintar. Yang ada hanyalah siswa yang mempunyai cara belajar yang berbeda. Menurut Farid Poniman dalam bukunya STIFIn, setiap orang dapat dibedakan menjadi lima kelompok besar yaitu orang-orang Sensing, Thingking, Intuiting, Feeling, dan Insting. Kelima kategori ini tentu berbeda cara belajarnya. Siswa berkarakter thingking dengan keunggulan logika tentu berbeda penanganannya dengan siswa yang berkarakter intuitingyang unggul dalam visual. Tugas gurulah menemukan cara belajar murid-muridnya, mendorong potensi yang dimiliki para murid, dan mempersiapkan agar si murid ready to fight di dalam kehidupan sehari-hari.

Mungkin terasa berat, tapi itulah tugas guru dan untuk itulah mereka dibayar.

Artikel Terkait