Find Us On Social Media :

Jangan Anggap Remeh Tukang Ojek

By Yustantiana, Jumat, 19 Mei 2017 | 15:30 WIB

Jangan Anggap Remeh Tukang Ojek

Sambil setengah berteriak, “Terima kasih ya, Pak!” Saking malunya, saya tidak berani lagi menatap ekspresi si tukang ojek nan baik hati sambil buru-buru masuk ke dalam mobil. Mungkin, anggapan saya selama ini salah tentang dunia perojekan, hanya karena kebaikan bapak tadi.

Bila kita telanjur tidak suka pada sesuatu, pasti apa pun yang berkaitan dengan sesuatu itu, tidak kita suka juga. Saking tidak sukanya pada sesuatu tersebut, terkadang butuh waktu lama untuk mengubah cara berpikir kita menjadi suka, atau setidaknya netral.

Begitu pula dengan saya. Pengalaman bertemu dengan tukang ojek yang susah payah menyetop taksi hanya untuk saya, tidak lantas membuat saya menjadi sedikit menghargai pekerjaan itu. Atau setidaknya saya tidak menganggap sepele keberadaan mereka.

Apalagi di Jakarta yang super duper macet ini. Alternatif menggunakan sepeda motor merupakan pilihan yang paling tepat untuk menyalip ribuan mobil yang malang melintang di jalan raya.

Namun bagaimana dengan orang-orang seperti saya yang jangankan memiliki, menggunakan sepeda motor saja tidak bisa! Jadilah mau tidak mau, saya harus menggunakan jasa tukang ojek.

Setiap pagi, saya berjalan kaki menuju ke kantor. Sebisa mungkin saya menghindari ojek motor. Hanya kalau sedang repot, seperti hari ini, mau tidak mau saya harus menggunakan jasa mereka. Tentengan kamera dan laptop terlalu berat untuk saya bawa dengan berjalan kaki.

Dalam berhubungan dengan orang tentang pekerjaan, saya berusaha bersikap profesional. Sekalipun orang yang saya hadapi kali ini adalah tukang ojek. Untungnya, tukang ojek di depan gang rumah saya tidak menyebalkan.

Mereka mengantarkan para pelanggannya dengan selamat sampai tujuan, tanpa banyak menggoda, dan tanpa berbasa-basi. Bagus. Satu nilai untuk mereka - para penjual jasa ojek.

(Baca juga: 7 Tips Naik Gerbong Wanita Commuter Line yang Disebut Lebih "Ganas" Dibanding Gerbong Campur)

Penilaian saya tentang mereka bertambah lagi, karena saya bertemu dengan tukang ojek yang profesional sekali! Saya beruntung, saat sedang kerepotan seperti ini, saya kebagian tukang ojek yang cekatan, hati-hati, dan tidak banyak bicara.

Ia langsung menawarkan bantuan untuk meletakkan tentengan tas kamera saya di bagian depan jok motor. Ia juga melafaskan basmallah sebelum mengantarkan saya pergi. Subhanallah ... baru kali ini saya mendengar tukang ojek mengucapkan kata itu, setidaknya, itu pertanda bahwa ia masih mengingat Allah.

Kekaguman saya pada lelaki berusia 40-an ini bertambah ketika ia mengendarai sepeda motor. Tidak ngebut, tidak juga pelan - stabil. Ia menjaga jarak dengan kendaraan di depannya. Ia tidak mengerem mendadak, apalagi main salip seenaknya.

Siapa pun yang jadi pelanggannya pasti menyukai cara si Bapak setengah baya ini mengendarai motor. Satu lagi, ia memberikan helm yang bagus. Istilahnya, yang berlabel SNI.

Tidak seperti tukang ojek lainnya yang memberikan helm dengan kondisi mengenaskan pada pelanggannya, yang helm sepeda atau tanpa tali pengikat. Bahkan seringkali tidak menawarkan helm sama sekali.

Perjalanan saya dengan menggunakan jasa tukang ojek menjadi perjalanan paling indah pagi itu. Saat itu pula, mindset saya tentang pekerjaan yang sebenarnya mulia itu berangsur-angsur berubah.

Bahwa apa yang kita lihat sebagian, belum tentu berlaku untuk seluruhnya. Bahwa “serendah” apa pun sebuah profesi, pastilah ada manfaatnya buat keseharian kita. Bahwa mereka, para tukang ojek, sangat membantu kita di saat-saat sulit.

Bahwa ... masih banyak di luar sana, saya yakin – dan saya berharap Anda mengamini – tukang ojek nan baik hati. Yang siap menolong kita.