Find Us On Social Media :

Jangan Anggap Remeh Tukang Ojek

By Yustantiana, Jumat, 19 Mei 2017 | 15:30 WIB

Jangan Anggap Remeh Tukang Ojek

Intisari-Online.com - Kalian tahu 'kan profesi tukang ojek? Tukang ojek yang sangat mengandalkan motor sebagai mata pencahariannya. Tukang ojek yang seringkali kita temui mangkal di depan gang jalan. Tukang ojek yang mengenakan jaket lusuh dengan helm seadanya.

Tukang ojek yang setia membujuk kita agar mau menaiki motornya demi selembar rupiah. Tukang ojek yang kerapkali kita kucilkan karena keberadaannya dianggap sebagai masyarakat kecil kelas bawah.

Semua jawaban di atas benar adanya. Tukang ojek itu bagian kecil dari kehidupan bermasyarakat kita dan seringkali kita anggap sepele. Terkadang di antara kita, termasuk saya, adalah orang-orang yang “tidak bersahabat” dengan tukang ojek.

(Baca juga: Membicarakan Klender Mengingat Haji Darip, Jawara Lokal yang Begitu Menakutkan bagi Tentara Kolonial Belanda)

Sikap seperti ini ditunjukkan oleh kita sebagai orang luar dunia perojekan, bukan tanpa alasan. Namun bisa jadi karena pengalaman tidak menyenangkan bersama tukang ojek dan motornya.

Sewaktu kuliah, saya terpaksa harus mengeluarkan uang lebih akibat kelakuan tukang ojek yang tidak rela dibayar murah. Waktu itu, tarif ojek normal dari depan Ciseke – nama desa kecil tempat saya tinggal di Jatinangor – ke kampus adalah Rp2 ribu.

Saya tidak punya uang nominal Rp1.000 sebanyak dua lembar (saat itu belum ada uang dengan nominal Rp2.000 seperti sekarang). Yang tersisa di dompet saya, dan satu-satunya lembaran rupiah yang saya punya, adalah Rp5.000.

Kondisi saya sedang dalam keadaan terburu-buru karena harus menempuh Ujian Akhir Semester (UAS). Saya ujian pukul 14.00. Sementara hari sudah menunjukkan pukul 14.10

Jadilah saya menggunakan ojek sebagai alternatif tercepat menuju kampus. Kondisi panik dirasa semakin parah dengan matahari yang tidak malu-malu memancarkan sinarnya.

Si tukang ojek yang masih berumur tiga puluhan mengantarkan saya menggunakan motornya dengan laju kencang. Helm yang saya kenakan tanpa pengikat hampir saja lepas disapu angin saking kencangnya.

Sesampainya di tempat tujuan, saya menyerahkan selembar uang lima ribuan, dengan harapan ia mengembalikan uang senilai tiga ribu rupiah. Namun, bukannya mengembalikan kelebihan uang tersebut, si tukang ojek malah melengos pergi begitu saja.

Umpat kesal rasanya ingin saya keluarkan saat itu juga. Sejak saat itu, keberadaan tukang ojek sangat menggangu, walaupun jasanya sering saya gunakan di saat-saat mendesak.