Penulis
Intisari-Online.com -Kapolri Jenderal Pol Tito Karnavian, telah meminta bantuan Panglima TNI Marsekal Hadi Tjahjanto untuk ikut melakukan operasi bersama penangkapan teroris setelah terjadi tiga ledakan bom di Surabaya.
"Tadi pagi saya sudah telepon Panglima TNI Marsekal Hadi. Saya minta: Pak Kalau bisa kita bergabung. Saya akan kirim dari Kopassus. Terimakasih..." kata Tito Karnavian dalam acara Indonesia Lawyer Club di TV One, Selasa (15/5/2018) semalam.
Tito berharap, mudah-mudahan teman-teman dari Kopassus sudah bergabung karena akan ada beberapa penangkapan yang akan kita lakukan.
"Jangan sampai peristiwa seperti surabaya, terjadi lagi. Kita akan tutup semua."
Baca juga:Inilah Pemimpin ISIS yang Dianggap Paling Brutal, Pernah Bakar Tawanan Hidup-hidup Dalam Sangkar
Sebelumnya, Minggu (13/5/2018) di Surabaya, Tito juga mengatakan, "Saya sudah minta bapak Panglima TNI, beliau kirimkan kekuatan untuk lakukan operasi bersama melakukan penangkan sel-sel JAD dan JAT yang diduga akan melakukan aksi," kata Tito.
Menurut Tito, penindakan terhadap terduga terorisme akan terus dilakukan.
"Saya perintahkan lanjut, ndak boleh berhenti. Kalau berhenti kita kasih nafas mereka dan mereka akan bergerak lagi," kata Tito.
Dia menambahkan, "Kita akan hantam terus, kita akan kejar terus. Di beberapa daerah lain juga sudah bergerak."
Baca juga:Meski Belum Ada Perintah, Pasukan Anti-teror TNI Selalu Siaga Untuk Melibas Aksi Terorisme
Jokowi Perintahkan TNI Bantu Polisi
Presiden Joko Widodo menginstruksikan TNI membantu Polri demi mengatasi aksi terorisme.
Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko mengatakan, berdasarkan perintah Presiden itu, Polri akan dibantu satuan TNI demi memberantas terorisme.
Menurut Moeldoko, Satuan TNI yang dikerahkan tergantung dari kebutuhan Polri.
"Bisa nanti pengerahan Badan Intelijen Strategis untuk membantu intelijen dari kepolisian. Bahkan secara represif bisa menggunakan Satuan Gultor (Satuan 81) telah disiapkan," kata Moeldoko di kawasan Jagakarsa, Jakarta Selatan, Senin (14/5/2018).
Moeldoko menerangkan, tidak akan terjadi tumpang tindih kewenangan antara Polri dan TNI.
Menurutnya, TNI tetap berada di belakang Polri untuk memperkuat penanganan terorisme.
"Justru yang tetap yang di depan adalah kepolisian, TNI memberi perkuatan. Dikolaborasikan dalam menangani sebuah persoalan yang sama. Intinya di situ," jelas Moeldoko.
Baca juga:Bak Ninja, Pria ini Diam-diam Tinggal di Rumah Seorang Wanita Selama Setengah Tahun Tanpa Ketahuan
Pasukan Anti-teror TNI
Secara resmi semua pasukan anti-teror elit TNI seperti Sat 81 Kopassus, Denjaka, Sat Bravo 90, Kopaska, Tontaipur Kostrad, Komando Operasi Khusus Gabungan (Koopssusgab) dan lainnya sudah dalam posisi siap bergerak (stand by call), menghadapi aksi terorisme.
Khusus untuk pasukan Koopssusgab, dibentuk pada 9 Juni 2015 oleh Jenderal Moeldoko selaku Panglima TNI kala itu.
Pasukan elit ini merupakan gabungan pasukan khusus dari tiga matra TNI, yakni Sat-81, Denjaka, dan Satbravo-90. Pasukan khusus ini berjumlah 90 personil.
Mereka disiagakan di wilayah Sentul, Bogor, Jawa Barat dengan status operasi, selalu siap siaga setiap saat, jika ada perintah untuk terjun menanggulangi aksi teror.
Apalagi Presiden RI Joko Widodo telah memerintahkan pasukan TNI untuk membantu Polri dalam upaya memberantas aksi terorisme sampai ke akar-akarnya (Kompas.com Senin/5/2018), maka semua pasukan khusus TNI juga siap bergerak kapan saja.
Posisi semua pasukan khusus TNI dalam kondisi stand by call sebenarnya berlaku sepanjang harinya.
Artinya dalam kesehariannya semua pasukan khusus TNI sudah memiliki pola kerja yang jelas.
Yakni sepertiga kekuatan dalam kondisi siap bergerak, sepertiga kekuatan melakukan latihan, dan sepertiga kekuatan lainnya berperan sebagai cadangan.
Sejumlah personel pasukan khusus TNI juga sudah bertugas secara senyap di daerah-daerah yang dianggap rawan oleh pemerintah, misalnya Papua.
Pergerakan pasukan khusus sesuai perintah Panglima TNI sesungguhnya tidak begitu terpengaruh oleh Undang-Undang Anti-terorisme yang belum segera disahkan.
Misalnya, jika terjadi kasus terorisme di Bandara Soekarno-Hatta, pasukan khusus Sat Bravo 90 dari TNI AU pasti turun bersama pasukan khusus TNI lainnya dan kemungkinan malah tidak melibatkan langsung Densus 88 Polri.
Densus bisa dipastikan turun dalam aksi teror di bandara setelah teroris tertangkap baik mati maupun hidup untuk dilanjutkan proses penyidikan dan penanganan hukumnya sesuai prosedur kepolisian.
Seperti latihan penanganan anti-teror yang pernah dilakukan Komando Operasi Khusus Gabungan (Koopssusgab), pada sebuah kapal dagang di Laut Jawa, ketika teroris sudah dilumpuhkan, para pelakunya kemudian diserahkan ke kepolisian (Polairud) untuk dilanjutkan prosesnya sesuai hukum yang berlaku.
Jadi dalam setiap penanganan aksi terorime, semua pasukan khusus TNI sebenarnya bisa diturunkan jika sudah ada perintah dari Presiden.
Tapi tugas pasukan khusus TNI hanya bersifat penindakan dan pelumpuhan (penghancuran) karena setelah para teroris yang tertangkap hidup atau mati penanganan lebih lanjut secara hukum akan ditangani oleh Polri (Densus 88).
Namun yang pasti semua pasukan khusus TNI saat ini sesungguhnya sudah merasa geram dan ‘gatal’ untuk segera turun gunung, mengingat aksi terorisme yang terjadi nyata-nyata sudah mengancam keamanan negara dan merongrong kewibawaan pemerintah NKRI. (Eviera Paramita Sandi)
Artikel ini telah tayang di tribun-bali.com dengan judul Polri Minta Bantuan TNI, Ini Kekuatan Pasukan Anti-teror Elit TNI Siap Menumpas Teroris di NKRI.
Baca juga:Gara-Gara Israel Tuduh Iran Lanjutkan Program Nuklir, Inilah yang Terjadi Kemudian