Penulis
Intisari-Online.com – Para narapidana seperti alergi bila dikirim ke Nusakambangan.
Padahal, seperti diakui para penghuninya, mereka justru betah tinggal di sana karena jauh dari kesan angker dan menakutkan.
Bahkan di pulau penjara itu bisa ditemui pesona lain dalam bentuk gua alam, hutan perawan, dan pantai berpasir putih.
Bagi Slamet alias Anas (55), tanggal 17 Agustus 2001 menjadi saat yang membahagiakan.
Tepat di hari kemerdekaan RI, pria berambut putih itu menghirup udara bebas usai mendekam selama 20 tahun di Lembaga Pemasyarakatan (LP) Batu, Nusakambangan.
Sambil menenteng tas kecil, Anas bergegas turun dari perahu di dermaga Wijaya Pura, Cilacap.
Sejenak ia bersalaman dengan Sunardi Bc.IP, Kepala Lembaga Pemasyarakatan (Kalapas) Batu. Lalu setelah Anas menyelinap meninggalkan dermaga, kembali ke kampung halamannya di Pasarminggu, Jakarta.
Pria kalem itu memang bukan napi kelas teri. la dipidana seumur hidup lantaran menghabisi seluruh anggota keluarganya.
Anas bebas setelah SK Menteri Kehakiman dan Hak Asasi Manusia yang baru mengisyaratkan terpidana seumur hidup yang telah menjalani hukuman 20 tahun penjara dan berkelakuan baik bisa langsung bebas.
Anas seperti menegaskan kembali reputasi Nusakambangan sebagai tempat kurungan napi kelas kakap dan berbahaya.
Data dari LP Batu tempat Anas menghabiskan hari-harinya menunjukkan sebagian besar napi terlibat kasus berat.
Dari 166 napi, 98 dihukum karena terlibat pembunuhan. Sisanya, 25 orang perampokan, 13 pencurian, 12 pelanggaran susila, empat pemalsuan uang, tiga penipuan, dan masing-masing satu tersandung kasus penculikan, penyelundupan, pemerasan, korupsi, dll.
LP Permisan yang di ujung barat pulau juga menyimpan sejumlah napi bangkotan.
Baca juga: Inilah 5 Narapidana yang Berhasil Kabur dari Penjara Nusakambangan, namun Nasibnya Tak Mujur Juga!
Salah satunya Siswanto alias Robot Gedhek.Pria yang pemalu itu terganjal kasus sodomi dan pembunuhan berantai terhadap bocah cilik di Jakarta pada 1997.
Bulan Mei 2001, ia dijatuhi hukuman mati dan kini sedang menunggu eksekusi di salah satu sel isolasi.
Nama Permisan pernah pula menjadi buah bibir ketika pada 1982 napi bertampang keren, Johny Indo, meloloskan diri bersama dengan 41 napi lain dari tempat ini.
Kaburnya lelaki Garut berdarah campuran Belanda bersama kelompoknya itu lebih dikenal dengan "Kasus 42" (K-42).
Mereka memanfaatkan gelapnya udara ketika Gunung Galunggung meletus dengan berlari ke barat pulau yang memang tanpa penjagaan.
Sayangnya tak satu pun lolos, bahkan beberapa tewas tenggelam di rawa.
"Ketika saya lari dari LP Permisan, satu minggu baru sampai ke pojok barat Nusakambangan, karena alamnya buas dan sulit ditempuh," kata Johny Indo mengenang pelariannya kepada Majalah Jakarta Jakarta edisi 15 September 1990.
Johny sendiri akhirnya tertangkap dan kembali ke Nusakambangan selama sembilan tahun.
Baca juga: Baasyir Baiat Anggota ISIS di LP Nusakambangan
Nyali turun
Dengan setumpuk fakta itu Pulau Nusakambangan amat ditakuti.
"Bukan saja napi, kami yang dipindah tugas ke sini pun sempat turun nyali beberapa setrip," aku Dedi Samsudin Bc.IP, Kalapas Batu, Nusakambangan.
Pengakuan jujur itu bisa mencerminkan pandangan masyarakat awam tentang pulau di selatan Provinsi Jawa Tengah itu sebagai tempat pembuangan.
"Kharismanya telanjur demikian, tidak heran para napi jeri kalau dipindah ke sini," ungkap Dedi.
Menurut Dedi, kondisi geografis pulau yang dikitari laut menjadi alangan serius untuk melarikan diri.
Napi pelarian harus cepat menemukan jalan ke ujung pulau bila tidak ingin ketahuan patroli rutin.
Berlari ke barat menuju kawasan Segara Anakan yang berbatasan dengan Provinsi Jawa Barat adalah rute pelarian favorit. Namun, si napi akan berhadapan dengan banyak jalan bercabang dan hutan.
Baca juga: Nusakambangan Yang Tak (Lagi) Angker
Ancaman lain, gigitan ular berbisa.
Dua kontainer ular berbisa sitaan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai dibuang di tempat ini beberapa waktu lalu.
Andai napi bisa lolos hingga kawasan Segara Anakan, penduduk pasti mencurigai pakaian birunya, seragam khas napi.
"Jadi kalau tidak ada orang yang memberi tahu jalan atau memberi peta situasi, mustahil napi bisa keluar dari Nusakambangan," Sunardi Bc.IP mengingatkan.
Besarnya alangan alam dan ketatnya penjagaan itu membuat Nusakambangan dijuluki "Indonesian Alcatraz".
Napi mati kutu
Ketatnya peraturan membuat napi yang terbiasa nyambi atau berdagang barang haram mati kutu.
Pasokan barang pasti sulit karena tak sembarang orang diizinkan berkunjung.
Lagi pula siapa juga konsumennya? Telepon seluler? Tak ada sinyal di pulau tertutup itu.
Jadilah penjaga Nusakambangan menjadi (barangkali) satu-satunya penjara di Indonesia yang relatif masih konsisten menegakkan peraturan bagi penghuninya.
Bagi napi nakal Nusakambangan bak neraka. Sebaliknya, bagi napi yang mau bertobat di sinilah tempatnya.
"Tak ada jagger-jaggeran (jagoan). Siapa yang berkelahi atau bikin ribut kita isolasi," ujar Ferdy Anggoro, petugas LP Batu, LP yang dikhususkan untuk kasus-kasus narkotika.
Ferdy yang pernah bertugas di LP Serui, Irian Jaya, menuturkan perbedaan tingkah laku para napi di kedua LP itu.
"Di sana hampir dua minggu sekali senapan menyalak guna meredam keributan, sementara di sini sudah setengah tahun tak terdengar bunyi senjata."
Entah apa yang melatarbelakangi sehingga suasana penjara di Nusakambangan bisa tenang.
Barangkali para napi memang tidak punya pilihan lain kecuali bertahan dan taat aturan. Dari keterpaksaan lahirlah suasana akrab antara napi dan petugas.
Dengan relasi cukup akrab para napi pun tak segan bertanya tentang bermacam hal termasuk remisi. Perkara ini memang banyak dipertanyakan karena perhitungannya sedikit rumit.
"Kita berdebat di sini sambil melihat berkas-berkasnya, agar kita sama-sama puas," aku Ferdy yang kerap didatangi napi yang menanyakan soal remisi.
Sementara itu seorang napi yang mantan pembalap sepeda motor nasional sering diminta memperbaiki motor petugas yang rusak. "Di sini lebih enak dibandingkan saat saya ditahan di Cilacap. Makanannya layak dimakan," akunya jujur.
Memanusiakan napi, itu barangkali kunci pembinaan di Nusakambangan.
"Saya lihat pendidikannya bagus. Kita dibuat serasa tidak di penjara. Lokasinya pun tepat sehingga napi bisa menjalani program dengan baik."
"Setelah dua pertiga masa tahanan, napi boleh berasimilasi dengan masyarakat setempat di lingkungan Nusakambangan," aku Johny Indo.
(Ditulis oleh G. Sujayanto. Seperti pernah dimuat di Majalah Intisari edisi Oktober 2002)
Baca juga: Napi Teroris Sempat Kuasai Rutan Mako Brimob, Termasuk Tempat Ahok Ditahan