Find Us On Social Media :

Setangkai Bunga Valentine untuk Jakarta

By Ade Sulaeman, Jumat, 13 Februari 2015 | 20:45 WIB

Setangkai Bunga Valentine untuk Jakarta

Intisari-Online.com - Hari ketiga banjir melanda Jakarta, sore-sore ia memutuskan untuk keluar pergi melihat-lihat.

Tadi pagi pandangannya tak sengaja tergoda oleh dua ekor burung pipit yang bercengkerema di kabel listrik depan jendela rumahnya. Walaupun dalam gerimis, mereka gembira betul. Kupu-kupu kuning pun beterbangan kebunnya. Padahal dua hari ini kicauan dan siulan mereka sama sekali tak terdengar. Barangkali ketakutan pada hujan geledek. Jangan-jangan mereka telah membaca tanda-tanda alam bahwa hari ini akan cukup cerah.

Sejak beberapa tahun ia mengenal jenis musim baru, di luar kemarau dan penghujan, yaitu musim banjir.  Berjalan di dalam air adalah satu-satunya olahraga yang dapat dia lakukan dalam musim banjir. Dirasakannya otot-otot betis dan pahanya bekerja lebih keras melawan air. Meskipun ia berusaha melupakan bahaya virus dan kuman yang mungkin mengintai dari dalam air yang keruh itu. Hi ... ngeri ....

“Hai, Ki!”

Tersentak ia mengangkat wajah. Reza, Eca panggilannya,  teman SMA-nya, dengan bercelana pendek dan wajah riang gembira ada di hadapannya.

“Serius amat. Mau ke mana?”

“Ah kau Ca. Enggak. Cuma lihat-lihat suasana aja. Kamu sendiri mau ke mana?”

“Aku mau ke mal. Sakit perut,” ujar Reza sambil mengelus-elus perutnya. Membutuhkan beberapa detik bagi Kiki untuk paham. “Ooo jadi selama banjir ini kau ke mal untuk ...?”

“Ya, iyalah .... Habis ...?” Reza mengangkat kedua tangannya dengan mimik lucu yang pasrah.

Kiki tiba-tiba teringat kalau Reza tinggal di rumah dengan lantai rendah sehingga setiap kali banjir melanda, air tanpa ampun menyerbu masuk.

“Berapa cm sekarang?” tanyanya.

“30 cm lah.”

“Mandi di mana?”

“Tak perlulah. Da da .... Ki. Aku duluan yah,” Reza memutus pembicaraan sambil memegang perutnya masih dengan kejenakaannya.

Kiki tak habis pikir bagaimana Reza dapat begitu ceria setelah dua hari hidup di dalam rumah yang terendam air setinggi 30 cm. Hal yang sudah dialaminya bertahun-tahun. Barangkali ia sudah terbiasa, sehingga terlatih. Barangkali seperti burung-burung tadi, ia sudah membaca tanda-tanda alam dan menyesuaikan diri dengan apa yang terjadi.

Yang tak ia pahami, mengapa penduduk Jakarta tak juga pandai membaca tanda-tanda alam, padahal banjir sudah kerap melanda wilayah ini sejak tahun 1621. Bahkan JJ Rizal, pengamat budaya dan sejarah Jakarta menyebut banjir sebagai “saudara kembar” Jakarta di sebuah wawancara TV.  Kalau benar banjir seolah sudah menjadi saudara kembar, bukankah harusnya Jakarta mampu memahami perilaku dan kemauannya?

Kiki jadi teringat kepada adiknya. Orang sering menyangka mereka kembar. Padahal usia mereka berselisih setahun setengah, tapi sifat mereka bagai bumi dan langit. Dan Lina sangat tomboy. Papa menyebut dia, “Nona Koboi”. Hanya Papa yang paling mengerti Lina. Mungkin karena cara berpikir mereka sama. Kiki sering harus keliru-keliru dulu baru memahami apa yang membuat dia senang, apa yang membuat dia cemberut. Bukannya apa-apa, kalau urusan dapat diselesaikan dengan damai, kenapa mesti ribut? Lagi pula, Lina itu saudaranya satu-satunya. Memahami dia menjadi keharusan karena dia sayang pada Lina. Begitupun Lina terhadap dirinya. Sekilas ia teringat belum membeli hadiah Valentine untuk adiknya. “Nanti begitu banjir surut,” tekadnya.

Hari sudah gelap, air banjir memantulkan langit yang sendu dan muram. Sesekali  cahaya lampu jalanan terpantul bergoyang-goyang oleh langkah kakinya. “Bagaimana kalau ada ular? Ke mana perginya kecoak dan tikus got?”  Kembali hatinya diserang was-was.

Sungguh, ia berharap Jakarta lekas belajar memahami perilaku saudara kembarnya. Karena dari dulu cuek, ia khawatir kerumitan masalahnya sudah telanjur bertumpuk .... berapa ya? Barangkali tujuh lapis! Tapi memahami masalah utama, lalu menguraikannya satu per satu seperti mengurai benang ruwet, memang membutuhkan cinta, kesabaran, dan ketulusan hati.

Untuk kota di mana kita hidup, mencari penghidupan, dan berkarya, ia tak melihat mengapa tak bisa. Kalau kita cinta Jakarta, mestinya kita akan mulai melihat semua masalah dari sudut pandang apa yang terbaik untuk Jakarta, bukan apa yang terbaik untuk diri kita saja. Bukankah itu hakekat cinta yang tulus? Seperti yang sering dilakukannya terhadap adik tersayangnya.

Ia yakin, kalau setiap hari ada semangat Hari Valentine untuk Jakarta di dalam hati para pemukimnya, benang ruwet itu akan terurai sendiri. Dan kita akan berhenti menudingkan telunjuk kepada gubernur, jajarannya, atau siapa pun yang bisa kita maki dan persalahkan.