Find Us On Social Media :

Setangkai Bunga Valentine untuk Jakarta

By Ade Sulaeman, Jumat, 13 Februari 2015 | 20:45 WIB

Setangkai Bunga Valentine untuk Jakarta

“Mandi di mana?”

“Tak perlulah. Da da .... Ki. Aku duluan yah,” Reza memutus pembicaraan sambil memegang perutnya masih dengan kejenakaannya.

Kiki tak habis pikir bagaimana Reza dapat begitu ceria setelah dua hari hidup di dalam rumah yang terendam air setinggi 30 cm. Hal yang sudah dialaminya bertahun-tahun. Barangkali ia sudah terbiasa, sehingga terlatih. Barangkali seperti burung-burung tadi, ia sudah membaca tanda-tanda alam dan menyesuaikan diri dengan apa yang terjadi.

Yang tak ia pahami, mengapa penduduk Jakarta tak juga pandai membaca tanda-tanda alam, padahal banjir sudah kerap melanda wilayah ini sejak tahun 1621. Bahkan JJ Rizal, pengamat budaya dan sejarah Jakarta menyebut banjir sebagai “saudara kembar” Jakarta di sebuah wawancara TV.  Kalau benar banjir seolah sudah menjadi saudara kembar, bukankah harusnya Jakarta mampu memahami perilaku dan kemauannya?

Kiki jadi teringat kepada adiknya. Orang sering menyangka mereka kembar. Padahal usia mereka berselisih setahun setengah, tapi sifat mereka bagai bumi dan langit. Dan Lina sangat tomboy. Papa menyebut dia, “Nona Koboi”. Hanya Papa yang paling mengerti Lina. Mungkin karena cara berpikir mereka sama. Kiki sering harus keliru-keliru dulu baru memahami apa yang membuat dia senang, apa yang membuat dia cemberut. Bukannya apa-apa, kalau urusan dapat diselesaikan dengan damai, kenapa mesti ribut? Lagi pula, Lina itu saudaranya satu-satunya. Memahami dia menjadi keharusan karena dia sayang pada Lina. Begitupun Lina terhadap dirinya. Sekilas ia teringat belum membeli hadiah Valentine untuk adiknya. “Nanti begitu banjir surut,” tekadnya.

Hari sudah gelap, air banjir memantulkan langit yang sendu dan muram. Sesekali  cahaya lampu jalanan terpantul bergoyang-goyang oleh langkah kakinya. “Bagaimana kalau ada ular? Ke mana perginya kecoak dan tikus got?”  Kembali hatinya diserang was-was.

Sungguh, ia berharap Jakarta lekas belajar memahami perilaku saudara kembarnya. Karena dari dulu cuek, ia khawatir kerumitan masalahnya sudah telanjur bertumpuk .... berapa ya? Barangkali tujuh lapis! Tapi memahami masalah utama, lalu menguraikannya satu per satu seperti mengurai benang ruwet, memang membutuhkan cinta, kesabaran, dan ketulusan hati.

Untuk kota di mana kita hidup, mencari penghidupan, dan berkarya, ia tak melihat mengapa tak bisa. Kalau kita cinta Jakarta, mestinya kita akan mulai melihat semua masalah dari sudut pandang apa yang terbaik untuk Jakarta, bukan apa yang terbaik untuk diri kita saja. Bukankah itu hakekat cinta yang tulus? Seperti yang sering dilakukannya terhadap adik tersayangnya.

Ia yakin, kalau setiap hari ada semangat Hari Valentine untuk Jakarta di dalam hati para pemukimnya, benang ruwet itu akan terurai sendiri. Dan kita akan berhenti menudingkan telunjuk kepada gubernur, jajarannya, atau siapa pun yang bisa kita maki dan persalahkan.