Find Us On Social Media :

Pecandu Narkoba yang Telah Sembuh Menjadi Konselor Pecandu Baru

By K. Tatik Wardayati, Rabu, 28 Januari 2015 | 18:30 WIB

Pecandu Narkoba yang Telah Sembuh Menjadi Konselor Pecandu Baru

Intisari-Online.com – Para pecandu narkoba yang telah sembuh itu kemudian menjadi konselor pecandu baru dengan mengikuti beberapa modul pelatihan. Kesemua topik disampaikan peer pada sesi pagi dan siang (14.00 - 16.00), berbentuk pemaparan lisan, dan disambung diskusi. Prinsip junkie helping junkie berlaku di sini; masing-masing junkie (pencandu) saling berbagi pengalaman. Pukul 16.00 - 18.00 setiap residen mendapat tugas membuat tulisan atas topik hari itu.

"Yang paling menyentuh, acara renungan malam," kisah Reza. Dimulai pukul 20.00, setiap residen memberi pengalaman, harapan, dan kekuatan bagi yang lain. Peer juga ikut bergabung dalam lingkaran. Biasa berlangsung 1,5 jam, jika ada pembahasan menarik bisa molor hingga pukul 22.30.

Begitulah siklus perjuangan pencandu melepas adiksi hari demi hari. Tapi, godaan lain menunggu setiap menjelang tengah malam. "Biasanya, gue inget dugem (dunia gemerlap - Red.)," kenang Reza. Kalau sudah begitu, ia lalu mencari karibnya Ari (bukan nama asli, 27) - mahasiswa ekonomi yang selesai sidang sarjana keburu ditangkap polisi karena ketahuan membawa narkoba.

Bersama Ari, Reza bertukar nostalgia tentang kehidupan malam Jakarta. "Setelah capek mengenang eforia dugem, kami pun tidur dengan tenang, tanpa drugs sama sekali," bangga Reza.

Peer counselor

Setelah interval beberapa bulan di tengah keluarga, mereka yang telah menyelesaikan Program Pemulihan tapi belum merasa settled, dipersilakan mengikuti Program Pelatihan Intensif Konselor Sebaya (Peer Counselor Training Program) di Wisma Bhisma untuk diarahkan membantu pencandu lainnya.

Reza dan Ari sudah menyelesaikan program ini. Selama enam bulan mereka mendapat enam modul, antara lain Pengertian Psikologi dan Konseling; Pengembangan Program (Hotline sampai dengan Aftercare); Psikologi Pikiran, Hidup dan Kehidupan; Hubungan dan Komunikasi (Kepribadian dan Karakter); Psikologi Mendalam dan Penerapan Proses Bekerja; Program 12 Langkah Narcotics and Alcoholics Anonymous, dan Psikologi Transpersonal (Lanjutan).

"Kadar psikologinya lebih mendalam," ujar Reza. Ari menimpali, "Kami diajak mencari dan menggali potensi diri untuk meningkatkan kepercayaan diri. Antara lain menjadi pembicara di depan publik, seperti tampil dalam seminar, workshop, dan Iain-lain."

Dengan pola pembelajaran seketat program sebelumnya, selepas dari sana residen memiliki kemampuan konseling cukup andal, mampu membuat makalah seminar, siap menjadi instruktur pelatihan, dan sebagainya. la boleh memanfaatkan ilmunya itu untuk menuntun pencandu aktif menemukan jalan yang benar.

Atau, seperti Reza dan Ari, kembali ke Wisma Bhisma mengikuti Staff Training selama enam bulan. Untuk menjadi staf, ia harus sudah menjalani proses di Yakita selama 1,5 tahun.

Bekerja sebagai staf di Yakita, bagi Reza bukan hanya bentuk pengabdian, melainkan ada value yang didapat. "Selain panggilan jiwa, etos kerjanya berbeda karena saya harus menjadi panutan," ucapnya tulus.

Menjadi staf bisa berhenti kapan saja. Walau mendapat gaji, tetapi, "Selama di sini, kami masih dalam lingkup terapi. Akhirnya, kami menemukan sendiri masih banyak kekurangan dalam diri kami," tambah Reza.

Sejak awal, residen telah dilatih berbicara di depan publik. Pada morning meeting dan renungan malam, mereka harus belajar share feeling, mengekspresikan diri. "Mulanya kacau balau, tapi akhirnya oleh peer dikoreksi dan diarahkan," kata Ari.

Bahkan, ada sesi untuk berlatih menatap mata lawan bicara, karena adiksi biasanya menggerus habis  kepercayaan diri junkie.

"Kemampuan bicara di depan umum menjadi semacam bonus, setelah sembuh dari adiksi," tutur Ari, yang bersama Reza dan setiap peer konselor di Yakita, kerap diundang berbicara di hadapan pelajar, dokter, mahasiswa, psikolog, kalangan LSM, dan lainnya.

Pemberdayaan itu rupanya menarik perhatian UNICEF. Lembaga PBB itu terkesan karena mantan pencandu itu mampu tampil berbicara di depan umum dengan ilmu yang berisi, bukan sekadar bekas pencandu. Mereka mampu menulis laporan, berbicara tentang HIV/AIDS dengan lancar, memberikan jalan keluar, menjadi advokat antinarkoba yang simpatik.

"Alumnus Yakita umumnya tetap membantu orang lain di luar, malah banyak pula yayasan lain yang berminat untuk mempekerjakan alumnus kami," timpal Joyce, pemilik yayasan nirlaba ini.

Tak heran jika, konon, UNICEF berniat mengadopsi metode rehabilitasi Yakita itu untuk diterapkan di negara lain.

Bagaimana dengan kita, seberapa jauh kepedulian kita terhadap upaya memulihkan kembali anak bangsa yang hidupnya dihancurkan narkoba? Hati-hati, NAPZA mampu menghapus satu generasi dari negeri ini.

--