Sejarah Pelacuran dan Upaya Menghapuskannya, Skor Sepertinya Berakhir 1-0

Tim Intisari

Penulis

Bisnis asmara alias pelacuran alias prostitusi selalu berganti wajah seiring zaman. Beragam upaya dilakukan untuk memberantasnya, tapi hasilnya? (Wikipedia Commons)

Pergulatan umat manusia dengan pelacuran sebenarnya telah berlangsung sepanjang zaman. Ada yang memerangi, ada yang terperangkap di dalamnya. Karena begitu banyak "wajah"-nya sampai-sampai manusia terus mencari-cari "senjata pemunah"-nya.

Penulis: Lily Wibisono untuk Majalah Intisari edisi Desember 1993 dengan judul "Bisnis Asmara Sepanjang Zaman"

---

Intisari hadir di WhatsApp Channel, follow dan dapatkan berita terbaru kami di sini

---

Intisari-Online.com -1993 muncul berita menghebohkan. Finalis Miss World Sharmaine "Ruffa" Gutierrez, ketika itu usianya masih 19 tahun, dari Filipina dikaitkan dengan bisnis prostitusi di Brunei -- dikenal sebagaiBrunei beauties affair.

Berapa harganya? AS $ 700.000 per bulan! (kurs 2024 setara dengan sekitar Rp11 miliar).

Kasus ini juga menyeret lima nama beken artis Filipina lainnya yang tarifnya berkisar antara AS$50.000 dan 150.000. Itu menurut Senator Ernesto Maceda (menjabat 1987-1998), yang dengan lantang membeberkan dakwaannya di forum senat September 1993.

Dia bahkan masih melanjutkan, "Artis-artis dari negara lain juga aktif di Brunei, seperti dari Singapura, Thailand, Indonesia, Australia." Maceda bagai melempar granat ke kancah politik Filipina. Konon baru sekali itulah -- saat itu -- pelacuran menjadi isu politik nasional negeri itu.

"Granat" Senator Ernesto Maceda itu sebenarnya menyambung gaung "bom" sejenis yang Juni di tahun yang sama nyaris meledakkan Hollywood. Berita berpusar pada tokoh Heidi Fleiss yang ditahan polisi pada 9 Juni 1993 malam di rumahnya, sebuah rumah dengan pemandangan spektakuler senilai AS $ 1 juta.

Tuduhan yang dilancarkan kepadanya: melakukan bisnis mucikari dan menyimpan bahan narkotika secara tidak sah.

Miliarder dalam 1 tahun

Konon, dalam buku catatan nomor telepon Heidi tercantum nama-nama besar dunia perfilman Hollywood saat itu, dari produser, sutradara, sampai bintang film. Sederet nama beken serentak dihubung-hubungkan dengan Heidi.

Ada Robert Evans (produser film The Godfather, Love Story, dan Sliver), Jack Nicholson, Oliver Stone, dan penyanyi rock Billy Idol. Sudah tentu mereka dan yang belum sempat disebut media massa ketika itu kalang-kabut dan dag dig dug.

Namun yang bagai kena pukulan telak di rahang adalah perusahaan film Columbia Pictures. Dikabarkan, para eksekutif mereka menggunakan pula jasa Heidi, baik untuk diri sendiri atau untuk rekan bisnis.

Padahal, pola hubungan pria-wanita di pusat bisnis hiburan dunia ini boleh bebas, tapi karier orang bisa berantakan bila dia sampai ketahuan main pelacur.

Heidi Fleiss adalah putri Paul Fleiss, dokter anak yang berafiliasi dengan Sekolah Kesehatan Masyarakat milik UCLA (University of California in Los Angeles). Ibunya, Elissa Fleiss, guru SD.

Sementara orangtuanya selalu menuntut nilai-nilai top darinya, pada dasarnya Heidi tak betah di sekolah. Pendidikannya tak sampai lulus SMA. Soalnya, dia lebih suka membolos dan berhura-hura di pantai.

Tak heran ketika kawan-kawan sekolahnya mulai menginjak perguruan tinggi, Heidi sudah sibuk "belajar" pada Bernie Cornfeld, playboy kaya raya yang kediamannya tersebar di pelbagai sudut dunia.

Selama empat tahun menjadi pacarnya, Heidi banyak menimba ilmu mengenai bagaimana menyenangkan kaum pria yang berduit dan berkuasa.

Selepas dari pelukan Cornfeld, Heidi jatuh ke pelukan Ivan Nagy (dibaca: nahj) -- meninggal Maret 2015. Dia adalah seorang veteran sutradara yang akrab dengan pelacuran, judi, dan sejenisnya.

Nagy menjual pacarnya itu kepada mucikari Madam Alex untuk membayar utang di meja judi sebesar AS$450.

Dua tahun ikut Madame Alex dipandang cukup, Heidi yang ambisius bersepakat dengan Nagy untuk buka usaha sendiri. Langkah pertama, Nagy mencuri buku telepon Madame Alex.

Dalam waktu singkat bisnis mereka berkembang pesat. Harga semalam bersama "anak-anak" Heidi adalah AS$1.500. Dari jumlah itu Heidi memungut AS$600 yang kemudian dia bagi dua bersama Nagy.

Seperti jamaknya wanita kelas atas, "anak-anak" Heidi berperilaku sopan, dengan pakaian buatan desainer terkenal dan berwajah bagai anak sekolah. Hanya dalam waktu satu tahun Heidi sudah sibuk melayani pesanan dari London, Arab Saudi, dan Prancis Selatan.

Bahkan salah seorang mantan anak buahnya menceritakan kepada Los Angeles Time, penghasilannya AS$10.000-20.000 per bulan. Sedangkan Heidi sendiri, menurut perkiraan Majalah Us, dapat mengeruk sampai AS$5 juta per bulan!

Sejalan dengan kesuksesan bisnisnya, hubungan Heidi dan Nagy merenggang sampai akhirnya tercipta permusuhan bagai anjing dan kucing. Nagy berupaya menjegal Heidi dengan membuka bisnis sendiri.

Namun sebelum usahanya berhasil, Heidi sudah terjegal polisi yang menyamar sebagai pengguna jasanya.

32,1 juta kondom

Tak ada yang dapat memastikan kapan pelacuran muncul, tapi ada yang menduga keberadaannya pastilah sama tuanya dengan lembaga perkawinan.

Para ahli ilmu sosial menggolongkannya sebagai patologi sosial, penyakit masyarakat. Hanya saja sampai sekarang belum ada "dokter" yang mampu mengenyahkannya.

Mungkin karena masyarakat pun tak kunjung mufakat perihal penyebab dari "penyakit" ini, sehingga diagnosis yang tepat pun belum terumuskan.

Dr. J. Verkuyl menuding sikap kita yang mendualah yang jadi salah satu gara-gara. "Kita memandang pelacuran sebagai sesuatu yang hina, tapi sebaliknya menghargainya pula sebagai katup pengaman yang sangat diperlukan," demikian ungkapnya seperti dikutip Tjahjo Purnomo dan Ashadi Siregar dalam Dolly (1983).

Sikap mendua itu cukup kaya dengan bukti. Misalnya saja, Ratna Saptari dalam pengantarnya untuk Seks, Uang dan Kekuasaan: Pariwisata dan Pelacuran di Asia Tenggara (1992) oleh Thanh-Dam Truong menyebut pelbagai bentuk pelacuran yang dilembagakan di kalangan kaum bangsawan, termasuk tradisi nyai di zaman kolonial.

Pemerintah Jepang pernah dibuat salah tingkah dengan ditemukannya bukti-bukti baru tentang budak-budak seks mereka di zaman PD II.

Termasuk di dalamnya adalah usulan dari kalangan militer Jepang kala itu untuk mendirikan 400 rumah pelacuran di kawasan Asia dan untuk mengapalkan 32 juta kondom. Dokumen lain malah memaparkan tahun 1942 telah dikapalkan 32,1 juta kondom ke garis depan.

Para sejarawan Jepang bahkan berani memperkirakan ada sekitar 200.000 wanita, sebagian besar dari Korea, yang telah dipaksa menjadi pelacur untuk kepentingan tentara Jepang. Gila!

Kalangan militer Belanda di zaman penjajahan pun memperhatikan hiburan dan pelayanan seksual bagi tentaranya. Pelacur boleh bertandang ke penjara.

Buruh-buruh perkebunan di Sumatera Utara diberi fasilitas hiburan seks oleh para pengusaha perkebunan. Bahkan beberapa seni tari tradisional sering kali juga diikuti dengan transaksi seks.

Sudah tentu banyak ahli yang telah mencoba mendiagnosis "penyakit" ini.

Alison J. Murray, setelah mengamati pelacuran di Jakarta punya kesimpulan lain: pelacuran (kelas bawah) di kota ini tumbuh karena desakan ekonomi. Ketika itu dia membaut survei di Kramat Tunggak (salah satu bekas kompleks pelacuran terkenal di Ibukota) dan hasilnya: ada 1.767 pelacur dan 231 mucikari dengan 63% berasal dari Jabar dan 65% buta huruf.

Di akhir 1980-an, kompleks pelacuran ini ternyata semakin sibuk. "Uang haram" dari Jakarta itu ternyata amat menunjang kehidupan sanak keluarga si pelacur yang berasal dari daerah.

Bahkan disebutkan, satu wanita pelacur dapat menopang kehidupan sampai 18 sanak famili di desa! Semua itu tercatat dalam buku No Money, No Honey: study of street traders and prostitutes in jakarta, terbit1991.

Ada pula yang melihatnya dari sisi psikologis si pelacur, misalnya E.M. Lemert yang dikutip oleh Thanh-Dam Truong. Pelacuran itu wadah untuk menampung hasrat seksual yang tak dapat dipenuhi dalam lembaga perkawinan karena dipandang kurang bermoral.

Hal ini dapat terjadi pada gadis yang amat rendah diri atau yang ingin memberontak pada otoritas yang ada.

Berlindung pada Big Daddy

Tentang yang terakhir itu memang tercermin dari hasil liputan wartawan Inggris Gitta Sereny dalam bukunya The Invisible Children: Child Prostitution in America, West Germany, and Great Britain (1985).

Salah satu sosok yang diceritakan Sereny dalam buku tersebut adalah Cassie, ketika itu masih 15 tahun. Serey berkenalan dengan Cassie ketika diasedang mejeng di pojok 11th Avenue dan 42nd Street, New York.

Di tengah malam hari musim dingin yang disiram hujan, Cassie hanya mengenakan jeans putih ketat, kaus putih tipis, dan jaket putih pendek. Waktu itu telah 2,5 tahun dia berprofesi sebagai pelacur dan telah 6 kali berganti mucikari.

Cassie mulai "gerah" di rumah orangtuanya semenjak mereka mengangkat anak lagi -- dia pun anak angkat -- namanya Bob. Dia merasa mereka lebih menyayangi Bob daripada dia.

Ibu angkatnya, menurut pengamatan Sereny, tergolong ibu yang amat perfeksionis. Ketidakrapian sedikit saja membuatnya marah besar.

Harta benda Cassie banyak yang dibuangnya karena tak sesuai dengan citra kerapian itu. Entah seberapa jauh kebenarannya, menurut Cassie, dia sering dicambuk ayahnya atas perintah sang ibu.

Kalau ayah tidak ada, ibunya sendiri yang "turun tangan" dengan centong. Sebaliknya, apa kata si ibu? "Saya sudah memberikan semua yang dia perlukan, bercakap-cakap, makanan yang baik, pendidikan, rumah, dan cinta."

Ketika sedang bertengkar hebat dengan orangtuanya itulah datang Big Daddy, seorang mucikari. Cassie langsung jatuh.

Kepolosannya memandang Big Daddy sebagai pelindung yang dapat diandalkan. Langganan pertamanya seorang pria setengah baya yang jatuh kasihan pada nasibnya.

Dia dibayar dobel, AS$40. Semalamnya Cassie dapat menarik sampai AS$ 200 - 350, namun empat lima bulan kemudian, dia dijual kepada Joe, mucikari lain.

Dibandingkan dengan Big Daddy, Joe jauh lebih sadis. Cassie pernah dikurung di apartemen yang jorok dan digebuki selama satu minggu.

Dan Joe pula dia pertama kali berkenalan dengan heroin. Jelas, "pengkhianatan" Big Daddy yang begitu didewakannya ini merupakan trauma amat berat bagi Cassie.

Sampai saat itu orangtuanya belum kunjung percaya bahwa anak mereka melacur. Setelah sempat dimasukkan ke sekolah Katolik, Cassie terjun lagi ke jalanan New York.

Kali ini mucikarinya bernama Slim. Minggu pertama di sana Cassie sudah harus masuk rumah sakit karena perkosaan. Dia pulang ke rumah, tapi tak diterima sang ibu.

Empat wanita yang dipelihara Slim setiap hari diberi uang jajan AS$ 5 -10, termasuk ongkos taksi pulang kalau tidak dijemput. Padahal penghasilan mereka semalam ratusan dolar dan Slim saja menginap di kamar hotel yang tarif semalamnya AS$ 40.

Suatu hari ketika baru berhasil mengantongi AS$ 650, Cassie diculik orang untuk dipekerjakan di New Jersey. Setelah dianiaya, akhirnya dia jatuh ke tangan polisi sampai akhirnya dijemput lagi oleh bos lamanya, Slim.

Kembalilah dia ke haribaan malam Kota New York.

Belakangan Cassie memang bertemu lagi dengan Big Daddy, tapi perasaannya masih bercampur aduk antara dendam dan cinta. Walaupun berulang-ulang mau bekerja sama dengan polisi, Cassie ogah menjebloskan Big Daddy.

Padahal kalau dia mau bersaksi di bawah sumpah, si mucikari itu bisa -masuk kurungan selama 7 - 10 tahun.

Selokan

Bagaimana kegiatan anak-anak ini sehari-hari? Ketika dijumpai Sereny, Cassie bekerja 7 hari seminggu, istirahat makan 2 kali sehari.

Mucikarinya, saat itu Cal, suka melakukan pengecekan mendadak, sehingga tak bisalah mereka seenaknya mampir makan bila lapar. Di saat senggang, mereka cuma menonton TV dan tidur.

Kalau bosan, pergi menonton bioskop. Mereka juga tidak memasak, karena umumnya anak-anak ini kurang berselera makan. Jika tetap jemu, turunlah mereka ke jalan lagi.

Saat bertemu Sereny, Cassie sedang menderita kesakitan karena peradangan pada indung telurnya. Untuk menahan rasa sakitnya, kadang-kadang Cassie tak ragu-ragu menelan sampai 15 butir aspirin sehari.

Cassie sendiri sebetulnya sadar, dia tidak mencintai pekerjaannya. Motivasinya cuma untuk memperoleh tempat berteduh, karena jangkauan pemikirannya cuma dari hari ke hari.

Syukurlah lakon cerita tentang Cassie berakhir dengan baik, karena akhirnya dia berhasil melepaskan diri dari belenggu pelacuran. Dia sempat melahirkan anak, yang disusuinya selama 6 minggu untuk kemudian dia serahkan kepada sepasang suami-istri muda yang baik.

"Saya masih terlalu muda untuk mengurusnya. Saya harus membereskan diri sendiri dulu," tuturnya dengan cucuran air mata kepada Sereny.

Ada pula yang melihat pelacuran dalam konteksnya dengan perkembangan kota. Pada mulanya para pelacur beroperasi di daerah pesisir.

Ketika pesisir itu semakin ramai dan berkembang menjadi kota, digusurlah pusat pelacuran itu ke pinggiran, sampai di situ tercipta keramaian lagi dan dibangunnya infrastruktur seperti jalan raya dan jaringan transportasi. Demikian seterusnya.

Singkat kata, pelacuran menjadi pemicu tumbuhnya suatu kota. Teori ini didukung oleh sejarah kompleks pelacuran Bangunrejo di Surabaya dan Kramat Tunggak di Jakarta.

Hanya saja pernahkah Anda mendengar bahwa pelacur itu bak selokan? Yang mengatakannya tak kurang dari pujangga bernama Thomas Aquinas yang menyitir pujangga lainnya, Agustinus, yang bilang begini:

"Pelacuran sama pentingnya dengan selokan di istana. Mungkin tanpa selokan, betapa pun indah dan megahnya sebuah istana, lambat laun akan berubah kumuh."

Entahlah, apakah dalam kata-katanya yang agak sarkastik itu terkandung sedikit pengakuan bahwa pelacuran "dibutuhkan" oleh masyarakat?

Kaki terjulur dari bawah tirai

Citra selokan benar-benar dapat diperoleh secara visual bila Anda sempat jalan-jalan ke Jl. Foras, Bombay (sekarang Mumbai), sekitar awal tahun '80-an. Di jalanan yang kumuh itu anak-anak bercampur aduk dengan orang lalu-lalang, hewan, dan pejalan kaki iseng.

Namun bukannya tak ada otoritas di tengah suasana yang ingar-bingar ini.

Ada seorang wanita yang paling berkuasa di sana, Lalita namanya. Ketika itu usianya 40 tahun, bertubuh kecil tapi kekar.

Indikator kekuasaannya ditampilkan oleh caranya berbaring di atas ranjang beralas sutera, oleh perhiasan di sekujur tubuhnya, dan oleh ke-12 anak buahnya yang senantiasa berkerumun di sekitarnya menanti perintah. Usia mereka berkisar antara 15 dan 22 tahun, semuanya buta huruf.

Di daerah ini, tarif "anak-anak" Lalita: 25 rupee (untuk ukuran 1980-an) untuk kunjungan singkat, 150 rupee untuk semalam suntuk, dan 300 rupee untuk keluar rumah). Kalau untuk sekadar ngobrol dan nonton bioskop 30 rupee. Di kawasan itu untuk saat itu, itu yang termahal.

Dibandingkan dengan profesi lain, jelas Lalita makmur. Dengan ilmu hitung sederhana itu bisa dijelaskan.

Jika tiap hari ada 20 pelanggan yang datang, paling tidak pendapatannya 500 rupee per hari atau 15.000 rupee per bulan. Seorang kuli harus bekerja keras selama 6 - 10 jam untuk memperoleh 6-100 rupee.

Sementara orang yang menyewakan unta berpenghasilan 50 rupee per bulan, karyawan pabrik tekstil 300 - 400 rupee per bulan, guru sekolah 800 -1.000 rupee per bulan. Lalita berpenghasilan (minimal) 15 x guru sekolah.

Sayang, kemakmuran ini tidak tercermin dalam kondisi kerja para anak buahnya. Kamar-kamar praktek anak buah Lalita lebih tepat disebut los.

Kebanyakan hanya terdiri atas satu ruangan dengan kamar tambahan. Untuk kelas termurah, di belakang ruang tamu tersedia satu ruangan sebesar 6 x 8 m yang disekat-sekat dengan tirai untuk kamar-kamar praktek.

Rupanya demi penghematan di segala bidang, ruang dibuat pas untuk berbaring dua orang. Soal kedua pasang kaki masih terjulur keluar dari bawah tirai, bukan masalah.

Di situ juga tersedia kamar kecil dengan kloset jongkok, pancuran mandi berlantai semen, dan tong berisi air. Airnya dibeli dari penjaja air, sekantung 0,50 rupee.

Selama menantikan tamu, para pelacur sibuk berdandan. Di saat istirahat, mereka tidur berdua atau bertiga entah di ranjang, entah di tikar. Harta benda pribadi disimpan dalam koper.

Di India masa itu ada calo-calo yang keluar-masuk desa untuk membeli wanita dengan harga 300 rupee. Setelah dilatih, mereka dijual lagi kepada mucikari.

Harga gadis muda yang cantik 800 - 3.000 rupee. Sering kali pula si mucikari pergi berburu sendiri. Kalau ada gadis yang menentang, mereka diberi pengajaran dengan minuman keras, tidak diberi makan atau digebuk.

Paling berat adalah hukuman digosok dengan cabai. Setelah setahun, biasanya mereka telah menjadi pelacur yang terlatih.

Seratus kali Renault

Ada pelbagai alasan mengapa anak-anak ini dijual orangtuanya. Mungkin karena panen gagal dan desakan kebutuhan ekonomi yang menjepit.

Adakalanya pula karena si anak gadis telah "ternoda" sehingga dianggap tak bakal memperoleh jodoh yang baik. Dipandang dari segi ini, kedudukan anak-anak gadis ini menjadi makin menyedihkan.

Keadaannya tak berbeda dengan di tempat pelacuran di Indonesia dulu. Misalnya di Gang Sadar, Jakarta, seperti dituturkan oleh Arif Gosita, S.H. kepada Intisari pada 1981. Sebagai informasi, Gang Sadar adalah kompleks pelacuran tersohor sejak Jakarta masih bernama Batavia, sekarang sudah tutup.

Sekitar tahun 1960 - 1967 dia menjadi anggota Yayasan Pengurangan Pelacuran dan Perlindungan Wanita Tersesat yang bekerja sama dengan DKK (Djawatan Kesehatan Kota).

Rumah-rumah di sana saat itu seperti rumah kampung biasa, ada yang berdinding tembok, ada yang masih dari anyaman bambu. Kamar praktik untuk satu orang dipakai tidur bertiga atau berempat pada saat istirahat.

Seperti di mana pun, bisnis mucikari selalu amat menguntungkan. Buktinya, saat itu pun telah ada pemborong yang khusus melayani pembangunan rumah para bos rumah bordil ini.

Jumlah anak buah seorang mucikari berkisar antara 6 dan 20 orang dengan tarif Rp1.000, sementara di sebuah hotel terkemuka di Jakarta konon dipasang tarif AS $ 100.

Bandingkanlah penghasilan mereka ini dengan- rekan-rekan mereka di ibu kota mode dunia, Paris, tahun 1966. Pigalle disebut-sebut sebagai sarang pelacur dan kerajaan para bandit.

Letaknya di kaki Bukit Montmartre yang suci (ada gereja di atas bukit itu). Seorang wartawan pernah menyusurinya bersama seorang komisaris polisi dan dimuat dalam Paris Match.

Masa itu yang terlarang di sana bukan pelacuran, tapi perdagangan wanita. Pelacurnya pun dibagi-bagi dalam giliran jaga: pukul 17.00 - 02.00 untuk melayani orang yang pulang kantor sore dan yang bepergian malam hari, pukul 02.00 - 06.00 dan pukul 06.00 siang.

(Uniknya, 1 di antara 6 pelacur di sini sebenarnya pria.)

Saat itu "anak-anak" Tania yang sedang ngetop. Honornya sudah tentu tertinggi: AS$ 100-160. Tamu-tamunya biasanya datang dari jauh (sayang tak disebutkan dari mana).

Komisaris polisi yang menjadi narasumber si wartawan berani memperkirakan ada sekitar 6.000 orang pelacur di Paris saja, tak terhitung yang bekerja paruh waktu atau yang keluyuran di tepi jalan. Sedangkan penghasilan si pelacur itu sendiri AS$ 2.000 per bulan.

Mucikarinya sendiri? AS$ 140 juta! Tiga setengah kali pendapatan Badan Riset Minyak di Sahara yang saat itu merupakan penghasil uang terbesar di Prancis dan 100 kali pemasukan Regi Renault, pengusaha mobil Renault dengan 60.000 karyawan.

Usaha untuk menanggulangi pelacuran yang telah terlanjur jadi sumber kejahatan menjadi sulit, karena (waktu itu) pelacuran di sana dibiarkan. Yang dilarang adalah percaloan wanita dengan ancaman hukuman 3 tahun.

Tapi bagaimana dapat membuktikan kesalahannya, jika si pelacur, seperti biasa, terlalu takut untuk bersaksi?

Tahun 1958 ada undang-undang yang mengancam akan menutup hotel yang ketahuan dua kali melanggar larangan penyediaan pelacur. Namun para pengusaha hotel pun tidak bodoh.

Mereka buru-buru mengganti direkturnya setiap kali tertangkap basah terlibat bisnis wanita, sehingga tak mungkin menuntut mereka telah melakukan pelanggaran dua kali.

"Penutup tubuhnya" cuma plester

Di negara tetangga Prancis, tepatnya Jerman, pelacuran malah telah berkembang demikian hebat sehingga menjadi industri pariwisata legal yang mendatangkan devisa.

Orang yang pernah berkunjung ke Hamburg, Jerman, pastilah kenal dengan nama Reeperbahn, pusat lampu merah yang juga dikenal sebagai St. Pauli. Di kompleks ini berjajar segala jenis hiburan seronok yang semuanya dinyatakan sebagai daerah bebas wanita dan anak-anak.

Artinya jika ada (biasanya turis) yang coba-coba melanggar, dia akan segera jadi sasaran caci maki lantang, "Apa kamu buta, tak bisa membaca aturan?"

Di pusat hiburan macam ini suasana perdagangan bebas sungguh-sungguh tak terelakkan lagi. Bentuk transaksinya bertingkat-tingkat dari sekadar menonton film, menonton pertunjukan, sampai menyewa pelacur itu sendiri.

Karena sudah menjadi bagian dari daya tarik turis, hotel pun tersedia di situ. Pada umumnya lantai satu satu digunakan untuk tempat hiburan seperti live show, pertunjukan seks, sedangkan lantai lainnya untuk hotel. Tarif hotelnya -- yang benar-benar hotel -- sekitar 45 mark.

Karena mesti bersaing keras, ditempuh pelbagai cara untuk menarik tamu. Wanita bergaya di kaca etalase dengan pakaian minim, tak peduli musim panas atau dingin.

Pemutaran film biru sudah pasti ada, pertunjukan striptease juga tak ketinggalan, gulat wanita telanjang dada apalagi.

Cara menarik penonton pun pelbagai rupa. Portir yang membawa poster di dadanya berteriak-teriak mempropagandakan pertunjukannya.

Kalau perlu portir pertunjukan live show membujuk-bujuk, "Kalau Anda tidak suka, tidak perlu membayar dalam waktu 5 menit!"

Bentuk pertunjukan pun dibuat "semenarik" mungkin. Misalnya ada undian bagi penonton pertunjukan striptease di mana pemenangnya mendapat hak istimewa untuk melucuti pakaian si penari.

Ada pula kontes internasional di mana puluhan gadis berparade di panggung dengan membawa ciri khas daerah yang diwakilinya. Yang unik, mereka hanya mengenakan pakaian "ala kadarnya", pokoknya sesuatu, sehingga ada yang cuma mengenakan plester!

Berapa tarifnya? Sekitar 1990-an, untuk menonton film biru orang harus membayar 10 mark, sedangkan tarif pelacur berkisar antara 200 dan 400 mark per jam.

Kalau yang dijajakan itu boleh digolongkan dalam kategori "seks untuk setiap orang", ada pula wanita untuk pasar eksklusif. Ada yang karena fasilitas pendukungnya istimewa, ada pula yang karena (konon) keunggulan "barang dagangan" itu sendiri.

Sudah tentu harga sudah bukan masalah lagi, karena konsumennya dari kelas sosial yang sudah amat mapan. Tengok saja kasus Heidi Fleiss.

Bicara soal fasilitas pendukung yang canggih, Gert Hansen mungkin salah satu ahlinya. Pengusaha ini benar-benar jeli dalam menangkap peluang bisnis. Ketika tahun 1983 mengambil alih sebuah kafe di Reeperbahn, dengan modal 750.000 mark dia merenovasi ke-15 kamar yang ada di bawah kafe itu.

Titik tolak pemikirannya, "Setiap orang pasti punya favorit tertentu dalam memilih tempat dan suasana untuk bermain cinta.”

Dari kap mobil sampai pantai laut

Apa persis yang dia maksudkan menjadi amat jelas begitu meninjau kamar-kamar yang disewakannya. Setiap kamar yang harga sewanya 150 mark itu mempunyai interior dan dekorasi unik.

Ada kamar yang dibuat seperti sel dalam Penjara Alcatraz. Suasana di sini tentu saja hening dan sepi. Ada lagi interior yang menyajikan suasana meriah sebuah bar di AS era tahun 1920-an.

Bagi peminat kebisingan dan yang memendam keinginan "beraksi" di tengah keramaian, Hansen merancang ranjang di atas kap mobil buatan tahun 1944 lengkap dengan rekaman gaduhnya lalu lintas jalanan.

Ada lagi kamar yang interiornya dibuat seperti gudang jerami lengkap dengan suara mencicitnya tikus. Atau Anda berminat pada suasana stasiun dengan bunyi kereta api lewat?

Heinz Haller punya kiat lain untuk usaha rumah hiburannya. Satu kamar ditimbuninya dengan 7 kuintal pasir putih halus lengkap dengan sekop, ember dan cetakan untuk bermain-main pasir.

Pada dinding terlukis pemandangan pantai nan indah. Lampu neon yang terang benderang membuat suasana pantai makin nyata, walau faktanya kamar itu terletak di bawah tanah.

"Orang pasti tidak percaya bahwa para pengusaha bisa bertingkah laku seperti anak kecil. Mereka menggali pasir dan membuat benteng-bentengan. Pokoknya, mereka bisa melakukan apa saja yang tidak bisa dan tidak boleh dilakukan di pantai umum," ujar Haller.

Pengusaha bordil Wolfgang Sehr malah lebih habis-habisan. Di atas tanah seluas 10 ha di Kota Messel, sekitar 20 menit dari Frankfurt, dia membangun dunia fantasi seks.

Ada bangunan mewah ala film seri Dallas, ada rumah peristirahatan masa depan, ada kamar bergaya Bayern, khas tradisional Jerman, dengan kotak-kotak biru putihnya, ada pula tenda Indian atau bahkan tempat praktek kerja dokter kandungan lengkap dengan kursi "singgasana" pasiennya!

Di samping itu masih ada tempat penyiksaan, kereta kuda zaman western, atau ... jok merah sebuah mobil Rolls Royce yang sedang parkir. Belum lagi iglo Eskimo yang benar-benar terbuat dari es, bahkan ada acara "pesta bebas gaya Nero" lengkap dengan macan betina yang benar-benar hidup!

Tempat hiburan kelas atas ini sudah tentu juga tidak murah. Sekitar tahun 1985 tarifnya mulai dari 300 mark (sekitar Rp2,5 juta untuk kurs sekarang).

Masih ada daya tarik lain. Mereka menyediakan bukti pembayaran yang dapat ditagihkan ke kantor atau dinas pajak, karena yang tertera di situ tidak mencurigakan.

Misalnya saja, sebuah bordil di Hamburg memberikan kwitansi sebuah hotel. Akibatnya petugas pajak tidak akan tahu bahwa si pengguna jasa sebenarnya tidak menginap di hotel tersebut, melainkan anak cabangnya, atau bahwa dia sebenarnya menggunakan jasa limusinnya.

Sebelum terbuai membayangkan segala kemewahan itu, mungkin ada baiknya kita terjun lagi ke bawah, menengok sebuah kompleks pelacuran di Surabaya.

Solidaritas persarungan

Kalau ada yang berpendapat bahwa kota ini memiliki fasilitas perdagangan seks yang terbesar di Asia Tenggara, seperti yang diungkapkan oleh Tjahjo Purnomo (dengan dibumbui keterangan: "Benar tidaknya, wallahualam."), (eks) kompleks pelacuran Bangunrejo agaknya cukup menunjang asumsi itu, karena ada sekitar 4.000 orang beroperasi di sana.

Kompleks yang terdiri atas 5 gang ini terbagi atas dua bagian, utara dan selatan. Porosnya ada di Jl. Rembang.

Salah satu keunikannya, di antara 350 rumah bordil yang bertebaran di sana, terselip juga di sana-sini rumah tangga biasa yang dibedakan hanya dengan papan nama "rumah tangga" di atas pintunya.

Tarif yang tercatat sekitar awal 1980-an berkisar antara Rp3.000 dan Rp 7.000. Tentu saja harga menentukan kelasnya. Misalnya saja ada yang mematok harga Rp 3.000 untuk sekali transaksi dengan kondisi rumah dari papan dan lantai tanah.

Tarif Rp 7.000 menawarkan pelayanan yang lebih: wismanya dari dinding tembok dengan lantai ubin plus tempat minum khusus ("bar") yang diterangi lampu warna-warni. Setiap kamar dilengkapi dengan kamar mandi yang menurut Tjahjo lebih tepat disebut "tempat cuci".

Pada wisma yang tak dilengkapi dengan tempat cuci, disediakan sarung dan sandal yang dapat dipakai untuk ke tempat cuci umum.

Keterangan berikutnya menggambarkan tanpa tedeng aling-aling kondisi kebersihan dan kesehatan kelas ini di kompleks tersebut, paling tidak 10 tahun yang lalu, dengan sedikit sentuhan humor:

"Sarung yang disediakan sang pelacur tidaklah selalu baru, dalam arti bersih, baru dicuci. Biasanya setiap kali selesai dipakai tamu, sarung tersebut dilipat rapi kembali untuk kemudian digunakan pemakai berikutnya. Setelah sarung itu nampak lusuh, biasanya sekitar 3 sampai 4 hari baru dicuci. Karenanya, para konsumen diharap punya solidaritas persarungan untuk menerima kondisi yang tidak higienis ini." (Dolly, him. 24)

Selain itu, Tjahjo tak melupakan lokasi-lokasi pelacuran lain yang tak selalu berupa "kompleks". Kegiatan transaksi seksual kelas jalanan ternyata mengikuti pepatah, "di mana ada kemauan, di situ, ada jalan".

Tak ada kamar, kuburan, kolong jembatan pun jadi. Disebutkan misalnya jalan di sekitar salah satu jembatan di Surabaya, yang ramai dengan penawaran jasa oleh pelacur setelah pukul 21.00.

Pembeli jasanya umumnya tukang becak. Transaksi begitu seru, sampai kadang-kadang separuh jalan dipenuhi oleh pasangan-pasangan yang berasyik masyuk.

Sedangkan para gelandangan yang menawarkan jasanya di kolong jembatan, menyediakan fasilitas gubuk karton atau plastik. Tarifnya pun sederhana: Rp100 - Rp 150 (1993).

Di samping masih ada kegiatan pelacuran di gerbong kereta api, ada pula yang go underground. Caranya dengan menggali tanah yang kemudian dinaungi atap dari karton atau papan bekas. Tarif yang terakhir ini sekitar Rp 150.

Pelacuran di abad VI

Terlepas dari ulasan para ahli ilmu sosial tentang sebab musabab muncul-nya pelacur dan seberapa jauh peranan mereka dalam mekanisme masyarakat, sudah sejak berabad-abad lalu masyarakat berusaha menghapus pelacuran dari muka bumi.

Tolok ukur penilaian yang paling sering dipakai adalah tolok ukur agama dan moral.

Usaha menyelamatkan dan merehabilitasikan pelacur bahkan sudah dilaksanakan dengan amat serius oleh Kaisar Yustinianus, yang berkuasa di Kekaisaran Byzantium tahun 527 - 565. Yustinianus konon adalah kaisar yang tak ragu membunuh orang-orang tak bersalah dan merampas hak milik orang lain.

Dia dikenal tak begitu peduli pada lembaga-lembaga yang mapan, bahkan disebut-sebut sebagai penghancur tradisi. Tapi dia juga tercatat sebagai kaisar yang tangguh, di saat Kekaisaran Romawi Barat mulai digerogoti oleh kekuatan setempat.

Dia menaklukkan Persia, suku bangsa Vandal (sebuah-suku bangsa di Jerman) dalam waktu tak lebih dari 2 bulan, merebut kembali Afrika (setelah 96 tahun terlepas dari kekuasaan Byzantium), menaklukkan suku bangsa Goth di Italia, dan mengalahkan bangsa Moor.

Kepiawaiannya dalam perang, menurut Moses Hadas dalam A History of Rome (1956), juga dibarengi dengan kegesitannya merapikan hukum sipil. Hukum Romawi yang awut-awutan dan membingungkan ditertibkan menjadi jelas dan ringkas.

Itu sebabnya peninggalan Yustinianus yang paling terkenal adalah kitab undang-undangnya, Corpus Juris Civilis. Kitab ini mengumpulkan, mengharmonisasikan, dan mensistematisasikan semua hukum yang pernah ada.

Di zaman modern, kitab ini malah menjadi rujukan dari penyusunan hukum di Eropa Barat. Bagian keempatnya, yang disebut Novel, memuat 160 undang-undang baru yang dibuat pada masa pemerintahan Yustinianus.

Isinya memaparkan pelbagai masalah di masyarakat yang berkaitan dengan hukum, termasuk masalah pelacuran, seperti yang tercermin dalam Novel 39 dari Corpus Iuris:

"Hukum-hukum kuno dan para kaisar terdahulu telah memandang nama dan bidang pekerjaan mucikari dengan penuh kebencian: Kami pun telah memperbesar hukuman dan menerapkan undang-undang tambahan untuk melengkapi kekosongan yang ditinggalkan pendahulu kami. Namun akhir-akhir ini kami diberi tahu tentang makin berkembangnya kejahatan semacam itu di kota agung ini .... Ada orang-orang tertentu yang memperoleh nafkah dari laba yang diperoleh secara menjijikkan. Mereka berkeliling ke seluruh negara untuk menipu anak-anak gadis dengan janji akan memberikan sepatu dan pakaian. Demikian jebakan mereka berhasil, anak-anak gadis itu dibawa ke kota yang kaya ini untuk dikurung dengan pakaian dan makanan yang amat menyedihkan. Mereka menyewakan tubuh para gadis itu kepada umum, namun mengambil semua uang sewanya untuk diri sendiri .... Kami bertekad untuk membebaskan kota ini dari polusi semacam itu."

Ternyata, Yustinianus dan permaisurinya, Theodora, menyelenggarakan juga program rehabilitasi bagi para pelacur (tidak disebutkan apakah mucikari ikut dijaring pula).

Menurut penulis Procopius, termasuk dalam program itu ialah menghapus istilah "mucikari". Para pelacur dibebaskan, lalu diberi nafkah cukup dan martabatnya disamakan dengan orang lain.

Caranya, mereka mengubah sebuah istana menjadi biara khusus untuk para wanita yang bertobat. Tempat ini dinamakan Repentance (Pertobatan).

Biara ini diberi anggaran yang besar, bahkan dibangun pula rumah-rumah yang indah supaya tak ada alasan bagi para wanita itu untuk mengeluh.

Namun Procopius memberikan catatan pinggir juga di bagian lain bukunya, "Theodora mengumpulkan lebih dari 500 pelacur yang bekerja di pasar dengan tarif 3 obol (tak cukup untuk hidup) - lalu mengirim mereka ke seberang (mungkin yang dimaksudkannya adalah seberang Selat Bosporus, karena Konstantinopel yang kini bernama Istanbul terletak di tepinya, red.) dan mengurung mereka dalam Kuil Pertobatan untuk memaksa mereka mengubah jalan hidup. Beberapa orang lebih suka menerjunkan diri ke bawah di malam hari daripada disuruh mengubah cara hidup mereka."

Bukannya makin surut

Tak pelak lagi usaha keras seperti yang dilakukan pasangan kaisar dan permaisurinya itu terus berulang di sepanjang sejarah umat manusia selama 15 abad berikutnya.

Yang paling bergaung gemanya karena mempengaruhi kebijakan seluruh dunia adalah gerakan pemurnian sosial di dunia Barat yang dicanangkan 1 abad lalu.

Berkat gerakan ini bermunculanlah diskusi maupun aksi di tingkat internasional tentang isu perdagangan "budak berkulit putih" untuk tujuan pelacuran yang kemudian mendorong dirumuskannya dan diberlakukannya Convention for the Suppression of the Traffic in Persons and of the Prostitution of Others oleh PBB pada tahun 1949.

Ini memberi banyak pengaruh pada larangan terhadap pelacuran di banyak negara anggota PBB. Namun aturan boleh aturan, seperti galibnya teori dan praktek selalu saja ada kesenjangan.

Thanh-Dam Truong dengan gamblang menyatakan semua peraturan perundangan tak banyak berperan dalam mencegah praktik pelacuran, maupun perdagangan perempuan dan anak-anak.

Yang mengkhawatirkan, belakangan justru menunjukkan perkembangan ke arah yang kontroversial. Pertama, banyak studi menunjukkan larangan terhadap pelacuran secara hukum kini makin bersifat selektif.

Ancaman hukuman terutama hanya berlaku terhadap pelacur. Mucikari, pelanggan, dan calonya nyaris tak tersentuh.

Kedua, sementara pelacuran tetap dilarang di banyak negara, sejumlah bentuk jasa yang berkaitan dengan seks terus saja makin berkembang, seperti jasa escort (pengantar), liburan seks, pusat-pusat eros, pusat terapi seks, pelayanan seks via telepon, serta jasa kencan -- modusnya semakin bervariasi dengan semakin majunya teknologi.

Malah di banyak negara, industri jasa seks menjadi industri besar. Belum lagi pengiriman pelacur ke mancanegara dengan selubung agen tenaga kerja (seperti kasus Filipina) atau agen pencari jodoh lewat korespondensi yang secara hukum sah-sah saja.

Murray, dalam konteks Jakarta, bahkan jelas-jelas menyatakan, "Saya tak melihat bukti bahwa pelacuran berkurang. Bahkan nampaknya makin bertambah." (No Money, No Honey, him. 108)

Usaha umat manusia untuk memberantas pelacuran yang boleh dikata telah berlangsung sepanjang sejarah sepertinya berakhir dengan kedudukan 1-0 untuk pelacuran dalam segala versinya.

Mungkinkah pendekatan yang selama ini diterapkan kurang memadai, kurang gesit dalam mengimbangi perkembangan masalah pelacuran yang makin kompleks?

Faktanya, istilah "memberantas" pelacuran saja terkadang kedengaran sumbang dan sumir di tengah hiruk-pikuknya manusia mencari kesenangan. Pelacuran yang merupakan "monster seribu wajah" bagi sementara orang, adalah juga "bidadari seribu senyum" bagi orang lain.

Artikel Terkait