Sutartinah Pelengkap Sempurna Ki Hajar Dewantara Melawan Belanda

Tim Intisari

Penulis

Suwardi Suryaningrat alias Ki Hajar Dewantara benar-benar mendapatkan pasangan yang tepat dalam diri Sutartinah alias Nyi Hajar Dewantara (Bobo)

[ARSIP Bobo]

Suwardi Suryaningrat alias Ki Hajar Dewantara benar-benar mendapatkan pasangan yang tepat dalam diri Sutartinah alias Nyi Hajar Dewantara.

Artikel ini pertama tayang di Majalah Bobo edisi 3-XI-1983 dengan judul "Tiga Serangkai Yang Serasi"

---

Intisari hadir di WhatsApp Channel, follow dan dapatkan berita terbaru kami di sini

---

Intisari-Online.com -Ketika itu Sutartinah dan adik-adiknya hendak menonton pagelaran wayang di Pura Pakualaman.

Tapi ketika hendak masuk pintu gerbang pura, seorang petugas baru yang belum mengenal putra-putri Pangeran Sasraningrat itu mencegat dan menyuruh Sutartinah dan adik-adiknya membuka sandal dan sepatu apabila hendak masuk pelataran Pura.

Saat itulah muncul segerombolan anak lak-laki dari belakang yang dipelopori oleh Suwardi putra Pangeran Suryaningrat, cucu Paku Alam III. Dengan lantang dan bertolak pinggang dia bilang:

"Suruh tamu-tamu Belanda yang mengotori Pendapa itu buka sepatu juga, baru kami akan masuk dengan kaki telanjang pula!"

Melihat keberanian bocah itu, Lurah Penjaga yang telah mengenal siapa Suwardi dan Sutartinah secepatnya menarik lengan petugas baru tersebut sambil membisikkan: "Biarkan itu putra-putri Gusti Wakil."

Melihat angin baik, Suwardi berseru: "Masuuuk!"

Puluhan anak kampung masuk berebutan. Suwardi membantu Sutartinah dan adik-adiknya masuk sampai ke depan tempat pagelaran wayang.

Sutartinah adalah anak Pangeran Sasraningrat dari Pakualaman. Sedangkan Suwardi adalah anak Pangeran Suryaningrat yang menjabat sebagai Gusti Wakil juga dari Pakualaman. Artinya, keduanya adalah sepupu.

Kejadian di pintu masuk Pura Pakualaman itu akhirnya berkelanjutan. Pada mulanya memang telah dijodohkan Suwardi menikah dengan Sutartinah, tetapi kemudian mereka benar-benar cocok, mempunyai cita-cita dan pemikiran yang sama.

Sutartinah mengajar, sedangkan Suwardi meneruskan sekolahnya di STOVIA, Jakarta. Walaupun Suwardi dan Sutartinah berjauhan, tetapi mereka tetap rajin surat menyurat.

Suwardi menceritakan bagaimana dia berkenalan dengan teman-teman dari Ambon, Andalas, Sulawesi, Timor dan macam-macam lagi. Suwardi tahu kini bahwa bukan saja negeri Pakualaman yang menanti datangnya seorang pembebas, tetapi seluruh Nusantara.

Sutartinah terharu dan tahu bahwa kekasihnya itu mulai menerjunkan diri dalam bidang politik bersama teman-temannya di Jakarta. Pelajarannya di STOVIA mundur hingga orangtua Suwardi mengirim Sutartinah ke Bogor tinggal bersama kakaknya yang bekerja di sana.

Suwardi yang kerap mendapat hukuman dari gurunya harus diberi semangat dan dorongan belajar oleh perempuan yang mencintainya.

Tahun 1910, Suwardi terpaksa meninggalkan STOVIA. Sutartinah tetap tinggal di Bogor. Suwardi kemudian mencoba bekerja pada sebuah pabrik gula di Banyumas, tetapi merasa bosan.

Sutartinah berulang kali menulis surat pada Suwardi agar dia menulis saja karangan-karangan politik sesuai dengan jiwanya. Suwardi masih mencoba bekerja sebagai asisten apoteker di Jogja, tetapi juga merasa bosan.

Akhirnya Suwardi mengikuti nasehat kekasihnya itu dan menulis karangan-karangan dalam surat kabar Midden Java dan De Express di Bandung, yang diasuh olehDouwes Dekker.

Akhirnya Suwardi dipanggil oleh Douwes Dekker dan diserahi pekerjaan mengasuh surat kabar De Express. Sekalian, dia juga masuk ke dalam Sarekat Islam bersama Abdoel Moeis.

Akhirnya dia ditunjuk sebagai pimpinan Sarekat Islam. Walaupun terlalu sibuk, tetapi Suwardi dan Sutartinah tetap berkirim surat dan tidak jarang Suwardi pergi ke Bogor menjenguk kekasihnya itu sambil menyelesaikan tugas partai.

Karena tulisan-tulisan Suwardi, dr. Cipto Mangunkusumo dan Douwes Dekker yang amat pedas terhadap pemerintah kolonial Belanda maka tiga serangkai ini kemudian ditahan. Bukan main sedihnya Sutartinah.

Dia tetap membantu perjuangan calon suaminya dan teman-temannya.

Dengan pura-pura menjenguk Suwardi, Sutartinah bertukar saputangan dengan tunangannya yang berisi pesan-pesan Suwardi pada teman-temannya yang bergerak di bawah tanah. Perjuangan mereka dibantu oleh seorang pemuda Ambon yang berseragam serdadu Belanda.

Putusan pengadilan Belanda memutuskan Tiga Serangkai dibuang ke luar tanah air, Negeri Belanda. Sebelum berangkat, Suwardi dan Sutartinah melangsungkan upacara perkawinan sederhana.

Tiga serangkai tambah Sutartinah berangkat ke tanah pembuangan atas biaya sendiri. Di negeri Belanda tiga serangkai dan Sutartinah terus menulis kritikan-kritikan pedas.

Pada tanggal 26 Juli 1919, Suwardi dan Sutartinah kembali ke tanah air setelah berjuang selama empat tahun di negeri Belanda.

Dalam periode ini di tanah air muncul tonggak-tonggak sejarah seperti lahirnya Sumpah Pemuda, lahirnya lagu Indonesia Raya, dan berdirinya Taman Siswa oleh Suwardi dan kawan-kawan. Sedangkan Sutartinah ikut dalam Kongres Perempuan Indonesia pertama tanggal 22 Desember 1928.

Dengan dorongan istrinya, Suwardi mulai meninggalkan dunia politik dan mengabdi pada dunia pendidikan.

Pada 1928, tatkala Suwardi mencapai umur 40 tahun, dengan resmi Suwardi mengganti namanya menjadi Ki Hajar Dewantara dan istrinya menjadi Nyi Hajar Dewantara. Sejak itu Ki Hajar Dewantara dan istrinya mengabdikan dirinya pada Taman Siswa yang mereka dirikan.

Pada tanggal 26 April 1959, Ki Hajar Dewantara wafat di tengah tumbuhnya Taman Siswa. Tugasnya sebagai Pemimpin umum Taman Siswa digantikan oleh Nyi Hajar Dewantara.

Artikel Terkait