Menyinggahi Peninggalan Bawah Laut Perang Dunia II di Manokwari

Tim Intisari

Penulis

Perairan Manokwari menjadi tempat yang tepat jika Anda ingin melihat peninggalan bawah laut Perang Dunia II (Lilie Chow/Intisari)

Menyelam tak harus ke taman laut yang indah. Ke wreck tempat peninggalan sejarah Perang Dunia II pun akan memberi kepuasan tersendiri. Itulah yang kami lakukan di Manokwari — pada 2006 lalu.

Penulis dan fotografer: Lilie Chow di Jakarta untuk Majalah Intisari Desember 2007, judul asli "Menyelami Peninggalan Perang Dunia II di Manokwari"

---

Intisari hadir di WhatsApp Channel, follow dan dapatkan berita terbaru kami di sini

---

Intisari-Online.com -Agustus 2006 yang cerah, kami bersebelas memasuki kapal Putri Papua milik Grand Komodo di pelabuhan Anggrem, Manokwari. Kami hendak berlayar menuju Mapia Atol.

Rasa kantuk akibat kurang tidur sirna seketika. Padahal, pagi harinya, pada pukul 03.45 kami sudah harus berkumpul di Bandara Soekarno Hatta, Cengkareng, Banten -- sebut saja Jakarta.

Oooaah, malam hari sebelumnya saya nyaris tidak tidur, mempersiapkan peralatan menyelam yang akan dibawa hari ini.

Dalam rombongan kami terdapat teman-teman penyelam dari Corona Diving Club beberapa daerah. Seperti cabang Jakarta, Lampung, dan Palembang. Dive master yang akan mendampingi kali ini Weka dan Noah.

Weka sudah tidak asing lagi karena pernah mendampingi kami waktu menyelam ke Raja Ampat, dua tahun lalu. Terbayang, betapa menyenangkannya menyelami lokasi baru yang belum pernah dikunjungi sebelumnya.

Amanat sang kakek

Pulau Mapia adalah pulau yang berada di posisi terluar di atas kepala burung Papua. Setelah Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan diambil Malaysia, kini pulau ini menjadi salah satu pulau terluar yang dijaga ketat oleh Angkatan Darat dan Angkatan Laut TNI.

Hanya sayangnya, mereka tidak dilengkapi dengan peralatan yang memadai.

Hal ini terlihat berbeda jauh dengan ketika kami menyelam ke Pulau Sipadan setahun sebelumnya. Di sana tentara Malaysia tampak begitu berwibawa dengan peralatan lengkapnya menjaga pulau tersebut.

Perjalanan yang biasanya memakan waktu sekitar 15 jam mengarungi Samudra Pasifik, kali ini molor jadi 20 jam. Penyebabnya, imbas badai di Filipina yang terjadi sehari sebelumnya.

Alun gelombang yang tingginya mencapai 2 - 3 meter membuat perjalanan kali ini luar biasa buruknya. Kapal berayun ke kiri dan ke kanan menimbulkan mabuk dan mual.

Akhirnya ketika kami tiba di Mapia, hanya tersisa sedikit semangat dengan harapan menemukan lokasi penyelaman yang indah sebagai kompensasi pelayaran yang buruk ini.

Walaupun kami sudah menikmati asyiknya menyelam di Karang Barasi, Mercusuar, dan Mulut Atol, rasa mual dan mabuk belum juga hilang, bahkan tambah menyiksa karena gelombang tidak kunjung reda.

Mempertimbangkan kondisi teman-teman yang tidak bisa menikmati penyelaman ini, kami memutuskan untuk kembali ke Manokwari dan melakukan penyelaman kapal tenggelam di sana. Mestinya, penyelaman pengganti ini tidak kalah menariknya.

Menurut catatan-catatan kuno, ada lebih dari 400 kapal pernah tenggelam di seluruh perairan Indonesia. Kapal-kapal itu membawa banyak muatan barang-barang berharga seperti keramik, emas, perak, mutiara, dan timah dalam jumlah besar.

Selain itu juga ada kapal dengan muatan candu. Sayangnya, barang-barang tersebut sering diambil dengan tidak bertanggung jawab, sehingga menghilangkan data sejarah penting yang ada di dalamnya. Demikian juga kekayaan bernilai tinggi ikut terbang.

Irian Java di masa Perang Dunia II dulu adalah medan tempur dan kini menyisakan banyak kapal atau pesawat terbang yang tenggelam di perairannya. Yang terbanyak konon ada di sekitar Biak.

Teluk Doreri di Manokwari adalah lokasi yang terlindung dari angin dan gelombang serta memiliki jarak pandang bawah air yang bagus.

Seluruh badan kapal bisa terlihat dengan jelas. Menurut informasi yang diperoleh, ada lima lokasi wreck yang bisa diselami di sekitar perairan ini. Sebagian besar adalah kapal, dan hanya satu pesawat.

Wreck pertama adalah Carnauba. Pesawat capung P40 yang konon milik keluarga Johnson di Amerika Serikat, sempat dijual kepada orang Belanda.

Pesawat ini kemudian dipakai untuk mengantar obat-obatan ke Manokwari selama masa Perang Dunia II. Dalam sebuah tugas, pesawat ini mengalami kerusakan mesin dan jatuh di Karang Tengah, di depan Mercusuar Teluk Doreri, Manokwari, pada kedalaman 30 meter.

Tidak ada korban jiwa dalam kecelakaan tersebut. Pilot kemudian menandai posisi jatuhnya pesawat secara visual.

Mungkin erat kaitannya dengan sejarah keluarga, maka ketika sudah jaya, keluarga Johnson mendapat amanat dari sang kakek pemilik pesawat, agar para penerusnya berusaha mencari pesawat tersebut. Diketahui beberapa kali keluarga Johnson datang ke Indonesia untuk mencari keberadaan pesawat tersebut, namun belum menemukannya.

Juli 2006, mereka datang kembali dengan membawa arkeolog, sarjana mesin, dan kru underwater film. Kali ini mereka beruntung, dengan bantuan dive master Grand Komodo pesawat tersebut bisa ditemukan.

Kegembiraan tercermin di wajah sang Nenek dan anak-cucunya. Barangkali mereka bahagia bisa melaksanakan amanat sang Kakek. Sebongkah batu yang sudah disiapkan dan dibawa dari Amerika Serikat ditaruh di depan bangkai pesawat, bertuliskan:

I am Camauba My true home is not this bayBut the hearts of all who love adventure

Ketika kami melakukan penyelaman di Carnauba, rasanya seperti mengunjungi museum. Sebelum berkunjung sudah disuguhi sejarahnya. Carnauba menjadi satu-satunya lokasi wreck yang ada keterangannya di dasar lain.

Ya itu tadi, persis seperti di museum.

Di bawah sayap pesawat sebelah kiri berbaring malas seekor wobbegong, yang kami sebut sebagai hiu bego karena malas sekali. Tidak seperti ikan hiu umumnya yang kesannya garang, kerja hiu ini hanya diam di tempat sekalipun diganggu.

Kerap kali kami menemukan bekas berbaringnya yang sudah berbekas cetakan badannya. Jadi bisa dibayangkan berapa lama hewan itu sudah berbaring di sana tanpa mengubah posisinya. Hiu jenis ini juga banyak ditemui ketika kami melakukan penyelaman di Raja Ampat.

Serangan ikan giru

Penyelaman kedua dilakukan di bangkai kapal Shinwa Maru. Kapal ini konon adalah kapal Jepang pengangkut peralatan militer seperti panser, meriam, bom, dll.

Kapal yang ditorpedo sekutu pada tanggal 12 Agustus 1944, ketika masa Perang Dunia II, terbalik di dasar laut pada kedalaman 16 - 32 meter. Kapal ini cukup besar dan tinggi, panjangnya 144 meter.

Bekas torpedo menyisakan lubang yang cukup besar, cukup untuk dimasuki tiga orang penyelam sekaligus.

Ruangan dalam cukup luas, kami leluasa menjelajahinya. Untung para dive master sudah mengingatkan kami untuk membawa senter apabila ingin melihat bagian dalam kapal.

Di dalam terlihat mobil panser dan meriam yang masih jelas bentuknya, sekalipun sudah ditumbuhi karang keras dan lunak. Selain itu juga terdapat beberapa torpedo dan penyapu ranjau. Menarik sekali.

Sasaran berikutnya, Cross Wreck. Dinamakan Cross Wreck karena lokasi kapal tenggelam ini persis berada di depan monumen berbentuk salib besar, tidak jauh dari gereja Lahai Roi, Pulau Mansinam.

Menurut informasi yang kami peroleh, di pulau inilah pada tanggal 5 Februari 1885 para misionaris untuk pertama kali singgah dan menyebarkan agama Kristen Protestan. Setiap tahun pada tanggal bersejarah ini, masyarakat memperingatinya secara besar-besaran sebagai Hari Turunnya Injil Tuhan di tanah Papua.

Kapal pengangkut barang milik Jepang ini kena tembak sekutu sampai terbelah dua pada posisi 200 meter dari bibir pantai. Kapal berukuran panjang 35 meter dan lebar 8 meter itu kini tergeletak di kedalaman 26 meter.

Sekujur tubuhnya ditumbuhi karang keras dan lunak, dan menjadi tempat hidup ikan-ikan kecil beraneka jenis dan warna. Sungguh perpaduan yang indah sekali, apalagi ditunjang oleh bidang pandang yang jernih, kira-kira 30 meter, serta dasar laut berpasir putih bersih.

Bagian dalam kapal bisa dimasuki melalui jendela besar. Banyak ditemukan botol-botol sake, peluru-peluru senapan, bom, dan ranjau.

Karena kekhawatiran kemungkinan masih aktifnya bom dan ranjau ini, kami tidak diizinkan menyentuh, memegang, atau mengetuk-ngetuk barang tersebut.

Beberapa kali kami mengelilingi badan kapal dan menikmati keindahan karang lunak yang tumbuh dan menyatu di sana. Beberapa ekor ikan giru sedang menjaga telurnya dan kelihaian marah ketika kami mendekat. Mungkin menduga telurnya hendak diganggu.

Tanpa rasa takut mereka "terbang" tinggi dan menyerang siapa pun yang mencoba mendekat. Tertian saya tampak terkejut mendapat serangan yang tidak terduga ini. Kami yang melihatnya spontan tertawa, walaupun tidak bisa mengeluarkan suara.

Tinggal sepenggal

Tujuan keempat kami adalah wreck Pill Box. Nama pill box berasal dari istilah pos penjagaan tentara Jepang yang terletak di pinggir pantai.

Objek yang kami lihat adalah kapal pengangkut barang milik Jepang yang tenggelam di kedalaman 18 meter, tidak jauh dari pill box, kira-kira 35 meter dari bibir pantai. Kapal tersebut berukuran panjang 45 meter dan lebar 12 meter.

Ia tenggelam dengan posisi menyamping kanan lantaran ditembak di bagian belakang. Bagian kiri belakangnya terbuka lebar, sehingga memudahkan penyelam memasuki badan kapal.

Bagian atas sudah ditumbuhi karang-karang lunak dan keras sehingga membentuk pemandangan indah.

Teman-teman saya paling senang di lokasi ini karena banyak objek foto yang bisa dibidik. Kami menemukan beberapa ekor nudibranch yang cantik, anemone crab, mantis shrimp, udang, dan ikan kecil yang bekerja sama menggali lubang.

Asyik sekali mengamati kerja sama kedua hewan ini. Udang menggali lubang dengan cara mengambil batu karang kecil satu per satu keluar dari lubang dan ikan dengan sabarnya berjaga-jaga di depannya.

Apabila ada gerakan sedikit saja, kedua hewan ini dengan gesit langsung lenyap ke dalam lubang. Terakhir, kami menyelam di wreck Sepenggal.

Disebut sepenggal karena di sini terdapat kapal karam yang tinggal sepenggal. Kapal pengangkut barang milik Jepang tersebut sebenarnya terbelah dua terkena tembakan sekutu dan karam di depan Pulau Pasirido pada kedalaman 20 meter.

Namun, belahan satunya tidak ada lagi sehingga hanya tinggal sepenggal, istilah lokal untuk menunjukkan bahwa kapal tinggal separuhnya. Kapal ini berukuran kecil dan banyak ruangan, sehingga tidak memungkinkaii penyelam untuk menjelajahi bagian dalamnya.

Saat ini kapal sudah ditumbuhi karang keras dan lunak, sehingga menjadi rumah bagi ikan-ikan kecil aneka jenis. Pada beberapa bagian kapal ditemukan kelinci laut atau nudibranch berbagai jenis, seperti Chromodoris sp. dan Nembrota sp..

Juga ditemukan stone fish yang kaku tidak bergerak. Segerombolan transparent shrimp berwarna ungu terlihat sedang asyik bermain di dalam sebongkah kayu. Mereka ini menjadi sasaran bidikan kamera karena sangat cantik jika difoto.

Selain itu juga banyak ditemukan udang pembersih atau cleaner shrimp serta pipefish.

Jarak pandang yang cukup bagus, sekitar 30 meter membawa kepuasan tersendiri bagi para penyelam. Penyelaman di kapal dan pesawat karam menulup perjalanan penyelaman kami.

Besok kami kembali ke Jakarta. Walaupun perjalanan ke Mapia tidak membuahkan hasil maksimal, kami semua tetap menikmati perjalanan kali ini. Sebagai penyelam kami memaklumi kondisi alam yang sering kali tidak bisa ditebak.

Artikel Terkait