Yang Tersisa dari Jakarta ketika Masih Bernama Batavia, Eropa Banget!

Tim Intisari

Penulis

Dulu di Jakarta, ketika masih bernama Batavia, pernah tumbuh kebudayaan Eropa yang termanifestasi dari bangunan dan arsitektur kotanya (Sabar Basuki/Majalah Intisari)

Dulu di Jakarta, ketika masih bernama Batavia, pernah tumbuh kebudayaan Eropa yang termanifestasi dari bangunan dan arsitektur kotanya.

Artikel ini ditulis oleh Bea (inisial) dengan judul "Jejak Wajah Batavia" tayang di Majalah Intisari edisi Juni 2001

---

Intisari hadir di WhatsApp Channel, follow dan dapatkan berita terbaru kami di sini

---

Intisari-Online.com -Sebuah kota tidak dibangun dalam sehari. Begitu juga dengan Jakarta, yang dulu bernama Batavia, sebelumnya lagi Jayakarta, sebelumnya lagi Sunda Kelapa. Sejarah mencatat, 22 Juni 1527--hari kemenangan Fatahillah atas jatuhnya Sunda Kelapa dari tangan Portugis--sebagai hari lahirnya Kota Jakarta.

Mengetahui sejarah tempat-tempat di ibukota mungkin diperlukan untuk menambah kecintaan warga akan kotanya. Juga sebagai pengetahuan bagi kita yang tinggal di luar ibukota.

Dari Sunda Kelapa ke Batavia

Terletak di sisi paling utara Jakarta, di daerah Pasar Ikan, Pelabuhan Sunda Kelapa hingga kini masih disinggahi kapal-kapal niaga dari berbagai daerah.

Kira-kira seperti apakah wajah Batavia dahulu?

Pada 30 Mei 1619, melalui peperangan dan diakhiri dengan perjanjian, Pangeran Jayakarta akhirnya menyerah kepada VOC di bawah J.P. Coen. Sunda Kelapa dan Jayakarta lalu diubah menjadi Batavia.

Pelabuhan Sunda Kelapa, yang merupakan tempat berlabuhnya kapal-kapal asing yang datang ke Batavia, diubah namanya menjadi Pelabuhan Batavia. Masa itu pelabuhan hanya sebagai tempat persinggahan.

Kapal-kapal besar tidak bisa merapat sampai dermaga, tetapi hanya sampai Pulau Onrust, salah satu pulau di Kepulauan Seribu. Para awak kapal dan penumpang menggunakan sekoci untuk mencapai pelabuhan.

Ketika itu, tampak di sebelah timur, Kastil Batavia, yang didirikan J.P. Coen sebagai benteng perlindungan kota. Sayang, kini sudah tidak terlihat lagi sisa-sisa bangunannya karena dibongkar oleh Daendels, penguasa selanjutnya.

Tetapi, masih ada sisa bangunan lain yang dapat dilihat sampai sekarang. Tak jauh dari pelabuhan, tampak Museum Bahari. Dulu bangunan itu merupakan salah satu bagian dari kompleks pergudangan besar yang dibangun tahun 1652.

Terletak di tepi Kali Ciliwung, kompleks pergudangan bernama Westzijdsche Pakhuizen itu adalah tempat VOC menyimpan segala persediaan cengkeh, pala, dan hasil bumi lain yang akan diekspor ke Eropa. Di belakangnya dahulu berdiri Bastion Culemborg (benteng pertahanan), bagian dari tembok perlindungan kota, yang dibangun pada 1645.

Di seberang museum terdapat Gedong Galangan VOC yang sudah direstorasi dan kini menjadi restoran dan kafetaria, bahkan untuk mengadakan pesta. Meski dulu merupakan bagian dari kompleks gedung-gedung di sekitar pelabuhan, gedung ini digunakan sebagai galangan kapal.

Ada lagi Taman Fatahillah, yang dahulu taman kota dan letaknya tepat di depan Gedung Balai Kota, pusat pemerintahan pada masa VOC. Selesai dibangun tahun 1710, gedung bertingkat ini dinilai sebagai karya arsitektur kolonial Belanda paling bagus di zamannya.

Sejak 1974 bangunan itu dikenal sebagai Museum Sejarah Jakarta atau Museum Fatahillah.

Taman Fatahillah hingga kini masih dikepung gedung kokoh dengan arsitektur Eropa, antara lain Gedung Kantor Pos dan Kafe Batavia di utara, Museum Keramik (dulu Kantor Pengadilan Negeri) di timur, serta Museum Wayang di barat.

Museum Wayang, dulunya bangunan gereja Protestan Nieuwe Hollandsche Kerk yang diresmikan tahun 1736. Sebelumnya, tempat itu merupakan gereja lain, tempat J.P. Coen beserta 18 orang gubernur jenderal Hindia Belanda lainnya dimakamkan.

Gedung-gedung di kompleks-Kota Tua Batavia kini menjadi saksi adanya kebudayaan Eropa di Indonesia di masa silam, dan merupakan tempat wisata kota yang kerap dikunjungi wisatawan mancanegara.

Molenvliet-Weltevreden dan yang tersisa

Yang tak kalah menarik adalah Molenvliet, sekarang daerah Jl. Gajah Mada dan Jl. Hayam Wuruk. Daerah pusat perdagangan yang kini selalu hiruk pikuk itu, dahulu merupakan bagian kota paling indah.

Seorang Perancis yang pernah berkunjung ke Batavia menulis kira-kira seperti ini, "Jalan ini termasuk jalan paling bagus yang dapat disaksikan. Semua jalan menuju Molenvliet itu dihiasi istana-istana indah, kediaman-kediaman anggota Dewan India, pegawai-pegawai dari Compagnie (VOC - Red.), dan pedagang-pedagang paling kaya."

Memang, waktu itu rumah-rumah indah di tengah kebun rindang dan pekarangan berbunga, terletak di sisi Sungai Ciliwung yang ramai dilalui perahu.

Untunglah, masih tersisa satu rumah, yakni Gedung Arsip Nasional di Jl. Gajah Mada no. 111. Bangunan bercorak dan bergaya Renaissance Holland itu dibangun tahun 1760 oleh Reynier de Klerk, anggota Dewan India di zaman VOC, yang kemudian diangkat menjadi gubernur jenderal (1777).

Antara tahun 1924 dan awal 1990, gedung itu dipakai untuk menyimpan arsip nasional. Namun, sejak 1990, gedung itu digunakan juga untuk pameran.

Bahkan pada tahun 1995, dengan dibiayai sekelompok pengusaha Belanda yang mendirikan sebuah yayasan, Gedung Arsip Nasional direstorasi dan sekarang telah kembali megah, disewakan untuk berbagai acara sosial dan juga untuk acara-acara umum, seperti pesta pernikahan.

Lepas daerah Molenvliet ke arah timur, terdapat daerah yang dahulu dikenal dengan Noordwijk (Jl. Ir. H. Juanda), sebuah jalan menuju ke Pasar Baru, melewati Gang Pecenongan, Pintu Air, dan bangunan neogotik, Gereja Katedral yang mulai dibangun pada 1891. Gedung Kesenian yang merupakan gedung tempat pentas acara kesenian berada di tikungan jalan selanjutnya.

Gedung yang dulu bernama Schouwburg (diresmikan tahun 1821) itu telah dipugar dan mulai digunakan kembali tahun 1989. Gedung ini pernah dipakai oleh Komite Nasional, pelopor DPR, sekitar era kemerdekaan.

Sebuah lapangan luas yang masih terlihat sekarang adalah Buffelsveld alias Lapangan Banteng. Dahulu lapangan itu tempat tentara-tentara berbaris dan berparade, sehingga juga dikenal sebagai Paradeplein atau, nama kerennya, Champ de Mars.

Lapangan Banteng juga pernah disebut sebagai Waterlooplein, memperingati peristiwa dikalahkannya Napoleon oleh gabungan pasukan Inggris, Jerman, dan Belanda di tahun 1815. Di lapangan itu pernah dibangun sebuah monumen seekor singa di atas sebuah kolom yang, ditempatkan di tengah lapangan.

Sayang, monumen itu dihancurkan oleh penguasa Jepang, ketika Perang Dunia II berkecamuk.

Daerah ini masih bagian dari Weltevreden (yang artinya "sungguh puas"), daerah yang semula berawa dengan semak belukar lebat milik Anthony Paviljoen (1648), yang kemudian dipindahtangankan kepada Cornelis Chastelein.

Dari Chastelein daerah ini dibeli oleh seorang kaya raya, Justinus Vinck, yang kemudian mendirikan Pasar Weltevreden dan Pasar Tanah Abang.

Setelah Vinck meninggal, tanah itu dijual kepada Gubernur Jenderal Jacob Mossel yang selanjutnya mendirikan gedung besar, Landhuis Weltevreden. Jalan lurus menuju gedung itu banyak ditanami pohon rindang yang dipangkas rapi. Entah kenapa, jalan itu kemudian dikenal dengan nama Gang Kenanga.

Weltevreden merupakan pengembangan Kota Batavia dengan batas-batas di sebelah timur Jl. Gunung Sahari-Senen-Kramat, di sebelah selatan Jembatan Kramat hingga Jl. Prapatan, di sebelah barat Sungai Ciliwung, dan di sebelah utara Jl. Pos dan Jl. Dr. Sutomo.

Weltevreden kemudian menjadi pusat pemerintahan dan permukiman, sementara perkantoran perusahaan dan perdagangan tetap di Kota Lama. Sejak masa pemerintahan Daendels (1808-1811) Weltevreden dijadikan ibukota baru. Kala itu, Inggris di bawah Raffles sempat menguasai Batavia (1811-1816) sebelum ia memperoleh Pulau Singapura.

Daendels juga membahgurn Societeit de Harmonie (gedung cantik yang bernasib tragis, tergusur demi "kemajuan zaman") di pertemuan Jl. Majapahit dan Jl. Veteran.

Senen-Pasar Senen

Daerah ini dahulu merupakan perkampungan masyarakat Tionghoa yang pekerjaan utamanya berdagang di daerah Pasar Weltevreden. Pada masa itu, di kawasan Weltevreden dan Tanah Abang banyak perkebunan.

Itu sebabnya, penduduk Jakarta di bilangan Tanah Abang sampai sekarang masih mengenal daerah Kebon Kacang, Kebon Sirih, Kebon Melati, dan Kebon Jahe.

Melihat kemajuan di bidang ekonomi dan melimpahnya hasil-hasil perkebunan, Justinus Vinck mengajukan permohonan mendirikan pasar yang kemudian dikenal sebagai Pasar Weltevreden (Vinck Passer) dan Pasar Tanah Abang. Kala itu, pasar tidak buka setiap hari. Pasar Weltevreden buka setiap hari Senin. Karena itulah, Pasar Weltevreden lebih dikenal sebagai Pasar Senen.

Pada 27 Juni 1826 terjadi kebakaran yang melalap kurang lebih 200 rumah petak sederhana terbuat dari papan dan lebih dari 100 rumah dari bambu. Segalanya musnah namun rumah-rumah batu kembali dibangun.

Jumlahnya semakin banyak dan bentuknya semakin bagus. Lama-kelamaan kawasan yang artistik dan dikenal sebagai Segitiga Senen. Rumah petak yang semula beratap dedaunan, setelah dibangun bertingkat memiliki atap melengkung yang diapit naga-naga berwarna.

Sayangnya, kawasan ini pun kemudian diratakan dengan tanah pada 1989 dalam rangka modernisasi Kota Jakarta.

Masih banyak tempat di Jakarta yang menyimpan sejumlah cerita menarik, baik tempat-tempat yang masih ada dan terawat baik maupun tempat-tempat yang sudah berubah atau berganti wajah. Mengenal Kota Jakarta dari sejarah dan cerita-cerita di balik nama-nama tempat sungguh menarik dan mudah-mudahan menambah kecintaan warga akan kotanya.

Artikel Terkait