Penulis
Tragedi Semanggi I, yang renggut nyawa 17 korban, hingga kini belum menemukan titik terangnya. Pemerintah terlihat ogah-ogahan mengusut kasus ini.
---
Intisari hadir di WhatsApp Channel, follow dan dapatkan berita terbaru kami di sini
---
Intisari-Online.com -Hingga kini Tragedi Semanggi I dan II belum juga menemui titik terangnya. Siapa yang seharusnya bertanggung jawab atas tragedi yang menewaskan 17 nyawa masyarakat sipil ini?
Peristiwa Semanggi sendiri merujuk pada dua peristiwa kekerasan yang terjadi pada saat unjuk rasa mahasiswa dan masyarakat sipil yang terjdi di awal pemerintahan Presiden BJ Habibie. Habibie naik menjadi orang nomor satu di RI setelah Soeharto lengser pada 21 Mei 1998.
Mengutip Kompas.com, Tragedi Semanggi I merupakan bentuk pelanggaran HAM yang terjadi pada tanggal 11-13 November 1998.Aksi tersebut mengakibatkan 17 warga sipil tewas setelah terlibat bentrokan dengan aparat.
Meski begitu hingga saat ini, lebih dari dua dekade kemudian,upaya penyelesaian kasus Tragedi Semanggi, baik yang pertama atau yang kedua, guna memberi keadilan bagi korban dan keluarganya belum juga menemui titik terang.
Pada 21 Mei 1998, Soeharto mengumumkan pengunduran dirinya dari jabatan Presiden RI. Setelah itu, Indonesia mengalami trasisi pemerintahan yang dipimpin oleh Presiden BJ Habibie, yang sebelumnya menjabat sebagai wakil presiden.
BJ Habibie pun mengumumkan susunan Kabinet Reformasi di tengah gejolak masyarakat yang mengawal proses transisi pemerintahan. Mahasiswa dan masyarakat bergejolak kembali karena tidak menginginkan BJ Habibie dan para anggota DPR/MPR saat itu, yang dinilai sebagai kepanjangan tangan Orde Baru.
Mereka mendesak untuk menyingkirkan militer dari politik serta pembersihan pemerintahan dari orang-orang Orde Baru.
Pada November 1998, pemerintahan transisi Indonesia dijadwalkan mengadakan Sidang Istimewa (SI) MPR untuk membahas mengenai pemilihan umum (pemilu) berikutnya dan agenda-agenda pemerintahan yang akan dilakukan. Mahasiswa dan masyarakat gencar melakukan demonstrasi memenuhi jalan-jalan Jakarta untuk menolak SI MPR 1998.
Aksi penolakan terhadap SI MPR 1998 berujung pada peristiwa yang kemudian dikenal sebagai Tragedi Semanggi I.
Jalannya demonstrasi
Demonstrasi untuk menolak SI MPR 1998 berlangsung pada 11-13 November 1998. Pada 11 November, mahasiswa dan masyarakat bergerak dari Jalan Salemba. Mereka terlibat bentrok dengan Pasukan Pengamanan Masyarakat Swakarsa atau Pam Swakarsa (kelompok sipil bersenjata yang dibentuk TNI) di Kompleks Tugu Proklamasi.
Pada 12 November, ratusan demonstran bergerak menuju Gedung DPR/MPR, tetapi tidak berhasil menembus penjagaan tantara, Brimob, dan Pam Swakarsa. Saat itu, sebanyak 30.000 warga sipil juga direkrut oleh tentara dan dimobilisasi di sekitar gedung parlemen.
Demonstrasi yang berlangsung hingga malam hari mengakibatkan bentrokan di daerah Slipi dan Jalan Sudirman. Akibatnya puluhan mahasiswa yang mengalami luka dibawa ke rumah sakit, sementara ribuan lainnya dievakuasi ke Universitas Atma Jaya.
Puncak demonstrasi yang berujung pada Tragedi Semanggi I terjadi pada 13 November 1998. Hari itu, masyarakat dan mahasiswa dari berbagai wilayah yang diperkirakan berjumlah puluhan ribu, melebur di area Semanggi dan sekitarnya.
Jumlah aparat pun semakin banyak, yang mengepung para demonstran dari dua arah di sepanjang Jalan Sudirman dengan kendaraan lapis baja.
Menjelang sore hari, kendaraan lapis baja bergerak untuk membubarkan massa, yang membuat sebagian masyarakat melarikan diri. Namun, mahasiswa tetap bertahan.
Banyak dari mereka yang duduk di jalan, tetapi direspons dengan tembakan membabi-buta oleh aparat, yang mengakibatkkan korban berjatuhan. Kerusuhan yang disertai tembakan aparat berlangsung sejak pukul 3 sore hingga dini hari.
Korban Tragedi Semanggi I
Tragedi Semanggi I mengakibatkan 17 warga sipil tewas setelah terlibat bentrokan dengan aparat. Dari data Tim Relawan untuk Kemanusiaan, 17 korban tersebut terdiri dari enam mahasiswa, dua pelajar SMA, dua anggota Polri, satu satpam, empat anggota Pam Swakarsa, dan tiga warga sipil.
Di samping itu, sebanyak 456 orang mengalami luka, yang sebagian besar akibat tembakan senjata api dan pukulan benda keras. Korban luka terdiri atas mahasiswa, pelajar, wartawan, aparat keamanan, dan warga sipil dari berbagai usia.
Berikut daftar korban Tragedi Semanggi I yang tewas selama demonstrasi.
1. Lukman Firdaus, salah seorang pelajar yang terluka pada 12 November malam akhirnya meninggal setelah beberapa hari menjalani perawatan.
2. Teddy Wardhani Kusuma, mahasiswa Institut Teknologi Indonesia (ITI) yang menjadi korban meninggal pertama akibat tembakan aparat pada 13 November.
3. Bernardus Realino Norma Irawan, mahasiswa Fakultas Ekonomi Atma Jaya, korban kedua tembakan aparat pada 13 November
4. Ayu Ratna Sari, seorang anak berusia 6 tahun yang terkena peluru nyasar.
5. Sigit Prasetyo (YAI)
6. Heru Sudibyo (Universitas Terbuka)
7. Engkus Kusnadi (Universitas Jakarta)
8. Muzammil Joko (Universitas Indonesia)
9. Uga Usmana
10. Abdullah/Donit
11. Agus Setiana
12. Budiono
13. Doni Effendi
14. Rinanto
15. Sidik
16. Kristian Nikijulong
17. Hadi
Pada 2001, Panitia Khusus (Pansus) DPR RI dalam Rapat Badan Musyawarah DPR RI menyatakan peristiwa Semanggi I tidak termasuk pelanggaran HAM berat. Pernyataan itu menimbulkan kontroversi dan selama bertahun-tahun, Tragedi Semanggi I masih terus dituntut penyelesaiannya.
Dalam forum Rapat Kerja DPR pada 16 Januari 2020, Jaksa Agung Burhanuddin juga mengatakan peristiwa Semanggi I bukan merupakan pelanggaran HAM berat, sehingga kasus tidak perlu dilanjutkan.
Berbeda dengan Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD memastikan peristiwa Semanggi I dan II merupakan salah satu kasus pelanggaran HAM berat yang menjadi fokus untuk diselesaikan pemerintah.
Pernyataan Burhanuddin membuat sejumlah pihak kecewa, hingga keluarga korban, termasuk ibu Wawan, yaitu Maria Katarina Sumarsih lantas mendaftarkan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta.
PTUN menilai bahwa pernyataan Jaksa Agung tersebut tidak sesuai dengan keadaan sebenarnya dan memutuskan bahwa Burhanuddin telah melakukan perbuatan melawan hukum. Namun, Kejaksaan Agung mengajukan banding hingga tingkat kasasi, Mahkamah Agung (MA), dan berhasil memenangkan Burhanuddin.
Hingga kini, lebih dari dua dekade sejak Tragedi Semanggi I, upaya penyelesaian kasus masih gelap.
Sempat ada angin segar dari Jokowi, tapi...
Pada 2021,Komnas HAM membentuk Tim Ad Hoc Penyelidik Pelanggaran HAM Berat untuk menyelidiki Tragedi Semanggi I dan II--juga Tragedi Trisakti yang terjadi pada 12 Mei 1998, sesaat sebelum Soeharto lengser.
Mengutip Kompas.com, laporan tim yang dirilis pada 2002 menunjukkan bahwa ketiga tragedi tersebut berkelindan dalam konteks kekuasaan.
"Terdapat bukti-bukti awal yang cukup bahwa di dalam ketiga tragedi telah terjadi pelanggaran berat HAM yang antara lain berupa pembunuhan, penganiayaan, penghilangan paksa, perampasan kemerdekaan dan kebebasan fisik yang dilakukan secara terencana dan sistematis serta meluas," begitu yang tertulis dalam laporan tersebut.
Komnas HAM merekomendasikan agar kasus ini ditindaklanjuti ke pengadilan HAM. Meski begitu, Kejaksaan Agung (Kejagung) sebagai pihak yang berwenang melakukan penuntutan tidak pernah mengamini rekomendasi tersebut.
Alasan Kejaksaaan,tidak cukup bukti untuk menuntut kasus ini sebagai pelanggaran HAM berat dan cukup ditangani peradilan umum, meskipun temuan Komnas HAM menunjukkan bahwa aparat telah menggunakan kekuatan secara tidak proporsional terhadap demonstran yang tidak bersenjata.
Berkas kasus tragedi ini terus mondar-mandir di antara meja Komnas HAM dan Kejagung, meskipun para aktivis terus mendesak penyelesaian melalui pengadilan HAM.
Ketika keluarga korban terus mengais asa yang tersisa, pada Januari 2020, Jaksa Agung ST Burhanuddin menyatakan di hadapan Komisi III DPR bahwa Tragedi Semanggi I dan II bukan pelanggaran HAM berat, merujuk pada hasil rapat paripurna DPR. Pernyataan ini memicu kemarahan keluarga korban, aktivis HAM, dan Komnas HAM, yang menolak klaim tersebut.
Pernyataan tersebut dinilai sebagai mengingkari fakta lapangan, termasuk kesaksian para saksi mata, korban selamat, dan bukti forensik yang membuktikan penggunaan kekuatan berlebihan oleh aparat.
Tak lama kemudian,Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan ketika itu, Mahfud MD, mengakui bahwa ucapan ST Burhanuddin berangkat dari rekomendasi DPR pada 2001. Rekomendasi itu bukan sebentuk putusan hukum yang dapat dijadikan acuan, melainkan putusan politik belaka.
Ironisnya, Mahkamah Agung (MA) menolak gugatan citizen lawsuit dari para aktivis dan keluarga korban terkait pernyataan ST Burhanuddin tersebut.
Angin segar sempat berembus ketika Presiden Joko Widodo, pada awal 2023,mengakui Tragedi Semanggi I dan II sebagai pelanggaran HAM berat. Pengakuan ini, menurut dia, merupakan bagian dari upaya pemerintahannya mencapai penyelesaian pelanggaran HAM berat masa lalu melalui mekanisme nonyudisial yang lebih bertumpu pada pemulihan hak korban dan keluarganya.
"Sebagai kepala negara, saya mengakui bahwa pelanggaran HAM berat memang terjadi, di berbagai peristiwa. Pemerintah akan berusaha untuk memulihkan hak-hak korban dan keluarganya,” kata Jokowi pada 11 Januari 2023.
Tentu saja apa yang disampaikan oleh Jokowi itu mendapatkan apresiasi dari berbagai pihak. Meski begitu, mereka mendesak pemerintah supaya tak menjadikanpengakuan itu sebagai pembenaran atas impunitas bagi pelaku pelanggaran HAM berat yang terlibat, dalam hal ini Tragedi Semanggi II.
Tapi sayang, hingga berakhirnya masa jabatan Jokowi--yang kemudian digantikan oleh Prabowo yang banyak dikaitkan dengan kasus pelanggaran HAM--kasus ini masih terkatung-katung.
"Ini tandanya impunitas masih dilanggengkan dan menjadi bukti mandeknya perlindungan HAM dan penegakan keadilan di bawah pemerintahan Jokowi. Penuntasan kasus-kasus pelanggaran HAM yang terbengkalai di era pemerintahan saat ini tentu akan menjadi pekerjaan rumah bagi pemerintahan berikut,” kata Direktur Eksekutif Amnesty International, Usman Hamid, kepada Kompas.com pada Selasa (24/9/2024).
Lalu bagaimana dengan pemerintahan Prabowo ini?
Belum apa-apa,Menteri Koordinator Bidang Hukum, Hak Asasi Manusia, Imigrasi, dan Pemasyarakatan, Yusril Ihza Mahendra, mengeluarkan pernyataan yang membuat geregetan. Dia bilang bahwa peristiwa kekerasan yang terjadi di sekitar 1998 bukan pelanggaran HAM berat.
Lalu Wiranto, Panglima ABRI yang juga Menteri Pertahanan ketika Tragedi Semanggi terjadi, yang dalam berbagai laporan dianggap bertanggung jawab atas jatuhnya korban jiwa, juga tak tersentuh sama sekali. Pada Pilpres 2024 lalu, dia bahwa didapuk sebagai Dewan Pengarah Tim Kampanye Nasionalnya.
Dan sekarang, Wiranto sudah resmi dilantik sebagaiPenasihat Khusus Presiden Bidang Politik dan Keamanan oleh Presiden Prabowo Subianto pada Selasa, 22 Oktober 2024 lalu. Lengkap sudah.
"Kita tidak bisa hanya menanti komitmen pemerintah yang baru. Kita harus mendesak kepada pemerintahan yang baru dapat membuat perubahan besar," ujar Usman Hamid, dilansir Kompas.com.
Sementara Ibu Sumarsih, aktivis HAM yang merupakan ibunda korban Tragedi Semanggi I Bernadinus Realino Norma Irawan alias Wawan, dalam pernyataannya kepada BBC Indonesia, menegaskan bahwa penyelidikan Komnas HAM sudah rampung pada 2002 dan seharusnya negara tidak mengalami kesulitan berarti untuk melakukan penegakan hukum.
Tapi yang yang terjadi hingga sekarang, harapan itu hanya tinggal harapan. Masih sangat jauh panggang dari api.