Mengapa Bangsa Indonesia Tidak Membantu Belanda Saat Jepang Menyerang?

Afif Khoirul M

Penulis

Tentara Jepang saat mendarat di Pulau Kalimantan. Artikel ini akan mengupas alasan mengapa Jepang tampak begitu mudah memasuki kepulauan Indonesia secara merata.

Intisari hadir di WhatsApp Channel, follow dan dapatkan berita terbaru kami di sini

---

Intisari-online.com - Angin musim berdesir di antara daun-daun kelapa, membawa bisikan kisah pilu dari masa silam.

Tanah Jawa, permata zamrud di khatulistiwa, pernah menjadi saksi bisu derita panjang di bawah cengkeraman kolonialisme.

Belanda, sang penjajah yang datang dengan janji manis perdagangan, menjelma menjadi raksasa yang mencengkeram bumi pertiwi selama ratusan tahun.

Rakyat Indonesia, bagai burung dalam sangkar emas, terkurung dalam kungkungan penindasan.

Jerit tangis para petani yang dirampas tanahnya, ratap pilu para buruh yang diperas tenaganya, dan isak sendu para ibu yang kehilangan anak-anaknya menjadi simfoni duka yang menggema di seluruh pelosok negeri.

Namun, di tengah kegelapan yang pekat, bara api perlawanan tetap menyala.

Para pahlawan bangsa, dengan gagah berani, bangkit melawan tirani. Pangeran Diponegoro di Jawa, Imam Bonjol di Sumatera, Cut Nyak Dien di Aceh, dan pahlawan-pahlawan lainnya, dengan semangat membara, mengobarkan perang demi kemerdekaan.

Sayangnya, perjuangan mereka bagai ombak yang menghantam karang.

Kekuatan Belanda yang perkasa, dengan persenjataan modern dan strategi licik, berhasil memadamkan setiap kobaran api perlawanan. Indonesia tetap terbelenggu, merintih dalam penderitaan.

Hingga pada suatu hari, di ufuk timur, muncul secercah harapan baru. Jepang, negeri matahari terbit, datang dengan janji pembebasan dari belenggu penjajahan.

Kedatangan mereka disambut dengan antusiasme oleh sebagian rakyat Indonesia yang haus akan kemerdekaan.

Namun, di balik janji manis itu, tersimpan ambisi tersembunyi. Jepang, yang sedang terlibat dalam Perang Dunia II, menginginkan sumber daya alam Indonesia untuk mendukung mesin perangnya.

Mereka datang bukan sebagai pembebas, melainkan penjajah baru yang haus akan kekuasaan.

Lalu, mengapa bangsa Indonesia tidak membantu Belanda saat Jepang menyerang?

Jawabannya terukir dalam luka sejarah yang mendalam. Rasa sakit akibat penjajahan Belanda telah mengakar kuat di hati sanubari rakyat Indonesia.

Janji-janji manis Belanda tentang kemajuan dan kesejahteraan hanyalah fatamorgana di tengah gurun pasir penderitaan.

Luka Sejarah yang Menganga

Berbagai kebijakan Belanda telah menciptakan jurang pemisah yang lebar antara rakyat Indonesia dan penjajah.

Sistem tanam paksa (cultuurstelsel), yang memaksa rakyat menanam tanaman ekspor di tanah mereka sendiri, telah menyengsarakan jutaan jiwa.

Rakyat dipaksa bekerja keras tanpa upah yang layak, sementara hasil bumi mereka dirampas untuk mengisi pundi-pundi Belanda.

Sistem kerja rodi (kerja paksa) juga menjadi momok menakutkan bagi rakyat Indonesia.

Mereka dipaksa membangun infrastruktur untuk kepentingan Belanda, seperti jalan raya, jembatan, dan benteng, tanpa mendapatkan imbalan yang setimpal.

Banyak rakyat yang meninggal dunia karena kelelahan, kelaparan, dan penyakit akibat kerja rodi yang tidak manusiawi.

Selain itu, Belanda juga menerapkan politik diskriminasi rasial yang merendahkan martabat bangsa Indonesia.

Orang Belanda menempati posisi tertinggi dalam struktur sosial, sementara rakyat Indonesia dianggap sebagai warga kelas dua.

Diskriminasi ini terjadi di berbagai bidang, mulai dari pendidikan, pekerjaan, hingga kehidupan sehari-hari.

Pupusnya Harapan akan Kemerdekaan

Seiring berjalannya waktu, kesadaran nasional mulai tumbuh di kalangan rakyat Indonesia.

Mereka menyadari bahwa kemerdekaan adalah hak segala bangsa dan tidak seharusnya hidup di bawah penjajahan.

Berbagai organisasi pergerakan nasional bermunculan, menuntut kemerdekaan dan persamaan hak bagi bangsa Indonesia.

Namun, Belanda dengan keras kepala menolak setiap tuntutan kemerdekaan.

Mereka menganggap Indonesia belum siap untuk merdeka dan masih membutuhkan bimbingan dari Belanda.

Sikap keras kepala Belanda ini semakin menjauhkan hati rakyat Indonesia dan memadamkan harapan akan kemerdekaan.

Salah satu contoh penolakan Belanda terhadap aspirasi kemerdekaan Indonesia adalah penolakan terhadap petisi "Sutarjo Petitie" pada tahun 1936.

Petisi yang diajukan oleh anggota Volksraad (Dewan Rakyat) ini menuntut agar Indonesia diberikan status dominion dalam waktu 10 tahun.

Namun, petisi ini ditolak mentah-mentah oleh pemerintah Belanda.

Penolakan Belanda terhadap petisi Sutarjo dan berbagai tuntutan kemerdekaan lainnya semakin memperkuat keyakinan rakyat Indonesia bahwa Belanda tidak akan pernah memberikan kemerdekaan secara sukarela.

Hal ini semakin menumbuhkan rasa benci dan antipati terhadap Belanda.

Janji Manis Jepang dan Harapan Semu

Di tengah keputusasaan dan kekecewaan terhadap Belanda, kedatangan Jepang disambut dengan harapan baru.

Jepang menjanjikan kemerdekaan dan kemakmuran bagi bangsa Indonesia.

Propaganda Jepang yang gencar dan masif berhasil mempengaruhi sebagian rakyat Indonesia yang haus akan perubahan.

Jepang juga memanfaatkan sentimen anti-Belanda yang kuat di kalangan rakyat Indonesia untuk mendapatkan dukungan.

Mereka menggambarkan diri sebagai "saudara tua" yang datang untuk membebaskan Indonesia dari cengkeraman penjajah Barat.

Namun, janji-janji manis Jepang hanyalah tipu muslihat belaka.

Di balik topeng "pembebas", Jepang menyembunyikan ambisi untuk menguasai sumber daya alam Indonesia dan menjadikan Indonesia sebagai basis militer dalam Perang Dunia II.

Penjajahan Jepang: Luka Baru di Tanah Air

Kenyataan pahit segera terungkap. Penjajahan Jepang ternyata tidak lebih baik dari penjajahan Belanda. Rakyat Indonesia kembali dipaksa bekerja keras untuk kepentingan perang Jepang.

Romusha, sistem kerja paksa ala Jepang, jauh lebih kejam dan brutal dibandingkan kerja rodi pada masa penjajahan Belanda.

Jutaan rakyat Indonesia menjadi korban Romusha, meninggal dunia karena kelaparan, penyakit, dan penyiksaan.

Jepang juga menerapkan sistem ekonomi perang yang menyengsarakan rakyat.

Harga-harga melambung tinggi, sementara bahan makanan langka. Kelaparan dan kemiskinan merajalela di seluruh negeri.

Selain itu, Jepang juga melakukan berbagai tindakan represif untuk membungkam setiap bentuk perlawanan.

Kebebasan berpendapat dikekang, organisasi-organisasi pergerakan nasional dibubarkan, dan para pemimpin nasional ditangkap dan dipenjara.

Pengalaman pahit di bawah penjajahan Belanda telah membentuk sikap bangsa Indonesia terhadap Jepang.

Luka sejarah yang mendalam, kekecewaan terhadap janji-janji palsu, dan harapan yang pupus telah menanamkan benih ketidakpercayaan terhadap Belanda.

Ketika Jepang datang dengan janji kemerdekaan, sebagian rakyat Indonesia menyambutnya dengan harapan, meskipun diiringi dengan kewaspadaan.

Mereka berharap Jepang akan menepati janjinya dan membawa Indonesia menuju kemerdekaan yang sesungguhnya.

Namun, harapan itu kembali pupus. Penjajahan Jepang ternyata tidak lebih baik dari penjajahan Belanda. Rakyat Indonesia kembali menjadi korban penindasan dan eksploitasi.

Dengan demikian, keputusan bangsa Indonesia untuk tidak membantu Belanda saat Jepang menyerang bukanlah sebuah pilihan yang mudah.

Itu adalah keputusan yang lahir dari akumulasi penderitaan dan kekecewaan selama ratusan tahun di bawah penjajahan.

Sejarah telah mencatat bahwa bangsa Indonesia tidak pernah menyerah dalam memperjuangkan kemerdekaan.

Meskipun harus melewati jalan berliku dan penuh pengorbanan, api semangat kemerdekaan tetap berkobar di dada setiap insan Indonesia.

Dan pada akhirnya, Indonesia berhasil meraih kemerdekaannya, menegakkan kedaulatannya, dan menjadi bangsa yang merdeka dan bermartabat.

Sumber:

Ricklefs, M.C. (2008). Sejarah Indonesia Modern 1200–2008. Jakarta: Serambi Ilmu Semesta.

Reid, Anthony. (1974). The Indonesian National Revolution 1945-1950. Melbourne: Longman Australia Pty Ltd.

Kahin, George McTurnan. (1952). Nationalism and Revolution in Indonesia. Ithaca, New York: Cornell University Press.

Anderson, Benedict. (1972). Java in a Time of Revolution: Occupation and Resistance, 1944-1946. Ithaca, New York: Cornell University Press.

Cribb, Robert. (1991). Gangsters and Revolutionaries: The Jakarta People's Militia and the Indonesian Revolution 1945-1949. Sydney: Allen & Unwin.

*

Intisari hadir di WhatsApp Channel, follow dan dapatkan berita terbaru kami di sini

---

Artikel Terkait