Wayang Bukan Sekadar Boneka Tak Bernyawa, Banyak Cerita di Baliknya

Moh. Habib Asyhad

Penulis

Wayang bukan sekadar boneka biasa. Di dalamnya banyak falsafah kehidupan yang bisa kita petik (Wikipedia Commons)

Wayang bukan sekadar boneka biasa. Di dalamnya banyak falsafah kehidupan yang bisa kita petik. Artikel ini digubah dari "Wayang" yang tayang di Majalah HAI 1981.

---

Intisari hadir di WhatsApp Channel, follow dan dapatkan berita terbaru kami di sini

---

Intisari-Online.com -Pernyataan menarik pernah dilontarkan oleh Dr Frederick Eugene deBoer, dulu ketua jurusan bidang drama di Wesleyan University, Middletown, Connecticut, Amerika Serikat. Dia bilang, "Wayang kulit Purwa di Jawa merupakan puncak seni dari segala macam bentuk teater boneka di dunia..."

Pernyataan itu dirangkum dalam sebuah artikel di Majalah HAI berjudul "Wayang, bukan sekedar boneka tak bernyawa" yang tayang pada 1981 lalu. Kesimpulan itu dia dapat setelah sekian lama mendalami seni wayang di Indonesia serta membandingkannya dengan seni-seni boneka di negeri-negeri lainnya.

Di artikel yang sama, HAI juga menceritakan pengalamannya ketika berkunjung ke Museum Wayang yang terletak di Jl. Pintu Besar Utara No.24 Jakarta Barat. Saat itu tim HAI berhasil bertemu dengan Bambang Gunarjo BA, Direktur Museum Wayang ketika itu.

Wayang, menurut Gunarjo, arti literernya adalah bayang-bayang. Lambat laut dalam perkembangannya, wayang menjadi pertunjukan boneka seperti wayang golek, wayang kulit, dan lain-lain, serta pertunjukan oleh manusia seperti wayang wong.

"Hanya pada pertunjukan wayang kulit-lah, dipertunjukkan bayang-bayang yang sesungguhnya. Sedang untuk bentuk boneka tiga dimensi atau yang dilakukan manusia, walau masih bernama wayang, telah hilang arti makna literernya," ujarnya.

Gunarjo juga menjelaskan bahwa asal muasal wayang yang pasti, serta bagaimana bentuk pada waktu dulu-dulunya memang masih kabur.

Kapan wayang mulai muncul?

Menurut perkiraan,wayang mulai dikenal sekitar tahun 450, dengan adanya Batu Bertulis di zaman Tarumanegara. Ketika itu mulai ada tulisan. Zaman itu dianggap sebagai lenyapnya Zaman Nirleka, atau zaman yang gelap.

Pemujaan roh nenek moyang masih merupakan satu tradisi dan kepercayaan. Roh nenek moyang diwujudkan dalam bentuk, baik bentuk batu besar, pohon beringin, atau patung. Mungkin dari bentuk inilah, yang kemudian dalam perkembangannya menjadi bentuk wayang.

Walaupun nenek moyang kita memuja roh, tapi sudah ada kecenderungan untuk memuja Yang Maha Esa, yang mencipta dunia ini, atau Kang Murbeng Dumadi.

Kemudian masuklah Ramayana,kakawin yang asalnya dari negara India, yang tak lama kemudian disusu oleh Mahabharata. Dalam versi asli, kedua epik itu saling berhubungan. Tapi di dalam wayang (tradisi Indonesia), keduanya kemudian dianggap berkesinambungan.

Beberapa tokoh dalam Ramayana, kemudian menitis, atau hidup kembali dalam wadag lain dalam Mahabharata. Misalnya Lesmana dalam kisah Ramayana, muncul sebagai Arjuna dalam kisah Mahabarata. Atau Rama yang kemudian menitis menjadi Kresna.

Pada zaman Airlangga, yang memerintah tahun 1019-1040, muncul Wayang Purwa, dengan diciptanya kakawin Arjuna Wiwaha oleh Empu Kanwa. Dengan demikian muncul cerita-cerita yang tak bersumber dari Ramayana atau Mahabarata. Misalnya cerita Dewa Ruci, yang penciptanya tak dikenal (anonim).

Atau juga Baratayudha yang muncul pada masa pemerintahan Jayabaya. Kisah Baratayudha sebenarnya tidak ada dalam Mahabharata versi India (di India dikenal sebagai Perang Kurukshetra).

Tiga sifat dasar

Dalam masa perjalanannya yang panjang, wayang pun berkembang. Banyak variasi, serta pengaruh-pengaruh lain ikut mewarnai wayang. Kemudian muncul antara lain Wayang Menak, Wayang Golek, Wayang Beber, Wayang Wahyu, Wayang Suluh, dan seterusnya.

Di Indonesia, dapat kita bedakan tiga sifat dasar wayang yang berbeda:

1. Wayang Purwa, menyajikan lakon-lakon dari epik-epik Hindu: Ramayana dan Mahabarata, yang dapat dibedakan dari Wayang Golek Sunda dan Wayang Wong (wayang orang).

2. Meski mengambil lakon dari epik-epik Hindu yang sama, yaitu Ramayana dan Mahabarata, Wayang Golek Sunda memakai medium dari boneka dari kayu tiga dimensi. Sedang Wayang Wong memakai pemain-pemain manusia.

3. Yang terakhir, meski memakai bentuk boneka yang sama, tapi tidak menghadirkan lakon dari kedua epik Hindu seperti pada lakon-lakon Wayang Purwa. Termasuk dalam jenis ini adalah Wayang Gedog, Wayang Menak, Wayang Wahyu dan Wayang Suluh.

Sebagai informasi, lakon-lakondalam Wayang Gedog mengambil kisah Legenda Panji dari Jawa Timur. Sementara Wayang Menak mengambil lakon Legenda Islam Wong Agung Menak. Lalu Wayang Wahyu menghadirkan lakon dari Kitab Injil (bagian dari Missi Gereja Katolik di Jawa).

Lalu ada juga Wayang Suluh, di mana kisahnya tentang perjuangan Kemerdekaan Bangsa Indonesia. Diperkenalkan pada tahun 1947, dipakai juru-juru penerang sebagai alat memberi semangat pada rakyat mempertahankan negara yang baru saja memperoleh kemerdekaan.

Daerah di mana terdapat wayang di Indonesia, cukup luas. Meliputi 10 daerah, masing-masing dengan versi dan gaya tersendiri. Daerah-daerah tersebut adalah: Palembang, Betawi (Jakarta), Sunda, Cirebon, Jawa Tengah, Jawa Timur, Bali, Lombok, Kalimantan Selatan dan Kalimantan Timur.

Wayang pun dikenal di beberapa negara lain, seperti di Cina, Jepang, Kamboja, Thailand, India, juga di Turki. Konon di Turki, wayang yang disana disebut Karagoz berasal dari pengaruh perjalanan lada (pala) dari Indonesia. (Pada zaman Kompeni).

Sekilas tentang Museum Wayang

Museum Wayang yang letaknya di Jalan Pintu Besar Utara No. 27, Jakarta Kota, dibuka untuk umum 13 Agustus 1975 oleh Gubernur Ali Sadikin. Mula-mula sebuah gereja tua bernama De Oude Kerk' (Gereja Tua), yang juga dikenal sebagai 'Kruiskerk' (Gereja Salib).

Gereja itu dipakai sebagai tempat ibadah dari 1640 sampai 1736. Setelah diperbaiki, namanya diubah menjadi 'de nieuwe Hollandsche Kerk' (Gereja Belanda Baru) dan tetap mempunyai fungsi sama sampai 1808, sebelum kemudian diubah menjadi sebuah gudang milik satu kongsi dagang tertentu dalam masa pemerintahan Gubernur Jenderal Daendels.

Sejak 22 Desember 1939, fungsinya berubah menjadi 'Museum Batavia Tua', yang kemudian berubah menjadi 'Museum Sejarah Jakarta'. Dalam gedung itulah, terdapat makam Jan Pieterszoon Coen, pendiri Batavia.

Ide dibangunnya Museum Wayang dicetuskan oleh Gubernur Ali Sadikin dalam pidato penutupan Pekan Wayang Indonesia ke-2 pada 30 Maret 1974. Ide ini disambut baik para peserta, hingga akhirnya terlaksana 17 bulan kemudian.

Artikel Terkait