Penulis
Intisari hadir di WhatsApp Channel, follow dan dapatkan berita terbaru kami di sini
---
Intisari-online.com - Angin berbisik pilu di tepian Sungai Martapura, mengusik ketenangan Kota Banjarmasin di penghujung abad ke-19. Bayang-bayang kolonialisme Belanda telah merayap masuk, mencengkeram erat setiap sendi kehidupan masyarakat Banjar.
Di tengah gejolak perlawanan yang berkobar, seorang bangsawan gagah berani berdiri teguh menentang penindasan. Dialah Pangeran Prabu Anom, putera mahkota Kesultanan Banjar yang terusir dari tanah kelahirannya.
Ia mewarisi semangat juang dari leluhurnya, Pangeran Antasari, pahlawan nasional yang gugur dalam Perang Banjar. Darah kepahlawanan mengalir deras dalam dirinya, mendorongnya untuk membela rakyatnya dari cengkeraman penjajah.
Namun, takdir berkata lain. Belanda, dengan tipu daya dan kekuatan militernya, berhasil menumpas perlawanan rakyat Banjar.
Pangeran Antasari gugur di medan laga, meninggalkan duka mendalam bagi rakyat Banjar. Pangeran Hidayatullah, Sultan Banjar saat itu, dipaksa menandatangani perjanjian yang semakin memperkuat kekuasaan Belanda di tanah Banjar.
Di tengah situasi genting ini, Pangeran Prabu Anom tampil sebagai pemimpin perlawanan.
Ia menolak tunduk pada Belanda dan mengobarkan semangat perlawanan di kalangan rakyat. Dengan gagah berani, ia memimpin pasukan Banjar melawan tentara Belanda yang bersenjata lengkap. Pertempuran demi pertempuran terjadi, mengguncang bumi Banjarmasin.
Sayangnya, kekuatan Belanda terlalu besar untuk dilawan. Pangeran Prabu Anom dan pasukannya terdesak.
Belanda, yang khawatir akan pengaruh Pangeran Prabu Anom, memutuskan untuk menyingkirkannya dari Banjarmasin. Pada tahun 1885, Pangeran Prabu Anom ditangkap dan diasingkan ke Cianjur, Jawa Barat.
Pengasingan yang Memilukan
Pengasingan Pangeran Prabu Anom menjadi duka mendalam bagi rakyat Banjar.
Mereka kehilangan pemimpin yang mereka cintai dan hormati. Pangeran Prabu Anom, yang seharusnya menjadi Sultan Banjar, terpaksa hidup jauh dari tanah kelahirannya, terpisah dari keluarga dan rakyatnya.
Di Cianjur, Pangeran Prabu Anom menjalani kehidupan yang penuh keprihatinan. Ia ditempatkan di sebuah rumah sederhana, diawasi ketat oleh Belanda.
Meskipun hidup dalam pengasingan, semangat juangnya tak pernah padam. Ia terus berjuang, meskipun dari kejauhan, untuk membebaskan rakyatnya dari belenggu penjajahan.
Pangeran Prabu Anom memanfaatkan masa pengasingannya untuk mendalami agama dan ilmu pengetahuan.
Ia menjadi seorang ulama yang disegani, menyebarkan ajaran Islam di Cianjur dan sekitarnya. Ia juga aktif dalam kegiatan sosial kemasyarakatan, membantu masyarakat yang membutuhkan.
Meskipun hidup dalam keterbatasan, Pangeran Prabu Anom tetap tegar dan bermartabat. Ia tidak pernah menyerah pada keadaan, selalu menjaga semangat juang dan harapan untuk kembali ke tanah airnya.
Wafat di Tanah Pengasingan
Setelah bertahun-tahun hidup dalam pengasingan, Pangeran Prabu Anom wafat di Cianjur pada tahun 1905. Ia dimakamkan di sana, jauh dari tanah kelahirannya.
Wafatnya Pangeran Prabu Anom menjadi kehilangan besar bagi rakyat Banjar. Mereka kehilangan seorang pemimpin yang bijaksana, pemberani, dan berjiwa patriotik.
Meskipun telah tiada, semangat juang Pangeran Prabu Anom tetap hidup di hati rakyat Banjar. Kisah perjuangannya menjadi inspirasi bagi generasi penerus untuk terus berjuang demi kemerdekaan dan keadilan.
Pangeran Prabu Anom, sang pangeran yang terusir, tetap dikenang sebagai pahlawan Banjar yang gagah berani.
Sumber:
Hikayat Banjar: Sebuah karya sastra klasik yang menceritakan sejarah Kesultanan Banjar.
Sejarah Banjarmasin: Buku sejarah yang ditulis oleh sejarawan lokal.
Arsip Nasional Republik Indonesia: Menyimpan dokumen-dokumen penting tentang sejarah Indonesia, termasuk dokumen tentang Pangeran Prabu Anom.
Wawancara dengan sejarawan dan budayawan Banjar: Memberikan informasi tambahan tentang Pangeran Prabu Anom dan sejarah Banjarmasin.
*
Intisari hadir di WhatsApp Channel, follow dan dapatkan berita terbaru kami di sini
---