[ARSIP Intisari]
Letnan Satu Infanteri ES. De Klerck menuturkan drama penangkapan Pangeran Diponegoro menurut versi Belanda. Tuturannya didasarkan pada laporan dinas (militer) dalam Arsip Markas Besar Tentara Hindia Belanda di Batavia. Di bawah ini cuplikan dari bukunya De Java Oorlog van 1825 -1830, 6 jilid, terbitan Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen, Batavia, 1910.
Ditulis oleh Slamet Suseno, tayang di Majalah Intisari pada Januari 1997
---
Intisari hadir di WhatsApp Channel, follow dan dapatkan berita terbaru kami di sini
---
Intisari-Online.com -Tentara Hindia Belanda menyebutnya Java Oorlog (Perang Jawa), tetapi kita menyebutnya Perang Diponegoro. Perang itu dipimpin oleh Pangeran Diponegoro, seorang putra Sultan Hamengku Buwono III, didukung oleh 15 orang pangeran Yogyakarta, dan 41 orang adipati Jawa Tengah dan Jawa Timur.
Penyebab perang ialah persekongkolan Residen Belanda H.G. Nahuys dan Patih Danurejo IV yang merugikan para pangeran Yogyakarta. Mereka mengusahakan dengan peraturan pemerintah, agar Residen Belanda tidak usah menyajikan sirih lagi kepada Sultan dalam upacara kenegaraan, karena residen itu sederajat dengan Sultan Yogya.
Residen itu juga memaksa agar dibolehkan duduk sejajar dengan Sultan, padahal pangkatnya bukan duta besar atau wakil raja Belanda, melainkan kepala daerah biasa. Seharusnya yang dapat duduk sejajar itu gubernur jenderal sebagai wakil raja Belanda. Pelanggaran adat keraton ini membuat gusar para pangeran.
Celakanya, pada tahun 1823, Gubernur Jenderal Van der Capellen melarang para pengusaha Belanda menyewa tanah hak milik para bangsawan Solo dan Yogya. Tanah yang boleh disewa hanya tanah negara.
Maksudnya agar, tidak ada penyewaan yang sewenang-wenang lagi dari para pengusaha swasta Eropa terhadap pemilik tanah pribumi. Tetapi peraturan yang bermaksud baik itu justru merugikan para bangsawan pemilik tanah. Mereka kehilangan sumber penghasilan.
Lebih memuakkan lagi, pemilik tanah itu malah harus membayar ganti rugi kepada penyewa yang dibatalkan perjanjiannya.
Tanah Sultan Yogya yang disewa Residen Nahuys seharga 25 real untuk membangun perkebunan kopi di Bedaya juga dibatalkan, dan Residen minta ganti rugi 60.000 real. Kesewenang-wenangan penguasa Belanda ini membuat gusar Pangeran Diponegoro.
Di luar istana, rakyat biasa juga makin sengsara, karena kerja wajib dan pajak semakin memberatkan.
Apalagi setelah penarikan uang tol di pintu gerbang dikuasakan kepada pemborong pajak. Pungli makin, merajalela, sampai seorang ibu yang menggendong anaknya pun harus membayar pajak angkutan. Anaknya dianggap barang cangkingan.
Perang melawan kesewenang-wenangan penguasa itu meletus tahun 1825, menyusul penancapan patok-patok pembangunan jalan yang menembus tanah Pangeran Diponegoro, dan pembongkaran makam keramat.
Pangeran yang marah itu diajak berunding oleh Residen A.H. Smissaert (pengganti Nahuys), tetapi dia tidak mau, dan hanya mengirim wakilnya, Pangeran Mangkubumi. Usaha menangkap kedua pangeran itu digagalkan oleh rakyat yang bertindak cepat di sekitar tempat perundingan.
Kedua pangeran itu menarik diri ke Desa Selarong, tetapi rumah pangeran di Tegalrejo dibakar tentara Belanda. Waktu itu, orang yang tidak mau digusur selalu dibakar rumahnya. Dari Selarong inilah P. Diponegoro kemudian memimpin perlawanan untuk memaksa Belanda jangan bertindak sewenang-wenang.
Tertunda bulan Puasa
Pada awalnya Belanda kurang siap, dan dengan mudah direbut daerahnya oleh pasukan Diponegoro. Sampai akhir tahun 1826, pasukan Belanda selalu kewalahan. Sebaliknya, pasukan Diponegoro menguasai sebagian besar daerah pedalaman Jawa Tengah.
Keadaan ini mendorong panglima tentara Hindia Belanda Jenderal Hendrik Merkus Baron de Kock menerapkan benteng stelsel (sistem perbentengan), yang mempersempit ruang gerak pasukan Diponegoro.
Dengan membangun benteng setiap kali selesai menguasai suatu daerah, jenderal itu membersihkan daerah sekitarnya dari pasukan Diponegoro. Benteng berupa bangunan melingkar terbuat dari tanah yang dikelilingi pagar kayu gelondongan runcing itu saling dihubungkan dengan jalan. Tentara yang bermarkas di benteng itu berpatroli lewat jalan-jalan ini.
Berangsur-angsur tentara Belanda kemudian lebih unggul. Satu demi satu panglima pasukan Diponegoro ditangkap, atau menyerah. Di antaranya yang terkenal ialah Kyai Mojo yang tertangkap bulan Februari 1829, sampai menghasilkan gencatan senjata. Tetapi bulan berikutnya, pertempuran berkobar lagi.
Pangeran Mangkubumi (wakil, tapi juga paman Diponegoro sendiri) menyerah pada bulan September 1829, dan Alibasah (panglima) Sentot Prawirodirjo juga menyusul pada bulan Oktober berikutnya.
Ketika Mayor Michiels dari kolonel ke-11 (bawahan Kolonel Cleerens di distrik militer Bagelen - Banyumas) berkemah di Desa Merden, dia menerima berita intelijen bahwa Pangeran Diponegoro berada di Selomanik, dan ingin bergerak ke Lamuk lewat Sumogede.
Pada tanggal 5 November 1829, Michiels berkemah di Kaliwiro, dan dari sana mengirim tiga detasemen untuk menggiring Pangeran Diponegoro ke arah Karangkobar. Dia sendiri akan mencegat pangeran itu di Sumogede keesokan harinya, bersama 25 orang serdadu pimpinan Letnan Bernhardt, dibantu oleh 25 serdadu pimpinan Letnan Kobold.
Pertempuran memang meletus di Desa Lamuk tetapi pasukan Diponegoro berhasil lolos. Dari seorang pengikut yang tertangkap, didapat informasi bahwa pasukan Diponegoro tinggal 140 orang yang bersenjata, dipimpin beberapa orang tumenggung. Tidak ada seorang basah pun yang menyertainya. (Basah ialah panglima yang lebih tinggi daripada tumenggung).
Ketika esok harinya Michiels berkemah di Kalidadap, anak buahnya menangkap seorang kurir pembawa surat dari Pangeran Diponegoro kepada Raden Basah Mertonegoro di Loning. Surat dirampas, dan dia bercerita bahwa dia tersesat setelah mampir ke rumah anaknya di Kalidadap.
Surat itu berisi perintah kepada Mertonegoro agar datang bersama pasukannya ke Bulubandung, karena Pangeran Diponegoro ditinggalkan oleh para adipati yang sebelumnya menyertainya.
Mayor Michiels memperkirakan, karena pangeran tidak menerima jawaban atas suratnya, niscaya ingin bergerak sendiri menuju ke Loning. Dia akan mencegatnya di jalan yang menuju ke Loning.
Ketika pasukannya kemudian mendaki lereng Gunung Bulubandung ke arah Iger, tiba-tiba mereka mendengar hiruk-pikuk orang dan kuda berasal dari tempat yang lebih tinggi. Ketika pasukannya bersembunyi mengambil stelling, ternyata yang datang sejumlah penunggang kuda yang dipimpin oleh seorang pejalan kaki.
Pemimpin itu ditanyai oleh Letnan Kobold, dan menjawab dengan bangga bahwa mereka pasukan yang dipimpin oleh Kanjeng Sultan Diponegoro sendiri.
Dia diringkus, dan pasukan Michiels yang paling depan menembaki para penunggang kuda di belakangnya. Beberapa orang memang tewas, atau jatuh ke jurang di sebelah kanan mereka, tetapi penunggang kuda yang memakai jubah ulama di belakangnya terlihat turun dari kudanya, dan menuju ke jurang, menyusup-nyusup di antara batang gelagah yang tinggi.
Dengan sendirinya pasukan Michiels mengejar. Tetapi semua usaha sia-sia. Mereka jatuh kecapekan tanpa hasil.
Tentang ini, Mayor Michiels menulis laporan kepada Kolonel Cleerens lebih lanjut: "Kuda sebanyak 35 ekor berhasil kami kumpulkan, bersama sebatang tombak berhiaskan batu permata. Menurut seorang tawanan, tombak itu tombak Kyai Rondong milik Kanjeng Sultan."
Kalau begitu, orang yang memakai jubah ulama itu Pangeran Diponegoro sendiri.
Mengenai pertempuran itu, dalam Babad Diponegoro (yang narasumbernya memoar Pangeran Diponegoro sendiri ketika diasingkan di Manado dan Makassar), dituturkan:
"Pangeran Diponegoro yang beberapa hari sebelumnya menderita sakit demam di Desa Lobangandong (Bulubandung), setelah sembuh ingin pindah ke Panjer untuk bertemu dengan Raden Basah Mertonegoro, tetapi di tengah jalan ditembaki oleh gerombolan orang kafir.
Setelah berhasil bertemu dengan Raden Basah Mertonegoro, dia menerima usul untuk menetap di Bulubandung, tetapi beberapa hari kemudian terpaksa pindah lagi ke Hutan Laban yang lebih lebat, di dekat Desa Sembada. Di hutan inilah ia menderita sakit lebih parah lagi."
Kesalahan Cleerens
Sejak bulan Desember 1829, Kolonel Cleerens yang bermarkas di Kedungkebo, sehari-harinya menerima para panglima dari pasukan Diponegoro yang menyerah. Mereka mendengar, kalau menyerah akan dapat bekerja kembali sebagai pegawai pemerintah, seperti Alibasah Sentot Prawirodirjo.
Akhirnya, pada tanggal 9 Februari 1829, Kolonel Cleerens menerima kedatangan Mas Pengulu Pekih Ibrahim dan Haji Badarudin yang diutus Pangeran Diponegoro. Dia mengusulkan agar Kolonel Cleerens mau datang ke Kamal, di barat laut Desa Kemit.
Di sana ia akan dapat bertemu dengan Pangeran Diponegoro untuk membicarakan syarat-syarat penyerahannya. Selain itu, Pangeran juga ingin agar Kolonel mau menyertainya ke Kejawari.
Di sanalah dia akan mengutarakan syarat-syarat perdamaiannya, dan kalau syarat itu diterima, dia mau bertemu dengan Jenderal de Kock di tempat yang lebih ke utara lagi letaknya, mendekati Magelang.
Tetapi dia minta agar di Kejawan disediakan penginapan yang patut baginya dan para raden basah yang menyertainya. Kolonel setuju, asal selama di Kejawan Pangeran tidak akan menambah pasukan perkuatan militer. Pangeran setuju.
Pertemuan mereka di tempat dan waktu yang disepakati berjalan mulus dan penuh persaudaraan. Masing-masing menjaga agar suasana pertemuan benar-benar dapat membuka jalan ke arah perdamaian.
Kesalahan Kolonel Cleerens (yang beberapa minggu kemudian baru disadarinya) adalah, dia menyebut Pangeran Diponegoro sebagai Sultan karena khawatir kalau-kalau perundingan akan gagal bila pangeran itu tersinggung disebut pangeran. Akan tetapi tindakannya malah salah!
Dengan memanggil Sultan kepada Pangeran Diponegoro seperti para pengikutnya, dia memberi harapan besar kepada pangeran itu untuk diakui sebagai penguasa di Kesultanan Yogyakarta. Padahal kenyataannya tidak, karena di Yogyakarta ada raja resmi yang bergelar Sultan.
Kesalahan kedua adalah kolonel itu menjamin Pangeran Diponegoro bahwa bila perundingan damai gagal, dia boleh kembali ke hutan dengan penghormatan yang sama besar dengan penerimaan sebelum berunding.
Padahal dari pihak Pangeran Diponegoro tidak ada janji apa-apa. Syarat perdamaian baru akan diungkapkan nanti kalau bertemu dengan Jenderal de Kock.
Cleerens menjadi "patih"
Pada ada tanggal 21 Februari 1830, Kolonel Cleerens datang bersama Pangeran Diponegoro ke Desa Menoreh (berangkat dari Kejawan), untuk bertemu dengan Jenderal de Kock. Pengikutnya 450 orang, tetapi ditambah dengan para simpatisan dan penggembira, jumlah yang harus dijamu dengan makanan atas biaya Cleerens sebanyak 700 orang.
Di sepanjang jalan, pangeran itu disambut meriah oleh penduduk setempat. Di Menoreh, Pangeran Diponegoro disambut dengan upacara militer oleh Letnan Kolonel B.F. Le Bron de Vexela, dari distrik militer Mataram Tengah, Sekretaris Karesidenan Kedu, dan beberapa perwira militer yang lain.
Esok harinya, Cleerens melaporkan kedatangan Pangeran Diponegoro ke Desa Menoreh itu kepada Jenderal de Kock di Magelang. Kembalinya ke Menoreh dia dititipi uang 10.000 gulden oleh Jenderal de Kock untuk diberikan kepada Pangeran, berikut kiriman salam yang hangat.
Jenderal itu menganggap pemberian itu sebagai kado (semacam angpau) atas kesediaan berdamai, tetapi pangeran menganggapnya sebagai upeti. Dia mengucapkan terima kasih tetapi meminta kepada Kolonel Cleerens agar membagi-bagikan uang itu kepada para raden basah yang setia mengikutinya.
Kolonel itu boleh dikatakan menjadi semacam patih dari Sultan Diponegoro, sedangkan para raden basah menjadi wedana.
Apa saja yang diinginkan oleh Pangeran selalu dikabulkan, termasuk penyediaan makanan tambahan dan penginapan bagi para prajurit yang datang dari Mataram dan Kedu membawa senjata lengkap.
Dulu mereka tinggal sedikit, dan bersembunyi dalam hutan, tetapi sekarang setelah pangerannya berdamai dengan musuh, mereka datang berbondong-bondong untuk menyatakan kesetiaannya kembali. Jumlahnya lebih dari 1.000 orang, dan mereka harus diberi makan oleh Kolonel Cleerens dengan uang operasi militer.
Pada tanggal 25 Februari 1830, Kolonel itu mengingatkan Jenderal de Kock, beberapa hari lagi sudah mulai bulan Puasa. Dalam bulan suci itu Pangeran Diponegoro tidak bersedia berunding. Jenderal de Kock terkejut dan kecewa, tetapi dia mau mengerti dan mau sabar menanti.
Menolak berunding
Kolonel Cleerens yang merasakan juga situasi makin gawat itu kemudian meminta dengan hormat kepada Pangeran Diponegoro, agar menyatakan syarat-syarat perdamaian yang diinginkannya secara tertulis sebelum puasa dimulai.
Jadi dapat dipelajari oleh Jenderal de Kock, walaupun dalam bulan Puasa tidak ada perundingan. Tetapi Pangeran menolak permintaan itu, karena dia ingin bertatap muka dulu dengan Jenderal.
Tatap muka ini ternyata rumit protokolnya. Pangeran tidak mau bertemu untuk berunding, sebelum bertamu dulu secara informal. Sesudah berkunjung sebagai tamu, dia ingin kembali ke Desa Menoreh pada siang harinya. Tidak mungkin berunding, karena sifat kunjungan itu bersilaturahmi. Baru sesudah itulah dapat berunding.
Kolonel Cleerens kemudian membujuk Pangeran agar kalau memang begitu protokol Jawa-nya, sebaiknya dia pindah penginapan saja ke Kota Magelang, agar tidak perlu bolak-balik ke Magelang dan Menoreh, yang membuat Pangeran capek saja tanpa guna.
Ternyata dia setuju. Kemudian Kolonel ("Patih") Cleerens bersama Raden Basah Kertopengalasan dan seorang pengikut yang bernama H. Bisu pergi ke Magelang untuk berembuk dengan Residen Kedu Valck mengenai penginapan Pangeran Diponegoro di Magelang.
Oleh Residen disediakan sebidang tanah di Metesih, sebelah barat laut rumah Residen. Di sana akan dibangun pesanggrahan yang cocok untuk Pangeran Diponegoro beserta keluarganya.
Pada 7 Maret semuanya sudah siap, dan Pangeran Diponegoro bersedia pindah ke Kota Magelang. Sementara itu, bulan Puasa sudah dimulai, dan itu berarti tidak mungkin berunding. Jenderal de Kock tidak dapat berbuat apa-apa.
Sikap Jenderal yang lembek itu dikritik oleh kalangan pembesar sipil dan militer Belanda, tetapi dia mempertanggungjawabkan tindakannya dalam laporannya kepada Gubernur Jenderal Van den Bosch sebagai berikut:
"Kalau saya bertindak gegabah menangkap Diponegoro begitu saja setelah ia masuk ke Kota Magelang, perang memang segera berakhir. Tetapi tindakan itu akan memberi kesan buruk.
Sebab, para pangeran dan adipati lain yang telah menyerah akan merasa tidak mempunyai kepastian hukum. Menyerah secara ksatria ternyata hanya dijebloskan dalam tahanan.
Walaupun saat ini jelas sekali Diponegoro makin lama makin banyak mengumpulkan pasukan, sampai berlipat ganda lebih dari 2 kali kuatnya daripada ketika dia masuk Desa Kamal, namun saya harus tetap menunjukkan sikap percaya pada itikad baiknya untuk berdamai.
Dengan begitu, kalau saya nanti terpaksa bertindak tegas dalam perundingan sesudah bulan Puasa, maka setiap orang akan yakin bahwa tindakan saya bukan karena gegabah."
Penyambutan sebagai raja
Pada 8 Maret 1830, para pembesar sipil dan militer di Magelang diminta berkumpul di rumah Residen Valck, untuk menyambut kedatangan Pangeran Diponegoro. Dia didahului oleh prajuritnya sebanyak 800 orang, yang datang pukul 09.00, dengan dikawal oleh pasukan kehormatan Kapten Gennet.
Pangeran Diponegoro sendiri baru datang pukul 12.00, dikawal oleh Kolonel ("Patih") Cleerens dengan kavaleri berkuda sebanyak 200 orang di bawah komando Mayor Perie.
Jenderal de Kock menyambutnya dengan penuh hormat. Dalam pidato sambutannya dia menjamin, bahwa selama bulan Puasa Pangeran Diponegoro tidak akan diganggu agar dapat menunaikan ibadah puasanya dengan sempurna.
Tetapi sesudah puasa selesai, diharapkan perundingan damai benar-benar diselesaikan dengan baik. "Sudah 5 tahun lamanya kita bermusuhan, tetapi mulai saat ini diharapkan agar persahabatan antara kita dapat berjalan lebih lama dari itu."
Selama tinggal di pesanggrahan Metesih, Pangeran Diponegoro hidup sebagai tamu negara benar-benar. Jenderal de Kock sebagai tuan rumah berkunjung padanya di pesanggrahan, dan dia membalas kunjungan itu keesokan harinya.
Uniknya, kepada Residen Valck, Pangeran Diponegoro hanya berbahasa Jawa ngoko. Walaupun begitu, Residen Valck dipesan benar oleh Jenderal de Kock agar dia tetap menghormati pangeran itu sebagai pangeran.
Pada saat itu, Ratu Ageng (ibu Pangeran Diponegoro) datang ke Metesih. Tetapi kemudian banyak sekali bawahan Pangeran Diponegoro dari Pajang, Kedu, dan Bagelen datang ke Magelang juga, diikuti pegawai pembawa atribut raja, gandek, priyotoko, mertolulut, pandesingo, kemosan, singonegoro, gamel, punokawan, dan keparak.
Itu masih ditambah lagi dengan prajurit dari daerah Pangrembe. Mereka begitu banyak sampai Kota Magelang penuh sesak. Jenderal de Kock ngeri melihat itu semua, tetapi ia tidak dapat mengubah keputusannya.
Setiap hari ada asrama yang harus dibangun untuk menampung para pendatang baru. Di mana-mana ada gerombolan orang yang berlalu-lalang, dan semua harus diberi makan. Tiap hari harus disembelih 5 ekor kerbau untuk makan para prajurit.
Secara bergilir, Residen Valck dan Mayor De Stuers sowan ke Pangeran Diponegoro, untuk menanyakan apakah pelayanan yang diselenggarakan sudah memuaskan, dan apa lagi yang menjadi keinginan Pangeran.
Kadang Jenderal de Kock sendiri yang datang ke pesanggrahan Metesih, yang kemudian dibalas kunjungannya oleh Pangeran Diponegoro ke tempat kediaman Jenderal di rumah Residen Valck di Magelang. Tidak ada kekakuan sikap lagi di antara keduanya. Kadang malah bergurau saling tukar lelucon.
Ketika Ratu Ageng meminta putranya agar mendatangkan juga cucunya yang tercinta ke Metesih, Pangeran Diponegoro agak bimbang. "Apa orang Belanda di Bagelen dan Yogya bisa dipercaya membawa anak-anak saya kemari?"
Dua orang cucunya memang ikut kedua basah di Bagelen, yang sampai saat itu masih terus berjuang tidak mau meletakkan senjata, sedangkan satu orang cucu berada di Keraton Yogya, di daerah Belanda.
"Kalau terjadi apa-apa, ya itu memang sudah kehendakn Allah!" jawab Ratu Ageng.
Ketika keinginan ibunya itu diteruskan ke Jenderal de Kock, jenderal itu senang sekali bahwa pangeran menaruh kepercayaan begitu besar padanya.
Dia memberi surat kepada Kaji Ngisa (utusan Pangeran Diponegoro) untuk disampaikan kepada Residen Yogya, berisi permintaan agar cucu Ratu Ageng dikirim ke Magelang dengan pengawalan ketat, jangan sampai terjadi apa-apa dengan cucu itu.
Begitu juga dengan usaha mendatangkan Pangeran Diponegoro Anom (putra Pangeran Diponegoro) yang selama itu masih memimpin pemberontakan di Bagelen. Dia diperintahkan oleh ayahnya untuk datang bergabung dengan pasukan lain yang sekarang berada di Magelang.
Kedatangannya dijamin keselamatannya oleh Jenderal de Kock yang memerintahkan Mayor Michiels untuk mengawal Pangeran Diponegoro Anom.
Persiapan rahasia
Tumenggung Mangunkusumo yang diperbantukan oleh Residen Valck di pesanggrahan Pangeran Diponegoro sebagai semacam aid de camp, tapi juga sebagai mata-mata, sudah sangat dipercaya oleh pangeran itu.
Beberapa hari sebelum bulan Puasa berakhir, dia menanyakan kepada Pangeran, apa yang akan dikemukakan nanti kepada pemerintah Belanda sebagai syarat perdamaian?
Pangeran Diponegoro menjawab bahwa ia tidak tahu apakah akan berdamai dengan pemerintah atau tidak. Sebab, sikap pemerintah Belanda juga belum jelas. "Bagaimana pendapatmu, Dimas?" tanyanya.
Tumenggung itu terus terang mengatakan bahwa dia tidak tahu sama sekali tentang sikap dan keinginan Belanda.
Mendapat informasi ini, Jenderal de Kock memandang bahwa waktunya sudah dekat untuk bertindak, karena perundingan mungkin gagal.
Ketika sehari sebelum Idul Fitri Pangeran Diponegoro Anom berkeliling kota dengan menunggang kuda bersama beberapa raden basah dan adipatinya, dia mampir ke rumah Residen Valck dan bertemu dengan Jenderal de Kock yang sedang duduk bersama Residen di serambi depan.
Jenderal itu mengingatkan Pangeran Anom, "Pangeran, sebenarnya baru besok hari raya Idul Fitri, dan mestinya juga baru besok Pangeran Anom beserta para raden basah dan adipati datang kemari untuk bersilaturahmi."
"Oh, baik Jenderal! Saya akan datang lagi besok, tetapi jelas sesudah salat Ied selesai. Lalu bagaimana dengan ayah saya?"
"Oh, mengenai ayah Anda, saya tidak berani mengundangnya. Itu terserah pada Yang Mulia saja. Tapi saya akan senang, kalau Anda beserta para basah dan tumenggung datang bersilaturahmi."
Pangeran Diponegoro Anom menyanggupi permintaan itu, dan memberitahu ayahnya tentang apa yang dikatakan oleh Jenderal de Kock. Pangeran Diponegoro setuju.
Diam-diam Jenderal de Kock memerintahkan pasukan Letnan Kolonel Du Perron dan Mayor Michiels melalui surat sandi, bahwa kalau Pangeran Diponegoro datang untuk berunding pada hari raya Idul Fitri nanti, semua harus siap siaga untuk bila perlu menangkapnya secara diam-diam, tanpa menimbulkan huru-hara.
"Pasukan harus siap dengan pakaian tempur, tetapi tetap berada di asrama masing-masing. Kuda kavaleri juga harus disiagakan dengan pelana, tetapi baru atas perintah pertama bertindak cepat untuk berkumpul.
Para perwira tanpa pasukan harus berkumpul di rumah Residen, tetapi kedatangannya harus beberapa saat sebelum Pangeran Diponegoro tiba atau bersamaan waktu, agar tidak menimbulkan kecurigaan.
Para perwira juga harus memata-matai gerak-gerik para raden basah dan tumenggung yang pasti mengiringi pangeran itu sebagaimana adat kebiasaannya.
Mereka harus ditempatkan di serambi. Kereta berkuda Residen harus disiapkan, agar bila perlu dapat segera dipakai untuk membawa Pangeran Diponegoro.
Letnan Kolonel Du Perron dan Mayor Michiels saya perintahkan agar bertindak tenang, jangan sampai ada orang yang luka, tetapi kalau mereka melakukan kekerasan, juga harus ditindak dengan kekerasan."
Agaknya Dewi Fortuna sedang menyertai Jenderal de Kock. Sebab, tanggal 28 Maret 1830 itu kebetulan hari Minggu, dan pada hari Minggu selalu ada parade militer seperti biasanya. Jadi semua persiapan rahasia yang telah diperintahkan tidak mencolok.
Bagaimana ini, Jenderal?
Pada Minggu, 28 Maret 1830 pagi, Pangeran Diponegoro ditanyai oleh Raden Basah Gondokusumo, apakah tidak sebaiknya pangeran membawa para prajurit kalau nanti berkunjung ke rumah Residen?
Pangeran itu menjawab dengan nada pasrah, "Sudah kehendak Allah, Dimas, bahwa sultanmu harus menjalani ini semua, tetapi jangan memerintahkan para prajurit. Itu akan mengejutkan Jenderal de Kock. Padahal jenderal itu tidak bermaksud jahat!"
Bagi kami orang Belanda, ini sungguh mengherankan! Semua orang sudah mengantisipasi bahwa ia berniat kurang baik, dengan pasukan prajurit yang makin hari makin diperbanyak itu, tetapi ketika ada usul untuk mengerahkan pasukan, dia menolak.
Pukul 07.30, Pangeran Diponegoro datang dengan menunggang kuda, diiringi beberapa putranya, beberapa tumenggung, dan seratus orang prajurit bersenjata.
Residen Valck membawa pangeran itu ke kamar kerja Jenderal de Kock, diikuti Pangeran Diponegoro Anom, Raden Basah Mertonegoro, Pengulu Pekih Ibrahim, dan Haji Badarudin. Para pengiring yang lain tetap berada di serambi.
Residen Valck, Letnan Kolonel Roest, Mayor De Stuers, dan Kapten Infanteri Roeps duduk menemani para pengiring yang masuk ke kamar kerja, sedangkan Letnan Kolonel De Kock Van Leeuwen, Mayor Perie, dan para perwira yang lain menemani para pengiring di serambi.
Mayor Michiels dan Letnan Kolonel Du Perron berada di halaman bersama pasukannya, untuk segera bertindak kalau ada perintah Jenderal.
"Sesudah Pangeran Diponegoro disambut dengan basa-basi dan diajak duduk oleh Jenderal de Kock di kamar kerjanya, tidak ada seorang pun yang mengira bahwa sebentar lagi akan ada drama yang mendebarkan. Sebab, Jenderal de Kock bertindak dengan kelicikannya untuk menampakkan diri bahwa ia biasa saja seperti pada hari-hari sebelumnya," demikian tulis Pangeran Diponegoro dalam memoarnya yang dijadikan sumber penulisan Babad Diponegoro.
"Semua yang hadir dengan sendirinya menunjukkan muka yang cerah. Juga ketika jenderal itu mengatakan kepada Pangeran Diponegoro dengan ramah, "Nanti tidak usah kembali ke pesanggrahan, Yang Mulia! Sebaiknya tetap di sini saja!"
"Heh? Tidak boleh pulang? Bagaimana ini, Jenderal? Sesudah bersilaturahmi selesai, saya toh tidak ada urusan lagi di sini?"
Jenderal itu menjawab, "Saya justru mau menyelesaikan urusan kita bersama!" Pangeran Diponegoro balik bertanya, "Urusan apa? Saya tidak mempunyai pikiran ke arah itu!"
Tidak siap berunding
Peristiwa itu dilaporkan oleh Jenderal de Kock dalam surat dinasnya kepada Gubernur Jenderal Van den Bosch sebagai berikut:
"Sesudah semua duduk di kursi masing-masing sesuai pangkat dan jabatannya, saya mengucapkan pidato singkat, bahwa saya senang sekali bulan Puasa sudah berlalu. Selama itu saya tidak mengganggu Pangeran, sesuai janji yang sudah saya ucapkan.
Sekarang pangeran itu datang. Niscaya untuk menyelesaikan urusannya yang selama ini terkatung-katung.
Tetapi Diponegoro menjawab bahwa dia datang tidak untuk berunding, melainkan hanya bersilaturahmi sebagaimana adat kebiasaan orang Jawa pada hari raya Idul Fitri. Jadi dia tidak siap untuk berunding.
Saya kemudian menjelaskan bahwa saya berutang pertanggungjawaban kepada Gubernur Jenderal, sehingga pasti ditegur kalau sampai tidak kunjung selesai menuntaskan perundingan yang sudah begitu lama tertunda. Sebab, biaya perang ini terus meningkat, dan tidak ada kepastian, kapan berakhirnya.
Dia menjawab lagi bahwa hari ini ia tidak mau berunding karena tidak siap. Dia minta pulang untuk berpikir-pikir dulu, dan nanti akan memberi tahu, kapan ia siap berunding.
Saya terpaksa mengatakan bahwa penyelesaian yang terkatung-katung ini harus diakhiri, sebab dia sudah sebulan penuh mempunyai waktu untuk berpikir. Tetapi dia menjawab lagi bahwa selama bulan Puasa dia tidak memikirkan perundingan.
Saya menjawab lagi bahwa saya justru tidak memikirkan soal lain daripada soal perdamaian, demi kesejahteraan rakyat yang kita pimpin bersama. Karena itu, atas nama pemerintah saya menanyakan sekali lagi, apa yang diinginkannya agar perang kita berakhir?
Sesudah mendengar ketegasan saya, pangeran itu mengeluh mengapa dia mengalami perlakuan seperti ini. Padahal Kolonel Cleerens dulu berjanji untuk membolehkannya pulang kalau perundingan gagal. Kemudian dia mengemukakan keinginannya agar dia dan pengikutnya diberi hak untuk menentukan nasib sendiri.
"Dia menjawab bahwa kalau permintaannya tidak dikabulkan, pemerintah boleh berbuat apa saja dengannya, tetapi dia tidak akan mundur setapak pun dari tuntutannya."
Sementara itu, Mayor Michiels dan pasukannya sudah datang mendekati rumah Residen, karena sebelum perdebatan yang mendebarkan tapi tetap sopan santun itu berlangsung, dia sudah diperintahkan secara diam-diam oleh Jenderal de Kock melalui Letnan Kolonel Roest yang menghubungi Letnan Kolonel Du Perron di lapangan.
Sebagian pasukannya melucuti senjata para pengiring Pangeran Diponegoro, dan sebagian lagi berangkat ke Metesih untuk melucuti senjata para prajurit di sana.
Semua berjalan dengan cepat tanpa huru-hara, dan sesudah semua selesai, Jenderal de Kock mengatakan kepada Pangeran Diponegoro, bahwa dia harus segera berangkat ke Semarang, dengan dikawal oleh dua perwira.
Dia ternyata masih tidak mau beranjak dari kursinya, tetapi malah bertanya kepada para panglima dan anak-anaknya, apakah mereka setuju kalau dia disuruh berangkat. Mereka diam semua, menundukkan kepala dari mata. Rumah Residen sudah dikepung rapat oleh pasukan Mayor Michiels.
Pangeran itu kemudian bertanya kepada Pengulu Pekih Ibrahim, apakah dia sudah meminta penegasan dari Kolonel Cleerens, bahwa dia boleh pulang kalau perundingan ini gagal?
Pengulu itu menjawab, "Memang demikian, Kanjeng Sultan!"'
"Muka Pangeran Diponegoro seperti menang perang. Kemudian dia masih berbincang-bincang lagi sambil minum teh dengan para pengikutnya. Tetapi saya mengingatkannya bahwa sekarang sudah pukul 10.00, dan harus berangkat.
Kepada Mayor De Stuers dan Kapten-Roeps saya perintahkan agar Pangeran diantar ke Ungaran hari ini, dan esok harinya dilanjutkan ke Semarang, agar esok harinya lagi dapat menumpang kapal yang pertama berangkat ke Betawi. Pemerintah akan mengasingkannya ke Manado."