Penulis
[ARSIP HAI]
Sumpah Pemuda,tonggak penting kejayaan Bangsa Indonesia. Bibit unggulnya telah bersemi sejak 20 Mei 1908, lahirnya Budi Otomo. Peristiwa seperti inibukan ledakan mercon. Yang berpijar seketika. Melainkan punya rangkaian panjang.
Intisari-Online.com -Situasinya memang lain dari yang dibayangkan sekarang ini. Tahun 1928. Belum banyak pemuda yang mengecap pendidikan cukup. Jumlahnya belum banyak, itu pun masih terkotak dalam sentimen daerah yang lengket.
Bahasa komunikasi juga masih bahasa Belanda—pun dalam Kongres Pemuda yang melahirkan Sumpah Pemuda tersebut. Maka, kawula muda saat itu bolehlah dibilang kampiun. Mampu menangkap suasana, merumuskan, dan melihat jauh ke depan. Prestasi yang selangit.
Bibit-bibitnya dimulai dari:
7 Maret 1915, Tri Koro Dharmo
Organisasi Tri Koro Dharmo (Tiga Tujuan Mulia) berdiri pada 7 Maret 1915. Di gedung Budi Utomo, dengan ketua Dr. Satiman Wirjosandjojo, wakil ketua Wongsonegoro, sekretaris Sutomo, dengan anggota Muslich, Musodo dan Abdul Rachman.
Kegiatannya adalah memajukan pemuda-pemudi, yang saat itu masih terbelakang. Kegiatan lain adalah memajukan kesenian Jawa. Maklum anggotanya kebanyakan berasal dari Jawa Tengah dan Timur. Repot memang. Murid yang berasal dari Jawa Barat dan Madura seperti tidak kebagian tempat.
12 Juni 1918, Jong Java
Untuk menanggulangi masalah itu, diadakan Kongres I, di Solo. Tanggal 12 Juni 1918, jadilah Jong Java. Bali sudah ikut masuk. Pembicaraan dan kegiatan masih sekitar kebudayaan dan membentuk ikatan baik antara murid-murid sekolah menengah. Juga untuk menambah pengetahuan dan cinta tanah air.
Lalu kongres lagi, lagi, antara lain di Bandung. Kongres ke-5 mencatat bahwa Jong Java tidak akan mencampuri masalah politik.
Suhu politik memang memanas. Sarekat Islam, di bawah pimpinan Haji Agus Salim muncul dalam gelanggang. Jong Java nyaris terjadi perpecahan ketika kelompok Islam mendirikan Jong Islamieten Bond, di tahun 1924.
Jong Java mengubah tujuan perkumpulan. Kini sudah bisa bekerja sama dengan organisasi pemuda yang lain. Berarti keinginan bersatu dengan semua golongan terwujud. Paling tidak ini suatu langkah cita-cita dalam menyebarkan dan memperkuat paham Indonesia bersatu.
2 Desember 1917, Jong Sumatranen Bond
Organisasi ini pada hakikatnya tak bersifat politik. Tetapi pemerintah Hindia Belanda sangat mencurigai kiprahnya, malah bersikap sinis. Sikap mencurigai memang makin menjadi-jadi, teristimewa ini dirasakan sekali oleh Bahder Djohan yang pada tahun 1918 telah dilantik sebagai sekretaris Jong Sumatranen Bond cabang Padang.
Di sekolahnya Bahder diejek gurunya orang Belanda. Gurunya itu menggambarkan seorang anak berjalan di depan sembari memegang bendera. Lantas guru itu mengomentari bahwa Bahder yang membawa bendera bangsanya.
Tentu ini penghinaan. Tapi Bahder, meski teman sekelasnya juga ikut bersorak mengejek, tetap tidak patah semangat. Justru ejekan tersebut merupakan cambuk untuk menggebrak ke depan.
Harus diakui sebagian besar pemimpin Jong Sumatranen Bond berada di Jakarta. Dan ada pula yang di antaranya sekolah di negeri Belanda. Ini masalah tersendiri yang perlu dipecahkan. Tetapi masalah itu positif, dengan menyebarnya mereka nyatanya ada hikmahnya.
Para anggota Jong Sumatranen Bond toh mengalami proses, secara perlahan-lahan mereka menanggalkan baju daerahnya dan bakalan menggantinya dengan baju Indonesia.
Dalam aktivitasnya, organisasi ini mengadakan kongresnya pertama di Padang pada Juli 1921. Dari sudut pandangan persatuan, kongres pertama itu sukses. Mereka punya tokoh pemikir yang tegas, yakni Moh. Hatta, Moh. Yamin, Abu Hanifah dan yang lainnya. Pada perkembangan berikutnya, Moh. Hatta memimpin Indische Vereeniging yang lalu berganti Perhimpunan Indonesia di negeri Belanda.
Lantas Abu Hanifah bergabung di perkumpulan Langen Siswo dari Jong Java
Jong Ambon, Jong Bataks Bond, Jong Celebes
Bagai api yang berkobar—semangat pemuda susah sih dipadamkan, pemuda-pemudi yang berasal dari daerah Ambon, Celebes (Sulawesi) dan Batak (Tapanuli) juga tak mau ketinggalan. Mereka mendirikan organisasi yang punya tujuan utamanya mempererat persatuan sesama pemuda, di samping memajukan kebudayaan daerah masing-masing.
Dari organisasi tersebut muncul tokoh-tokoh terkenal. Sebut saja nama J. Leimena, pentolannya Jong Ambon, Arnold Mononutu yang mewakili Jong Celebes. Serta Amir Sjarifudin pimpinan Jong Bataks Bond.
Tak bisa dipungkiri organisasi ini cukup tangguh gerakannya, ambil contoh Jong Celebes yang memiliki majalah Suara Celebes. Melalui majalahnya itu mereka memperkenalkan sepak terjang dan perjuangannya.
Sekar Rukun, Pemuda Kaum Betawi, Jong Timoreesch Verbond
Semangat pemuda adalah semangat matahari yang garang memancarkan keberanian. Para pemuda yang berasal dari daerah Sunda memperlihatkan semangat juang itu dengan mendirikan wadah yang dinamai Sekar Rukun.
Dari daerah Jakarta asli, tokoh M. Husni Thamrin juga mencuat, mendirikan perkumpulan Pemuda Kaum Betawi. Demikianpun dari Pulau Timor muncul Jong Timoreesch Verbond, organisasi ini didirikan J.W. Amalo.
Organisasi pemuda yang berdasarkan kedaerahan pada akhirnya tumbuh subur. Namun di sisi lain hadir perkumpulan dalam bentuk yang berorientasi belajar. Tujuannya jelas, membantu serta membimbing para pelajar— mahasiswa yang ingin menuntut pelajaran di sekolah menengah atau perguruan tinggi.
Tokoh pendiri Budi Utomo dan bekas Ketua Perhimpunan Indonesia, Dr. Soetomo di Surabaya pada tanggal 11 Juni 1924 mendirikan Indonesisch Studieclub. Sambutan para pemuda tentang organisasi ini sangat simpati.
Apalagi gagasan idenya mulia, membangun kaum terpelajar supaya punya keinsyafan kewajiban terhadap masyarakat dan memperdalam pengetahuan politik — terutama soal sosial politik di Indonesia.
Perkumpulan yang berorientasi seperti kelompoknya Dr. Soetomo muncul pula di Bandung. Dicuatkan dengan nama Algemeene Studieclub yang pemukanya Ir. Soekarno dan Ir. Anwari. Azas perjuangan Algemeene Studieclub tegas yaitu non-kooperasi.
Karena perkembangan politik yang bergerak cepat, organisasi tersebut menjelma menjadi Partai Nasional Indonesia dan cita-citanya melaksanakan apa yang ditempuh Perhimpunan Indonesia di negeri Belanda.
Suhu politik Indonesia tahun 1924-an cukup memanas. Dalangnya, tentu siapa lagi kalau bukan para pemuda-pemudi. Kegiatan organisasi pemuda kian melompat, berkembanglah perhimpunan yang berdasarkan kepercayaan agama atau nasional.
Seperti Jong Islamieten Bond, Pemuda Indonesia, Perhimpunan Indonesia, dan Perhimpunan Pelajar-pelajar Indonesia (PPPI).
Sekelompok tokoh tangguh, di antaranya Haji Agus Salim, Moh. Roem, Wiwoho, Kasman Singodimedjo, M. Djuwari di bulan Januari 1926 telah sepakat mendirikan perhimpunan Jong Islamieten Bond. Organisasi ini langkahnya tak lain memberikan kebebasan berpolitik dan memajukan agama Islam sebaik-baiknya.
Perkembangan berikutnya, Jong Islamieten Bond (JIB) juga bergerak bidang kepanduan, mendirikan National Islamieten Padvinderij.
Jiwa persatuan Indonesia di kalangan pemuda kian tebal. Dan pernyataan perjuangan kedaerahan akan memecah persatuan saja, sangatlah dibenarkan.
Itulah pemuda-pemudi di Bandung yang merasa dirinya semata-mata orang Indonesia merasa tak mampu lagi berdiri dalam perkumpulan yang masih berdasarkan kesukuan. Maka nggak heran jika Mr. Sunario dan Mr. Sartono tanggal 20 Februari 1927 mendirikan Jong Indonesia.
Bulan Desember 1927 Jong Indonesia mengadakan kongres yang pertama. Dan pada kongres yang pertama itu Jong Indonesia sudah mengganti nama menjadi Pemuda Indonesia.
Dari hasil kongres telah menelurkan beberapa keputusan. Salah satu pokok keputusannya, yakni memutuskan untuk memakai bahasa Indonesia sebagai bahasa bersama. Jadi, meski tidak ikut dalam praktek politik, terlihat gamblang jiwa.
Pemuda Indonesia penuh cita-cita politik dan sangat mendorong pemakaian bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan.
Perhimpunan Indonesia
Para pemuda yang menuntut pelajaran di negeri Belanda juga bergolak dalam pergerakan. Tahun 1908 sudah ada perkumpulan yang bernama Indische Vereeniging, merupakan suatu organisasi yang bersikap umum Indonesia.
Akhirnya nama Indische Vereeniging berubah, jadi Perhimpunan Indonesia. Tujuannya pun makin matang, mencapai Indonesia merdeka dengan menyatukan berbagai golongan dalam satu negara. Kiprah Perhimpunan Indonesia kian luas pula, mengadakan kerja sama dengan berbagai partai politik.
Di samping kontak sama partai politik, Perhimpunan Indonesia membuka hubungan dengan kelompok pelajar yang berada di Bandung. Saking melejitnya aktivitas Perhimpunan Indonesia ini, sudah pasti mendapat sorotan. Dan partai-partai politik di Indonesia mengakuinya mengenai peranan kepemimpinan Perhimpunan Indonesia sebagai pos terdepan di Eropa.
Sebenarnya tahun 1920 Perhimpunan Indonesia sudah bikin geger. Mengibarkan bendera nasional merah putih, tapi di tengahnya ditambah gambar kepala kerbau. Gambar kepala kerbau itu lambang rakyat yang bertani sesuai dengan gagasan Multatuli.
Dan harus diakui, kiprah Perhimpunan Indonesia bergerak cepat. Menjalin persahabatan sama Liga Internasional Anti Imperialis yang berjuang melawan penindasan kolonial. Persahabatan tersebut dijalin akrab, sampai diadakan pertemuan khusus.
Bertemulah Pandit Jawaharlal Nehru dari India dan pemimpin negara lain dengan tokoh Perhimpunan Indonesia yang diwakili Moh. Hatta dan Achmad Subardjo. Akibat dari pertemuan itu, empat pemimpin Perhimpunan Indonesia, yaitu Moh. Hatta, Abdul Madjid Djajadiningrat, Nazir Dt. Pamuncak dan Ali Sastroamidjojo ditangkap pemerintah Belanda.
Mereka, empat pemimpin Perhimpunan Indonesia dijebloskan ke penjara dan peristiwa itu terjadi akhir tahun 1927.
Perhimpunan Pelajar-pelajar
Tahun 1925 didirikan perkumpulan Perhimpunan Pelajar-pelajar Indonesia, tapi baru tahun 1926 diresmikan. Anggotanya terdiri mahasiswa di Jakarta dan Bandung. Sebutan mahasiswa pada masa itu belum lazim.
Pelajar adalah terjemahan dari student atau mahasiswa disebut student saja. Pelajar mengandung arti yang kelak menjadi orang terpelajar. Sedangkan pemuda dari sekolah lanjutan (Mulo dan AMS) disebut murid.
Moh. Yamin pernah mengusulkan istilah mahasiswa bagi student. Usul itu ditolak karena dianggap bombastis. Namun apa pun jadi usul tersebut menjadi gaung panjang yang perlu digaris bawahi. Dan patut ditegaskan di sini, antara Perhimpunan Pelajar-pelajar Indonesia dengan Perhimpunan Indonesia di negeri Belanda terdapat hubungan batin yang erat.
Sebagai wadah pemuda yang berkiprah politik—katakanlah begitu, Perhimpunan Pelajar-pelajar Indonesia memang memiliki tokoh tangguh. Di antaranya Sugondo Djojopuspito, Moh. Yamin, A.K. Gani, Abu Hanifah, S. Djoened Poesponegoro, Wilopo, Hendromartono dan Sumitro.
Kongres Pemuda I 1926
Gagasan peleburan makin lama dirasakan oleh para pemuda. Suara yang ditiupkan Pemuda Indonesia, Perhimpunan Pelajar-pelajar Indonesia dan Perhimpunan Indonesia di negeri Belanda kian tertanam dalam sanubari. Mereka memang menghendaki persatuan Indonesia.
Untuk merealisasi masalah itu maka pada tanggal 30 April 1926 di Jakarta diselenggarakan Kerapatan Besar pemuda yang kemudian terkenal dengan nama Kongres Pemuda I. Kongres Pemuda I ini dihadiri wakil organisasi: Jong Java, Jong Sumatranen Bond, Jong Ambon, Sekar Rukun, Jong Islamieten Bond, Studerenden Minahasaers, Jong Bataks Bond, dan Pemuda Kaum Theosofi.
Kongres Pemuda I ini diadakan oleh suatu panitia yang terdiri dari pengurus organisasi pemuda, dan kongres dipimpin Mohammad Tabrani. Adapun tujuan kongres ialah mencari jalan membina perkumpulan pemuda tunggal dan membentuk sebuah badan. Pokoknya memajukan paham persatuan dan kebangsaan.
Kongres berlangsung sukses. Pemuda Moh. Yamin membicarakan kemungkinan untuk bahasa dan kesusastraan Indonesia di hari depan. Juga Yamin menginginkan agar bahasa Melayu dianggap sebagai bahasa bangsa Indonesia.
Tapi perlu diketahui, tatkala Yamin mengucapkan pidatonya dalam kongres itu, terpaksa menggunakan bahasa Belanda. Maklumlah waktu itu banyak pemuda yang belum mahir atau menguasai bahasa Melayu.
Hasil Kongres Pemuda I positip. Melangkah lebih maju. Mengakui dan menerima cita-cita persatuan Indonesia, walaupun samar-samar dan belum jelas. Para pemuda mengakui pula bahwa terdapat perbedaan sosial-kesukuan, tapi bagaimana pula terdapat rasa persatuan nasional.
Kejadian penting sekitar tahun 1928
Kongres Pemuda I hasilnya bergelora terus. Tidak didiamkan. Lagi pula keadaan politik di Indonesia sekitar tahun 1926-1928 terasa berat lajunya. Bulan November 1926 terjadi pemberontakan PKI di Banten, Jakarta dan lain-lain tempat di Jawa. Tidak cuma di Jawa, di Sumatera Barat, PKI melancarkan aksi teror.
Situasi pemerintah Hindia Belanda di bawah pimpinan Gubernur Jendral Jhr Mr. A.E.D. de Graeff kelihatan morat-marit. Kejadian ini ditambah lagi dengan adanya depresi ekonomi di dunia yang juga melanda Indonesia. Akibatnya pemerintah Hindia Belanda mengadakan pemecatan besar-besaran yang akhirnya menimbulkan banyak pengangguran.
Suasana jadi tambah muram. Pada tanggal 16 Desember 1927 pemerintah Hindia Belanda menangkap dan mengasingkan Dr. Tjipto Mangunkusumo ke Banda. Dr. Tjipto dituduh menghasut rakyat dan tuduhan itu sebenarnya tidak beralasan sama sekali.
Banyak yang protes atas penangkapan Dr. Tjiplo. Sehari sesudah penangkapan tokoh tersebut, atas inisiatif Partai Nasional Indonesia maka didirikan Pemufakatan Perhimpunan Politik Kebangsaan Indonesia — tepatnya 17 Desember 1927.
Yang menjadi anggota permufakatan, yaitu sudah barang tentu Partai Nasional Indonesia, Partai Sarekat Islam, Algemeene Studieclub, Budi Utomo, Pasundan, Sarekat Sumatra, Kaum Betawi, Perserikatan Celebes dan beberapa perkumpulan lain.
Pemufakatan itu mengadakan kongres pertama di Surabaya dari tanggal 30 Agustus sampai tanggal 2 September 1928. Kongres itu mengambil mosi yang sangat penting: Kalau pergerakan rakyat Indonesia harus bersatu padu untuk mewujudkan cita-cita nasional. Dan persatuan merupakan syarat mutlak untuk mensukseskan tujuan perjuangan.
Ya. Keadaan telah matang untuk menciptakan persatuan. Persatuan yang diidamkan sudah tiba, sudah tercapai. inilah kenyataannya. Terbukti para pemuda—dari tahun 1928—boleh dikatakan pemuda idealis utopis. Menurut waktu itu.
Mereka mempunyai cita-cita yang sangat tinggi, padahal situasi dan kondisi belum membayangkan adanya kemungkinan untuk mencapai tujuan, yakni terutama kemerdekaan bagi Indonesia.
Langkah panjang sudah ditempuh. Persiapan sudah juga dijalankan: Kongres Pemuda II perlu diadakan. Maka dibentuklah suatu badan yang tujuannya mendalam dan membahas soal gerakan pemuda secara menyeluruh. Panitia Kongres Pemuda II akhirnya disepakati.
Ketuanya dipegang Sugondo Djojopuspito (dari Perhimpunan Pelajar-pelajar Indonesia), wakil ketua Djoko Marsaid alias Tirtodiningrat (Jong Java) dan sekretaris dijabat Mohammad Yamin (Jong Sumatranen Bond).
Kongres Pemuda II
Kongres Pemuda II memang terlaksana. Dihadiri wakil dari organisasi pemuda seluruh Indonesia, tokoh-tokoh partai politik dan tidak ketinggalan wakil dari pers—baik wakil pers Indonesia maupun Tionghoa.
Sidang pertama dilakukan hari Sabtu malam tanggal 27 Oktober 1928, dimulai pukul 19.30 dan berakhir pada pukul 23.30, bertempat di gedung Katholieke Jongenlingen Bond, Waterlooplein — Jalan Lapangan Banteng sekarang.
Kongres dibuka oleh ketua Sugondo Djojopuspito, yang mengemukakan tentang sejarah Pergerakan Bangsa Indonesia mulai dari timbulnya Budi Utomo 1908. Kemudian Sugondo menguraikan soal timbulnya perkumpulan pemuda bersifat kedaerahan dan dilanjutkan penjelasan mengenai keterangan Kongres (Kerapatan) Pemuda Indonesia I tahun 1926.
Kongres I dipimpin Tabrani yang intinya menyiarkan masalah persatuan. Sedang kongres II orientasinya untuk menguatkan perasaan persatuan dan kebangsaan.
Usai ketua kongres memberikan sambutan, barulah sidang dilanjutkan mendengarkan pidato Mohammad Yamin yang menyodorkan makalah berjudul Persatuan dan Kebangsaan Indonesia. Makalah Moh. Yamin ini merupakan salah satu pidato penting dari pemimpin pemuda Indonesia, dan isinya mempunyai nilai yang tinggi.
Perlu diketahui, pada Kongres Pemuda II, waktu itu usia Mohammad Yamin dua puluh lima tahun, dia seorang mahasiswa Rechts Hoge School (RHS) tingkat I.
Sidang kedua pada hari Minggu pagi 28 Oktober 1928, pukul 08.00-12.00, bertempat di Gedung Oost Java Bioscoop, Koningsplein Noord, sekarang Jalan Medan Merdeka Utara 14 (menjadi Gedung Pemuda, sekarang sudah dibongkar).
Sidang kedua masalah pendidikan yang dibahas, pembicaraannya adalah Sarmidi Mangunsarkoro, Djokosarwono dan Nona Purnomowulan. Yang menarik dari sidang kedua ini adalah pidato Nona Purnomowulan yang menggunakan bahasa Belanda. Dan Moh. Yamin yang akhirnya menjalin ke bahasa Indonesia.
Jadi, jelas bahwa hingga tahun 1928 masih banyak pemuda yang belum menguasai bahasa Indonesia.
Sidang ketiga ini diadakan pada Minggu malam tanggal 28 Oktober 1928 pukul 17.30-23.30 bertempat di gedung Indonesische Clubgebouw di Jalan Kramat 106, sekarang menjadi Jalan Kramat Raya 106.
Dalam sidang ketiga ini yang tampil Ramelan, Mr. Sunario, dan Th Pangemanan. Seperti halnya Nona, Th Pangemanan berpidato dalam bahasa Belanda. Dan lagi-lagi Moh. Yamin yang mengubahnya ke bahasa Indonesia. Dari sidang ketiga, Mr. Sunario tampil sebagai pembicara terakhir.
Mr. Sunario menegaskan kalau sudah sewajarnya para pemuda bekerja keras untuk mengusahakan persatuan. Karena kehendak itu sesuai dengan kehendak dan geraknya zaman.
Usaha itu memang bukan usaha yang kebetulan saja, tetapi kerja keras suatu usaha yang betul-betul berdasarkan atas pikiran yang dalam.
Sambutan masyarakat sangat meriah sekali dalam sidang ketiga ini. Setelah mengikuti sidang ketiga, massa inginnya mengadakan arak-arakan besar-besaran. Tapi syarat untuk itu terlampau berat dari polisi, sehingga daripada diadakan lebih baik dibatalkan saja.
Tapi yang paling berkesan dari sidang ketiga ini adalah dinyanyikan lagu Indonesia Raya, ciptaan pemuda Wage Rudolf Supratman. Teks asli lagu kebangsaan Indonesia Raya agak berbeda dengan teks resmi sekarang. Kata merdeka dalam refrain harus diganti dengan mulia-mulia.
Jauh malam kongres mengambil keputusan yang benar-benar menghujat. Keputusan itu terangkum menjadi tiga bagian.
Bagian pertama: Kami putra dan putri Indonesia mengaku bertumpah darah satu, tanah Indonesia. Kedua: Kami putra dan putri Indonesia mengaku berbangsa yang satu, bangsa Indonesia. Ketiga: Kami putra dan putri Indonesia menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia.
Mendengar keputusan ini, para pemuda mengeluarkan keyakinan azas mulia, dan menyodorkan keyakinan persatuan Indonesia diperkuat dengan memperhatikan dasar persatuannya. Yaitu kemauan, sejarah, hukum adat, pendidikan dan kepanduan.
Benar. Dengan demikian para pemuda sudah mengambil keputusan unitarisme yang heroik. Persatuan Indonesia menjadi dasar Indonesia Raya tidak federalis, melainkan unitarisme yang didapat pada persatuan bangsa, daerah dan kebudayaan.
Kesatuan tanah air, bangsa dan bahasa itu dilambangkan dengan lambangan warna yang berupa pengibaran bendera merah putih, melagukan lagu Indonesia Raya serta lukisan bermodel lencana garuda terbang.