Suara Batin Kartini tentang Agama, Kebangsawanan, Peranan Wanita, dan Keinginan Sekeras Baja

Moh. Habib Asyhad

Penulis

Foto Kartini bersama dua adiknya, Kardinah dan Roekmini. Dari surat-suratnya kita tahu secemerlang apa pikiran Kartini saat itu.

Dari surat-suratnya kepada sahabat Belandanya, kita tahu secemerlang apa pikiran Kartini saat itu. Jauh melampauai zamannya.

---

Intisari hadir di WhatsApp Channel, follow dan dapatkan berita terbaru kami di sini

---

Intisari-Online.com -Belakangan, di Twitter/X sedang heboh dengan adanya beberapa pengguna internet mempertanyakan peran Kartini sehingga dia layak menyandang gelar tokoh emansipasi wanita Indonesia. Ada juga yang membandingkannya dengan tokoh perempuan Indonesia lainnya.

Bagaimanapun juga, keberadaan dan peran mereka tidak untuk dibanding-bandingkan satu dengan yang lainnya. Satu tokoh tentu punya peran berbeda dari yang lain. Dan untuk memahami peran mereka, tentu kita membutuhkan konteks sejarah yang melatarinya.

Terlepas dari itu, kami akan mecoba memunculkan lagi "suara batin" Kartini terkait agama, kebangsawanan, peranan wanita, dan keinginannya yang sekeras baja--sebagaimana pernah ditulis di Majalah HAI edisi Apri 1986.

Pandangannya tentang agama

Kartini dalam salah satu suratnya pernah menulis bahwaagama dimaksudkan sebagai berkah untuk kemanusiaan untuk menciptakan pertalian antara semua makhluk Tuhan, alih-alih sebagai sumber perpecahan. Karena pada prinsipnya, mengutip Kartini, kita semua adalah bersaudara.

"Ya, Tuhan. Kadang-kadang saya berharap, alangkah baiknya jika tidak pernah ada agama. Sebab agama yang seharusnya justru mempersatukan semua manusia, sejak berabad-abad menjadi pangkal perselisihan dan perpecahan. Pangkal pertumpahan darah yang sangat ngeri. Betulkah agama itu berkah bagi umat manusia? Tanya saya kerap kali dengan bimbang kepada diri saya sendiri. Agama yang harus menjauhkan kita dari berbuat dosa, justru berapa banyaknya dosa yang diperbuat atas nama agama itu?"

Kartini juga menyebut agama sebagai sumber untuk mendapatkan ketenangan.

"Indah dan nikmat hidup ini, meski di baliknya banyak kepedihan dan kegelapan. Tapi bukankah kegelapan itu justru akan membuat cahaya itu tampak lebih terang? Maksud Tuhan terhadap kita adalah baik. Hidup ini diberikan kepada kita sebagai rahmat dan tidak sebagai beban. Kita manusia sendiri umumnya membuatnya jadi kesengsaraan dan penderitaan. Syukur! Syukur! Syukur! Seru tiap denyut jantung, tiap denyut nadi. Dan tiap helaan napas adalah doa syukur."

Kartini rupanya juga menyinggung soal puasa dan mengasingkan diri ke tempat yang sama. Dia bilang, berpuasa dantidak tidur itu melambangkan kemenangan rohani atas jasmani. Dengan berkekurangan, menderita, dan tafakur akan diperoleh Nur Cahaya. Tidak ada cahaya yang tidak didahului gelap. Dan dengan menyepi, orang dapat belajar berpikir.

"Habis malam datanglah cahaya. Habis topan datanglah reda. Habis juang datanglah mulia. Habis duka datanglah suka," demikian Kartini memformulakan pandangannya.

Tentang Kebangsawanan

Jika Anda bertanya tentang sejauh apa pandangan Kartini ke depan, kita bisa melihatnya dari pandangannya tentang kebangsawanan. Di pengujung abad 19 wanita kelahiran Jepara itu sudah lantang berbicara tentang mereka yang membanggakan gelar ningratnya.

"Panggil saya Kartini saja. Begitu nama saya. Kami orang Jawa tidak mempunyai nama keluarga. Kartini adalah nama keluarga dan sekaligus nama kecil saya. Dan mengenai kata Raden Ajeng, dua kata itu menyatakan gelar."

Begitu tulisnya kepada Stella.

Kartini juga secara terang-terangan menyebut dirinya bukan anak raja. Raja terakhir dalam keluarganya kira-kira sudah berlalu 25 turunan jauhnya.

"Tetapi hal ini semua tidak kami pedulikan. Bagi saya hanya ada dua macam kebangsawanan. Bangsawan jiwa dan bangsawan budi. Pada pikiran saya, tidak ada yang lebih gila, lebih bodoh daripada melihat orang-orang yang membanggakan apa yang disebut ‘keturunan bangsawan’. Di manakah gerangan letak jasa orang bergelar graft atau baron? Pikiran saya yang picik tidak sampai untuk memikirkan hal itu."

Tentang Pengajaran Wanita

Kita tahu, Kartini sangat ingin menjadi guru. Karena itulah dia ingin memperdalam kemampuan mengajarnya supayabisamengajar calon-calon ibu tentang pengertian kasih dan keadilan.

Cita-cita ini bukannya tanpa dasar. Pertama, dari pengalamannya, Kartini melihat betapa kaum perempuan, khususnya di kalangan priyayi, yang masih begitu tergantung pada laki-laki. Mereka tak bisa mandiri. Dan karenanya bersedia menerima perlakuan tak adli dari para suami dengan berpoligami.

Kedua, yang paling banyak membantu mempertinggi kadar budi manusia adalah perempuan, ibu. Sebab di pangkuan perempuanlah, manusia menerima didikan yang pertama. Dari ibu, anak-anak belajar merasa, berpikir, dan berbicara.

"Berilah pendidikan yang baik bagi anak-anak perempuan. Siapkanlah dia masak-masak untuk menjalankan tugasnya yang berat. Mereka harus mendidik anaknya untuk keluarga besar, keluarga raksasa yang bernama masyarakat karena anak itu kelak akan menjadi anggotanya. Untuk inilah kami minta pendidikan dan pengajaran bagi gadis-gadis. Ciptakanlah ibu-ibu yang cakap serta berpikiran. Peradaban dan kepandaiannya akan diturunkannya kepada anak-anaknya. Anak-anak perempuannya akan menjadi ibu pula. Sedang anak laki-lakinya kelak pasti akan menjadi penjaga kepentingan bangsanya."

Bagi Kartini, sebutan ibu adalah sebutan yang suci. Dalam keadaan putus asa, sakit, yang selalu kita sebut adalah nama ibu, bukan?

"Ibulah dan ibulah lagi yang diseru ketika perlu minta tolong, minta bantuan! Di dalam menyeru nama Ibu dalam saat-saat yang bersungguh-sungguh, bersedih, terletak penghormatan kepada Ibu. Mengapa tidak menyeru Bapak? Mengapa justru Ibu? Karena sejak kecil manusia, menurut naluri, merasa bahwa ibu itu berarti penuh cinta dan pengabdian."

"Saya Mau!"

Keinginan kerasnya akhirnya mengantar Kartini mendapatkan beasiswa belajar di sekolah guru dari pemerintah Belanda. Tapi diamembatalkan keberangkatannya ke Batavia. Berbagai pertanyaan muncul mengenai pembatalan ini. Ada yang mengatakan, mungkin ini berkat pengaruh Abendanon, sahabat karibnya.

Terkait hal itu, Kartini menyinggungnya dalam suratnya. Dia bilang,dia tidak mungkin bisa bertanggung jawab kepada hati nuraninya apabila dengan mengejar cita-citanya dia membiarkan ayahnya yang sudah tua menderita seorang diri.

"Salah satu daripada cita-cita yang hendak saya sebarkan ialah hormatilah segala yang hidup, hak-haknya, perasaannya. Segenap cita-cita hendaknya kita usahakan sekuat tenaga agar semua makhluk terhindar dari penderitaan dan dengan demikian memperindah hidupnya. Lagi ada pula suatu kewajiban yang tinggi, murni, yang disebut terima kasih. Soalnya sekarang, sedapatnya menyelamatkan dua kewajiban besar yang harus saya penuhi dan yang sama sekali berlawanan itu. Penyelesaian sementara soal itu, saya memelihara ayah, tetapi juga tidak mengabaikan pelajaran. Di rumah, saya belajar sendiri, tentang ilmu guru, sejauh dapat dipelajari sendiri, dibantu dengan kemauan yang keras dan ketetapan hati."

Menurut Kartini, "Kemauan saya yang keras itu dapat mendukung kita melampaui keberatan dan kesulitan bergunung-gunung. Saya mau! Akan mendorong kita ke puncak gunung. Saya tidak dapat, adalah kata-kata yang mematahkan semangat."

Ibu Rohani

Akhirnya, dalam umur yang menurut ukuran waktu itu sudah cukup tua, Kartini menikah dengan bupati Rembang. Banyak yang bertanya-tanya, mengapa akhirnya Kartini mau menjadi ibu tiri bagi anak-anak bupati Rembang. Padahal sejak dulu, Kartini menentangnya.

Ada yang berkata, ini semata-mata demi baktinya kepada ayahanda tercinta. Tapi mungkin juga tidak demikian halnya. Soalnya mengenai ibu, Kartini mempunyai persepsi sendiri.

Menurutnya, untuk menjadi ibu, seorang perempuan tidak mutlak mempunyai anak kandung. Sungguh suatu pendapat yang rendah, seseorang hanya mengasihi dan menyerahkan diri sepenuhnya kepada darah dagingnya.

"Betapa banyaknya ibu, yang namanya saja ‘ibu’ hanya karena mereka telah melahirkan anak. Tapi selanjutnya tidak patut memakai nama ibu. Seorang perempuan yang mengorbankan diri untuk orang lain, dengan segala rasa cinta yang ada dalam hatinya. Dengan segala bakti yang dapat diamalkan, itulah perempuan yang patut disebut sebagai Ibu dalam arti sebenarnya. Kami pandang, ibu rohani lebih mulia daripada ibu jasmani."

Jawaban yang paling tepat atas pertanyaan banyak orang tentang pernikahan ini, tentu terpulang kepada Kartini sendiri. Sampai akhir hidupnya, Kartini memang belum bisa merealisasikan seluruh cita-citanya.

Tapi kata orang, cita-cita dan idealisme yang tinggi akan tertanam dalam hati sanubari generasi mendatang. Dan kitalah yang harus meneruskan cita-cita besar, Ibu Kartini.

Artikel Terkait