Find Us On Social Media :

Ketika Barisan Bamboe Roentjing Menyatakan Perlawanannya Pada Pemerintah Indonesia 11 Oktober 1949

By Afif Khoirul M, Jumat, 11 Oktober 2024 | 14:30 WIB

Barisan Bamboe Roentjing melakukan perlawanan ke pemerintah Indonesia.

Intisari hadir di WhatsApp Channel, follow dan dapatkan berita terbaru kami di sini

---

Intisari-online.com - Angin berbisik pilu di antara rimbun bambu, daun-daun kelapa berdesir gelisah seakan turut merasakan gejolak jiwa yang membuncah di dada para pejuang.

Hari itu, 11 Oktober 1949, langit Jawa Barat seolah meredup, menaungi tekad membara Barisan Bamboe Roentjing (BBR) yang memilih jalan berliku, menentang pemerintahan yang mereka perjuangkan kemerdekaannya.Bayangkan, hanya berselang empat tahun dari Proklamasi 17 Agustus 1945 yang menggetarkan dunia, di tanah air sendiri berkecamuk api perselisihan.

BBR, laskar rakyat yang pernah menjadi garda terdepan melawan penjajah, kini mengangkat senjata melawan Republik Indonesia. Bambu runcing yang dulunya menusuk jantung penjajah, kini diarahkan pada saudara sebangsa.Apa yang mendorong mereka hingga mengambil langkah drastis ini?

Sejarah mencatat, gejolak di tubuh BBR berakar dari pergolakan idealisme dan kekecewaan mendalam terhadap jalannya pemerintahan. Mereka merasa terpinggirkan, aspirasi mereka diabaikan, dan perjuangan mereka seakan dilupakan.BBR, yang mayoritas beranggotakan pemuda dan santri, merasa bahwa pemerintah telah menyimpang dari cita-cita revolusi. Korupsi merajalela, ketidakadilan merajalela, dan kehidupan rakyat jelata semakin sengsara.

Di mata mereka, pemerintah telah mengkhianati amanat penderitaan rakyat, janji kemerdekaan yang dulu dikumandangkan dengan lantang kini terasa hampa.Kepemimpinan karismatik seorang tokoh bernama Bambang Soepeno semakin mengobarkan semangat perlawanan BBR. Ia adalah sosok yang dihormati, seorang pemimpin yang mampu mengartikulasikan kegelisahan dan kekecewaan para anggota BBR.

Di bawah komandonya, BBR menjelma menjadi kekuatan yang disegani, memiliki basis massa yang kuat di Jawa Barat, terutama di wilayah Banten dan Priangan Selatan.Puncak ketegangan terjadi ketika BBR mendeklarasikan diri sebagai Tentara Rakyat, terpisah dari Tentara Nasional Indonesia (TNI).

Mereka menolak tunduk pada komando pemerintah pusat dan menuntut otonomi daerah yang lebih luas. Tuntutan ini berujung pada konfrontasi terbuka dengan TNI.Pertempuran sengit tak terelakkan. Bambu runcing beradu dengan senjata api, semangat juang berbenturan dengan strategi militer. BBR, meskipun dengan persenjataan sederhana, bertempur dengan gagah berani.

Mereka memanfaatkan keahlian gerilya yang mereka pelajari selama melawan penjajah, menyusup di hutan belantara, dan melancarkan serangan mendadak.Namun, kekuatan TNI yang lebih terorganisir dan persenjataan modern akhirnya menentukan jalannya pertempuran.

BBR terdesak, satu per satu basis pertahanan mereka jatuh ke tangan TNI. Bambang Soepeno sendiri akhirnya tertangkap dan dijatuhi hukuman mati.Perlawanan BBR berakhir tragis. Ribuan pejuang gugur di medan laga, sisanya terpencar atau menyerahkan diri.

Namun, sejarah mencatat keberanian dan idealisme mereka. Mereka adalah bagian dari perjalanan bangsa, cermin dari dinamika perjuangan yang penuh liku.Kisah BBR adalah sebuah paradoks. Mereka adalah pejuang kemerdekaan yang berbalik melawan pemerintahan yang mereka perjuangkan. Mereka adalah pahlawan yang terlupakan, dianggap sebagai pemberontak oleh sejarah resmi.