VOC Jadikan Sri Lanka Tempat Pembuangan Orang Pribumi Hingga Raja Jawa

Afif Khoirul M

Penulis

Ilustrasi - Amangkurat III Raja mataram yang berakhir di tangan VOC.

Intisari hadir di WhatsApp Channel, follow dan dapatkan berita terbaru kami di sini

---

Intisari-online.com -Sri Lanka, pulau yang dijuluki Mutiara Samudra Hindia, menyimpan keindahan alam yang memesona. Pantai-pantai berpasir putih, perkebunan teh yang menghijau, dan reruntuhan kuno yang megah menjadi daya tarik bagi para pelancong dari seluruh penjuru dunia.

Namun, di balik keindahannya, tersimpan sejarah kelam yang memilukan, sebuah kisah tentang penindasan dan pembuangan yang dilakukan oleh Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC), kongsi dagang Belanda yang berkuasa di Nusantara pada abad ke-17 dan ke-18.

Sri Lanka, yang saat itu dikenal sebagai Ceylon, menjadi saksi bisu atas kekejaman VOC.

Pulau yang dulunya merupakan pusat perdagangan rempah-rempah ini, berubah menjadi tempat pembuangan bagi orang-orang pribumi yang dianggap membangkang oleh VOC.

Tak hanya rakyat jelata, bahkan para raja dan bangsawan Jawa pun tak luput dari pengasingan yang menyakitkan ini.

Gelombang Pengasingan yang Menghantam Nusantara

Pada masa kejayaannya, VOC tak segan menggunakan kekerasan untuk mempertahankan kekuasaannya di Nusantara.

Pemberontakan-pemberontakan yang muncul dari berbagai daerah dihadapi dengan tangan besi.

Para pemimpin pemberontakan, baik dari kalangan rakyat biasa maupun bangsawan, ditangkap dan diasingkan ke tempat-tempat terpencil, termasuk Ceylon.

Salah satu contoh yang paling terkenal adalah pengasingan Sultan Ageng Tirtayasa, raja Banten yang gigih melawan VOC.

Setelah bertahun-tahun berjuang, Sultan Ageng akhirnya ditangkap dan diasingkan ke Batavia. Namun, VOC khawatir pengaruh Sultan Ageng masih kuat di Batavia, sehingga ia dipindahkan ke Ceylon pada tahun 1683.

Di pulau yang jauh dari tanah kelahirannya, Sultan Ageng menghabiskan sisa hidupnya dalam kesunyian dan penderitaan.

Tak hanya Sultan Ageng, VOC juga mengasingkan Pangeran Diponegoro, pahlawan nasional Indonesia yang memimpin Perang Jawa (1825-1830).

Setelah ditangkap melalui tipu muslihat, Pangeran Diponegoro diasingkan ke Manado, kemudian dipindahkan ke Makassar, dan akhirnya ke Batavia.

Pada tahun 1834, VOC memutuskan untuk memindahkan Pangeran Diponegoro ke Ceylon. Di sana, sang pangeran wafat pada tahun 1855, jauh dari tanah air dan keluarga tercinta.

Ceylon: Tanah Pengasingan yang Penuh Derita

Pengasingan ke Ceylon merupakan hukuman yang berat bagi orang-orang pribumi. Mereka harus meninggalkan keluarga, tanah air, dan segala yang mereka cintai.

Perjalanan laut yang panjang dan penuh bahaya, ditambah dengan kondisi hidup yang keras di Ceylon, membuat banyak orang meninggal dalam perjalanan atau tak lama setelah tiba di pulau tersebut.

Bagi mereka yang berhasil bertahan hidup, kehidupan di Ceylon penuh dengan kesulitan. Mereka ditempatkan di kamp-kamp pengasingan yang terisolasi, jauh dari masyarakat Ceylon.

Kebebasan mereka dibatasi, dan mereka dipaksa untuk bekerja keras tanpa upah. Banyak yang meninggal karena penyakit, kelaparan, atau kekerasan.

Jejak Sejarah yang Terlupakan

Kisah pengasingan orang-orang pribumi ke Ceylon merupakan bagian dari sejarah kelam kolonialisme di Nusantara.

Sayangnya, kisah ini sering terlupakan atau diabaikan dalam catatan sejarah. Padahal, kisah ini penting untuk diingat sebagai pengingat akan penderitaan yang dialami oleh nenek moyang kita akibat penjajahan.

Jejak-jejak sejarah pengasingan ini masih dapat ditemukan di Sri Lanka. Beberapa makam orang-orang pribumi, termasuk makam Sultan Ageng Tirtayasa, masih terawat di Colombo, ibu kota Sri Lanka.

Makam-makam ini menjadi saksi bisu atas kekejaman VOC dan perjuangan orang-orang pribumi untuk mempertahankan tanah air dan martabat mereka.

Refleksi dan Pembelajaran

Kisah pengasingan orang-orang pribumi ke Ceylon mengajarkan kita tentang pentingnya menghargai kemerdekaan dan keadilan.

Kita harus belajar dari sejarah kelam ini agar tidak terulang kembali di masa depan. Kita juga harus menghormati jasa para pahlawan yang telah berjuang untuk kemerdekaan Indonesia, termasuk mereka yang diasingkan ke Ceylon.

Semoga artikel ini dapat memberikan gambaran yang lebih jelas tentang sejarah kelam pengasingan orang-orang pribumi ke Ceylon.

Mari kita jaga ingatan akan sejarah ini dan terus berjuang untuk mewujudkan Indonesia yang merdeka, adil, dan bermartabat.

Sumber:

Ricklefs, M.C. (2008). Sejarah Indonesia Modern 1200–2008. Jakarta: Serambi.

Vlekke, B.H.M. (1943). Nusantara: A History of the East Indian Archipelago. Cambridge, MA: Harvard University Press.

Sejarah Nasional Indonesia. (2010). Jakarta: Kementerian Pendidikan Nasional.

Poesponegoro, M.D., & Notosusanto, N. (Eds.). (1990). Sejarah Nasional Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.

*

Intisari hadir di WhatsApp Channel, follow dan dapatkan berita terbaru kami di sini

---

Artikel Terkait