Penulis
Babak ini mengisahkan tentang dua tokoh yang berjuang dengan gigih untuk mewujudkan mimpi kemerdekaan, namun pada akhirnya terjerumus dalam pusaran gerakan separatis yang tragis.
Christian Robert Steven Soumokil, seorang mantan Jaksa Agung Negara Indonesia Timur (NIT), dan rekan seperjuangannya, memimpin Republik Maluku Selatan (RMS) dalam upaya memisahkan diri dari pangkuan Ibu Pertiwi.
Pemberontakan RMS bukanlah peristiwa yang tiba-tiba muncul tanpa sebab. Akarnya tertanam dalam sejarah panjang Maluku, yang telah mengalami berbagai bentuk penjajahan dan pergolakan politik.
Ketika Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya pada tahun 1945, Maluku masih berada di bawah kekuasaan Belanda. Pada tahun 1949, Belanda akhirnya mengakui kedaulatan Indonesia, namun dengan syarat pembentukan Republik Indonesia Serikat (RIS), sebuah federasi yang terdiri dari beberapa negara bagian, termasuk NIT.
Bagi sebagian masyarakat Maluku, pembentukan RIS dianggap sebagai bentuk ketidakadilan. Mereka merasa bahwa Maluku seharusnya menjadi negara merdeka, bukan bagian dari federasi yang dipimpin oleh Jawa.
Sentimen ini semakin menguat ketika pemerintah RIS memutuskan untuk membubarkan NIT dan menggabungkannya dengan Republik Indonesia pada tahun 1950.
Keputusan ini memicu kemarahan dan kekecewaan di kalangan masyarakat Maluku, terutama mereka yang menginginkan kemerdekaan penuh.
Proklamasi RMS: Mimpi Kemerdekaan yang Kandas
Di tengah gejolak politik yang melanda Maluku, Christian Robert Steven Soumokil muncul sebagai pemimpin gerakan separatis.
Pada tanggal 25 April 1950, ia memproklamasikan berdirinya Republik Maluku Selatan (RMS) di Ambon. Proklamasi ini disambut dengan antusiasme oleh sebagian masyarakat Maluku, yang melihat RMS sebagai harapan untuk mewujudkan mimpi kemerdekaan.
Namun, pemerintah Indonesia tidak tinggal diam. Mereka menganggap RMS sebagai ancaman bagi keutuhan negara dan segera mengambil tindakan tegas. Pada bulan Juli 1950, pasukan TNI melancarkan operasi militer besar-besaran untuk menumpas pemberontakan RMS.
Pertempuran sengit terjadi di berbagai wilayah Maluku, menyebabkan banyak korban jiwa di kedua belah pihak.
Proklamasi RMS bukanlah sekadar deklarasi kosong. Soumokil dan para pengikutnya bergerak cepat untuk membangun kekuatan militer, merekrut pemuda-pemuda Maluku yang bersemangat, dan mempersenjatai mereka dengan sisa-sisa persenjataan peninggalan Perang Dunia II.
Mereka juga menjalin hubungan dengan Belanda, berharap mendapatkan dukungan dari mantan penjajah tersebut.
Sementara itu, pemerintah Indonesia tidak tinggal diam. Presiden Soekarno mengirimkan pasukan TNI yang dipimpin oleh Kolonel A.E. Kawilarang untuk menumpas pemberontakan.
Pada bulan Juli 1950, operasi militer besar-besaran dimulai. Pertempuran sengit berkecamuk di seluruh Maluku, dari Ambon hingga Seram.
Meskipun kalah jumlah dan persenjataan, pasukan RMS berjuang dengan gigih. Mereka memanfaatkan medan yang sulit, melakukan serangan gerilya, dan mengandalkan dukungan dari sebagian masyarakat Maluku.
Soumokil sendiri memimpin pasukannya dari garis depan, menunjukkan keberanian dan tekad yang luar biasa.
Namun, seiring berjalannya waktu, pasukan RMS mulai terdesak. Serangan TNI yang gencar, ditambah dengan blokade laut yang efektif, membuat mereka kesulitan mendapatkan pasokan makanan dan amunisi. Satu per satu, kota-kota penting di Maluku jatuh ke tangan TNI.
Pada bulan November 1950, Soumokil dan sisa-sisa pasukannya terpaksa mundur ke pedalaman Pulau Seram. Mereka terus melakukan perlawanan, namun semakin terisolasi dan putus asa. Akhirnya, pada tanggal 2 Desember 1950, Soumokil ditangkap oleh pasukan TNI.
Penangkapan Soumokil menandai berakhirnya pemberontakan RMS secara militer. Namun, perjuangan mereka belum sepenuhnya padam. Banyak anggota RMS yang berhasil melarikan diri ke Belanda, di mana mereka terus menyuarakan aspirasi kemerdekaan Maluku.
Soumokil sendiri diadili dan dijatuhi hukuman mati, namun eksekusinya baru dilaksanakan pada tahun 1966.
Akhir Tragis Pemberontakan: Mimpi yang Terkubur dalam Debu
Meskipun pemberontakan RMS telah berakhir, namun luka sejarah yang ditinggalkannya masih terasa hingga kini. Bagi sebagian masyarakat Maluku, Soumokil tetap dianggap sebagai pahlawan yang berjuang untuk kemerdekaan.
Namun, bagi sebagian lainnya, ia adalah seorang pemberontak yang telah mengorbankan banyak nyawa demi ambisi pribadi.
Pemberontakan RMS adalah bagian dari sejarah Indonesia yang penuh gejolak. Meskipun telah berlalu puluhan tahun, namun peristiwa ini tetap menjadi pelajaran berharga bagi kita semua.
Penting bagi kita untuk mengenang sejarah dengan bijak, menghargai perjuangan para pahlawan, dan belajar dari kesalahan masa lalu.
Semoga kita semua dapat mengambil hikmah dari peristiwa ini dan bersama-sama membangun Indonesia yang lebih baik di masa depan.
*