Penulis
[ARSIP Intisari]
Stasiun Lampegan adalah saksi bisu perkembangan kereta api di tanah Jawa. Di atas tanahnya bertaut antara legenda dan cerita nyata.
Penulis: Hendi Johari untuk Majalah Intisari edisi EXTRA 2012
---
Intisari hadir di WhatsApp Channel, follow dan dapatkan berita terbaru kami di sini
---
Intisari-Online.com -Pagi yang cerah di Stasiun Lampegan, Cianjur, Zaenuddin, 47 tahun, termenung di sebuah bangku kayu yang hampir reyot. Keningnya berkerut. Tatapannya seolah ingin menembus layar laptop yang tengah menampilkan foto tua Stasiun Lampegan dalam warna hitam putih tersebut.
Sementara itu di sisi kanan-kirinya, beberapa anak muda ikut melongo dalam tatapan yang agak kurang percaya.
"Enyaan euy, teu nyangka urang bisa ningali foto Lampegan ratusan taun katukang (Benar-benar, saya tidak menyangka bisa melihat foto Lampegan ratusan tahun yang lalu)," ujarnya dalam nada takjub.
Seperti saya, Zaenuddin pantas merasa takjub. Foto yang tengah ia lihat adalah hasil jepretan seorang fotografer Belanda pada 1895.
Saya bisa dapatkan foto itu secara tak sengaja kala tengah mencari data-data tentang Batavia abad ke-19 di situs KITLV (Koninklijk Instituut voor de Taal Land en Volkenkunde van Nederlandsch-Indie atau Institut Kerajaan untuk Bahasa, Budaya dan Sejarah Hindia Belanda) pada 2006.
Sebagai orang yang selalu merasa tertarik dengan sejarah, sejak itu saya bercita-cita merekonstruksi cerita dari foto tersebut. Sebuah cita-cita yang akhirnya terwujud belakangan.
Bersama Rahmat Safari dan Helmy Adam, hampir dua jam lamanya kami mengubek-ubek kawasan Stasiun Lampegan, coba mencari posisi yang tepat sesuai saat sang fotografer mengambil gambar tersebut 114 tahun yang lalu.
Akhirnya kami menemukan tempat yang dianggap paling mungkin dari posisi sang pengambil gambar itu. Yakni sebuah rumah tua zaman Belanda yang letaknya persis di depan Stasiun Lampegan. "Ya kalau pun enggak persis, agak mendekatilah," kata Rahmat kepada saya.
Stasiun Lampegan dibuat sekitar 1879. Angka itu mengacu pada tahun awal pembuatan terowongan Lampegan, sebuah terowongan sepanjang 415 meter yang dibuat dengan meledakkan bagian tengah badan Gunung Kancana yang menaungi kawasan tersebut.
Pembangunan terowongan selesai 1882 sebagai penghubung jalur kereta api Sukabumi-Cianjur-Bandung. Peresmiannya dilakukan oleh para pejabat Belanda dan menak-menak lokal.
Untuk memeriahkan peresmian tersebut, pada malam harinya pihak jawatan kereta api Hindia Belanda tak lupa mengundang juga Nyi Sadea, seorang ronggeng terkenal di daerah tersebut. Malang bagi Nyi Sadea, usai meronggeng, seseorang mengajaknya pergi dan sejak itu ia tak pernah kembali.
"Entah dibunuh atau diapain, orang-orang enggak tahu," kata Zaenuddin yang mengaku dapat cerita tersebut dari sang kakek.
Raibnya Nyi Sadea memunculkan rumor beraroma mistis di kalangan masyarakat sekitar. Sebagian masyarakat di sana yakin, perempuan cantik itu telah dijadikan tumbal pembangunan terowongan Lampegan.
Konon tubuhnya ditanam di salah satu dinding beton di sebelah dalam terowongan. Sejak itu menurut Dachlan, tokoh masyarakat setempat, Nyi Sadea beredar sebagai arwah penasaran dan sekaligus menjadi penghuni gaib terowongan Lampegan.
"Katanya dia diperistri oleh Ranggawulung, penguasa gaib di kawasan ini. Dan sekali-sekali sering menampakkan diri di terowongan," ujar lelaki kelahiran 1957 itu. Entah benar atau tidak, nyatanya hingga kini masyarakat setempat seolah menggenggam erat kisah skandal tersebut.
Sebelum ada jalur kereta api, kawasan Lampegan hanya dikenal sebagai kawasan Cikancana. Bisa jadi, itu mengacu kepada Gunung Kancana. Lalu dari mana munculnya nama Lampegan?
Tak lain itu berasal dari kondektur spur yang tiap menjelang terowongan kerap berteriak: “Steek lampen aan!” yang berarti “nyalakan lampu”. Di telinga orang Sunda kata-kata itu seolah terdengar sebagai lampegan.
Kini Stasiun Lampegan masih kokoh berdiri. Begitu pula dengan terowongannya yang pada 2005 sempat mengalami longsor hingga mematikan jalur Sukabumi - Cianjur - Bandung. Namun setelah para insinyur Jepang turun tangan pada 2006, jalur tua itu dinyatakan laik kembali digunakan.
”Katanya sih aktif lagi setelah Lebaran tahun ini," kata Zaenuddin merujuk kepada Idul Fitri tahun 2011. Namun sampai sekarang, buktinya belum aktif juga. Pagi yang cerah di Lampegan belum juga enyah.
Tak terasa orang-orang semakin banyak berkerumun di sekitar kami. Tatapan mereka masih tertuju pada tampilan foto tua di layar laptop saya. Ya 115 tahun memang waktu yang lama, namun terowongan Lampegan tetap berdiri perkasa. Seolah saksi bisu yang menyimpan sejuta kenangan hidup dari para leluhur mereka.