Alasan Presiden Soekarno Menolak Membubarkan PKI

Afif Khoirul M

Penulis

DN Aidit (kanan) berbincang dengan Presiden Soekarno. Artikel ini mengulas sejarah peristiwa G30S PKI lengkap, dari penculikan jenderal hingga serangan berdarah yang mengguncang Indonesia.

Intisari hadir di WhatsApp Channel, follow dan dapatkan berita terbaru kami di sini

---

Intisari-online.com - Dalam panggung sejarah Indonesia, terdapat episode yang kerap mengundang perdebatan sengit, yaitu penolakan Presiden Soekarno untuk membubarkan Partai Komunis Indonesia (PKI).

Keputusan ini, yang diambil di tengah gejolak politik pasca Gerakan 30 September, menjadi titik api yang membakar amarah sebagian rakyat, sekaligus mengukuhkan keyakinan sebagian lainnya.

Lantas, apa yang mendorong sang proklamator untuk mempertahankan partai yang dianggap bertanggung jawab atas tragedi berdarah tersebut? Mari kita telusuri lorong waktu, menelisik alasan-alasan di balik pendirian Soekarno yang teguh.

Nasakom: Pilar Penyeimbang Bangsa

Salah satu faktor utama yang melatarbelakangi sikap Soekarno adalah keyakinannya akan Nasakom, sebuah konsep yang menyatukan Nasionalisme, Agama, dan Komunisme. Bagi Soekarno, ketiga unsur ini adalah pilar penyeimbang yang menopang bangunan Indonesia.

Nasionalisme merekatkan bangsa dalam semangat persatuan, Agama memberikan landasan moral dan spiritual, sementara Komunisme, dalam pandangannya, mewakili aspirasi kaum tertindas dan memperjuangkan keadilan sosial.

Pembubaran PKI, dalam kerangka Nasakom, akan menciptakan ketimpangan yang membahayakan. Soekarno khawatir bahwa absennya salah satu pilar akan menggoyahkan stabilitas nasional.

Nasionalisme tanpa Komunisme berpotensi melahirkan kesenjangan sosial yang eksplosif. Agama tanpa Komunisme rentan dimanipulasi untuk kepentingan politik sempit. Oleh karena itu, Soekarno berpendapat bahwa PKI, terlepas dari segala kontroversinya, tetap memiliki peran penting dalam menjaga keseimbangan ideologi bangsa.

PKI: Kekuatan Politik yang Signifikan

Pada masa Demokrasi Terpimpin, PKI menjelma menjadi kekuatan politik yang tak bisa dipandang sebelah mata. Partai ini memiliki basis massa yang besar, khususnya di kalangan buruh dan petani.

PKI juga berhasil menempatkan kader-kadernya di berbagai posisi strategis, baik di pemerintahan maupun di lembaga-lembaga negara.

Pembubaran PKI, dalam konteks ini, akan menciptakan kekosongan politik yang berpotensi memicu instabilitas.

Soekarno khawatir bahwa kelompok-kelompok lain akan berebut mengisi kekosongan tersebut, memicu konflik horizontal yang berkepanjangan. Selain itu, pembubaran PKI juga berisiko menimbulkan gejolak sosial, mengingat partai ini memiliki jutaan pendukung yang militan.

Trauma Pemberontakan PRRI/Permesta

Pengalaman pahit pemberontakan PRRI/Permesta pada akhir 1950-an masih membekas dalam ingatan Soekarno. Pemberontakan tersebut, yang dipicu oleh ketidakpuasan sejumlah tokoh daerah terhadap kebijakan pemerintah pusat, nyaris memecah belah Indonesia.

Soekarno khawatir bahwa pembubaran PKI akan memicu reaksi serupa dari para pendukung partai tersebut.

Apalagi, PKI memiliki jaringan yang luas dan militan di berbagai daerah. Pembubaran partai ini berpotensi memicu pemberontakan berskala besar yang mengancam keutuhan NKRI.

Keyakinan akan Revolusi yang Belum Selesai

Soekarno adalah seorang revolusioner sejati. Baginya, kemerdekaan Indonesia hanyalah langkah awal dalam perjuangan panjang menuju masyarakat yang adil dan makmur.

Soekarno percaya bahwa revolusi belum selesai, dan PKI, sebagai partai yang mengusung agenda perubahan sosial radikal, memiliki peran penting dalam mewujudkan cita-cita tersebut.

Pembubaran PKI, dalam pandangan Soekarno, akan menghambat laju revolusi. Ia khawatir bahwa tanpa PKI, semangat perubahan akan padam, dan Indonesia akan terjebak dalam stagnasi.

Soekarno berpendapat bahwa PKI, dengan segala kekurangannya, tetap merupakan kekuatan progresif yang mendorong Indonesia menuju masa depan yang lebih baik.

Ketidakpercayaan terhadap Militer

Hubungan Soekarno dengan militer, khususnya Angkatan Darat, mengalami pasang surut. Soekarno menyadari bahwa militer memiliki ambisi politik yang besar, dan pembubaran PKI berpotensi memperkuat posisi mereka.

Ia khawatir bahwa militer akan memanfaatkan situasi untuk mengambil alih kekuasaan, mengakhiri era Demokrasi Terpimpin, dan mengubur cita-cita revolusi.

Oleh karena itu, Soekarno berusaha menjaga keseimbangan kekuatan antara PKI dan militer. Ia berpendapat bahwa keberadaan PKI, sebagai kekuatan penyeimbang, dapat mencegah militer bertindak sewenang-wenang.

Pembubaran PKI, dalam konteks ini, akan mengganggu keseimbangan tersebut dan membuka jalan bagi militer untuk mendominasi panggung politik.

Penolakan Soekarno untuk membubarkan PKI adalah keputusan kompleks yang dilatarbelakangi oleh berbagai faktor, mulai dari keyakinan ideologis hingga pertimbangan politik praktis.

Keputusan ini, terlepas dari segala kontroversinya, mencerminkan keyakinan Soekarno akan pentingnya menjaga keseimbangan kekuatan dan melanjutkan perjuangan revolusi.

Sejarah telah mencatat bahwa penolakan Soekarno untuk membubarkan PKI berujung pada peristiwa-peristiwa tragis yang mengubah wajah Indonesia. Namun, di balik keputusan tersebut, terdapat pemikiran seorang negarawan yang berusaha mempertahankan cita-cita luhur bangsa di tengah gejolak politik yang dahsyat.

Sumber:

Asvi Warman Adam, Soeharto: Political Biography, 2012.

John Roosa, Pretext for Mass Murder: The September 30th Movement and Suharto's Coup d'État in Indonesia, 2006.

Benedict Anderson and Ruth McVey, A Preliminary Analysis of the October 1, 1965, Coup in Indonesia, 1971.

Robert Cribb, The Indonesian Killings of 1965-1966, 1990.

*

Intisari hadir di WhatsApp Channel, follow dan dapatkan berita terbaru kami di sini

---

Artikel Terkait