Find Us On Social Media :

Ketika Malaka Diguncang Oleh Raja Jawa!

By Afif Khoirul M, Selasa, 17 September 2024 | 10:10 WIB

Ilustrasi - Tujuan pengiriman pasukan Kerajaan Demak ke Malaka di bawah pimpinan Pati Unus.

Intisari hadir di WhatsApp Channel, follow dan dapatkan berita terbaru kami di sini

---

Intisari-online.com - Ketika mentari pagi menyingsing di ufuk timur Nusantara, berita duka menggetarkan jiwa-jiwa yang merdeka. Malaka, mutiara berkilauan di Selat Malaka, telah jatuh ke dalam cengkeraman Portugis. Bukan sekadar pertukaran kekuasaan, namun ini adalah pertanda awal gelombang kesombongan dan nafsu monopoli yang belum pernah disaksikan oleh bangsa-bangsa Timur.

Di balik layar pertempuran, tersembunyi niat jahat yang lebih besar. Portugis, dengan topeng perdagangan, telah memperlihatkan ambisi sebenarnya, yaitu memerangi Islam. Goa di India menjadi saksi bisu atas kekejaman mereka. Kini, bayang-bayang hitam itu menyelimuti Nusantara.

Tak hanya Aceh atau kesultanan-kesultanan di Sumatera yang merasakan kepedihan ini. Demak, kerajaan Islam utama di Tanah Jawa, tergerak untuk membebaskan Malaka dari belenggu penjajah.

Dikutip dari buku Kutujo, Sutrisno. "Pejuang Bangsa, 1982, Jakarta", Pati Unus, panglima besar Demak, berseru lantang, "Jika Demak ingin tetap hidup, jangan biarkan Portugis menguasai negeri kita! Malaka telah jatuh, esok mereka akan mengincar Demak, Aceh, dan Palembang. Kita harus bersatu, menyerang mereka di Malaka!"

Pati Unus, yang bernama asli Raden Surya atau Abdul Qadir Bin Yunus, bukanlah sosok sembarangan. Lahir di Jepara pada tahun 1480, ia tumbuh menjadi pemuda yang dihormati. Pernikahannya dengan putri Raden Patah, Sultan Demak I, mengukuhkan posisinya sebagai Adipati Jepara. Sejak saat itu, ia lebih dikenal sebagai Pati Unus, putra Yunus yang gagah berani.

Akhir abad ke-15 dan awal abad ke-16 adalah masa pergolakan. Persaingan dakwah dan perdagangan di Asia Tenggara semakin sengit. Kejatuhan Malaka memaksa Demak menjalin kerjasama erat dengan Banten dan Cirebon.

Rute perdagangan alternatif harus dibuka, melewati Pasai, menyusuri pantai barat Sumatera, masuk melalui Selat Sunda, lalu mengarungi lautan Jawa menuju Maluku.

Sunan Gunung Jati, pembina umat Islam, menunjuk Pati Unus sebagai panglima gabungan armada Islam. Dengan gelar Senapati Sarjawala, ia mengemban tugas suci: merebut kembali Malaka.

Tahun 1512, Samudra Pasai juga takluk pada Portugis. Tugas Pati Unus semakin mendesak. Tahun 1513, ekspedisi Jihad I diberangkatkan menuju Malaka.

Sebelum menyerang, Pati Unus melakukan persiapan matang. Mata-mata dari kalangan pedagang Jawa di Malaka dikerahkan untuk mengumpulkan informasi. Benteng A Farmosa, pusat pertahanan Portugis, telah dipersenjatai dengan meriam-meriam mematikan. Kapal-kapal perang Pati Unus dimodifikasi untuk menghadapi ancaman ini.

Dengan restu Sultan Fattah, 100 kapal dan 5.000 pasukan berangkat dari Jepara. Melalui Palembang dan sungai Kampar, mereka mendekati Malaka.

Januari 1513, serangan mendadak dilancarkan. Pasukan Pati Unus, yang kini berjumlah 12.000 berkat bantuan dari Palembang, mengepung Malaka.

Portugis tak tinggal diam. Selain pasukan di benteng, 350 orang Eropa dan pribumi dengan 17 kapal dikerahkan untuk menghadang. Pasukan Islam dijebak masuk ke sungai Muar, tempat banyak kapal Demak dibakar dan ditenggelamkan.

Meriam-meriam Portugis, lebih canggih dari milik Pati Unus, menghujani kapal-kapal Demak dari jarak jauh. Pati Unus terpaksa mundur, kembali ke Jawa dengan luka mendalam. Sejak saat itu, ia dikenal sebagai Pangeran Sabrang Lor, pangeran yang menyeberang ke utara.

Meski gagal, semangat juang tak padam. Kesultanan-kesultanan Islam di Jawa masih bertekad membebaskan Malaka. Portugis secara terang-terangan menunjukkan permusuhan terhadap Islam. Demak harus bertindak.

Namun, jalan menuju serangan kedua tak mudah. Prabu Udhara, penguasa Kediri, sisa-sisa Majapahit lama, bersekutu dengan Portugis. Sultan Fattah murka. Pati Unus diperintahkan menumpas pemberontakan Kediri.

Tahun 1518, Sultan Fattah mangkat. Sebelum wafat, ia mewasiatkan kepemimpinan Demak kepada Pati Unus. Kini, Pati Unus adalah Sultan Demak II.

Imperialisme Katolik Spanyol telah mencapai Kesultanan Sulu di Filipina. Pati Unus semakin yakin, Malaka harus segera diserang sebelum Portugis mengincar Jawa.

Persiapan besar-besaran dilakukan. Logistik, pasukan, dan 375 kapal dari Gowa siap berlayar. Tahun 1521, setelah berbulan-bulan mengarungi samudra, armada Pati Unus tiba di Malaka. Benteng A Farmosa telah menanti.

Pertempuran dahsyat pecah. Meriam-meriam raksasa memuntahkan bola-bola api. Kapal-kapal berjuang maju, sulit menghindari serangan. Perang berkecamuk selama tiga hari tiga malam.

Namun, takdir berkata lain. Kapal Jung Pati Unus terkena tembakan fatal. Sultan Demak gugur, tenggelam bersama kapal kebanggaannya.

Fadhlulah Khan, atau Tubagus Pasai, mengambil alih komando. Pasukan gabungan mundur ke pantai Sumatera, lalu kembali ke Jawa dengan hati pilu.

Perjuangan melawan Portugis belum berakhir. Pertempuran besar lainnya, terutama di Sunda Kelapa, masih menanti. Fadhlulah Khan diangkat menjadi panglima baru oleh Sunan Gunung Jati.

Kisah Pati Unus adalah syair kepahlawanan yang abadi. Semangatnya melawan penindasan dan imperialisme adalah teladan bagi generasi penerus bangsa. Ia syahid sebagai pemimpin besar yang memilih jihad fisabilillah daripada tunduk pada kekuatan yang ingin menghapus kalimat tauhid di Nusantara.

Meski Malaka tak terbebaskan, perjuangan Pati Unus tetap bermakna. Ia adalah simbol perlawanan, pengingat bahwa semangat juang tak pernah padam. Namanya terukir indah dalam sejarah Indonesia, menginspirasi setiap jiwa yang mendambakan kemerdekaan sejati.

*

Intisari hadir di WhatsApp Channel, follow dan dapatkan berita terbaru kami di sini

---