Penulis
[ARSIP]
Bulutangkis memang dipopuler oleh bangsa Eropa, terutama Inggris. Tapi olahraga ini justru menjadi andalan bangsa Asia mendulang piala.
Pertama tayang di Intisari pada Agustus 1964
---
Intisari hadir di WhatsApp Channel, follow dan dapatkan berita terbaru kami di sini
---
Intisari-Online.com -Akar bulutangkis memang dari Asia, persisnya India, yang dikenal sebagai "poona". Meski begitu, Inggris-lah negara pertama yang memperkenalkan olahraga yang kelak kita kenal sebagai badminton atau bulutangkis ini.
Diperkenalkan dan diklaim sebagai permainan orang-orang Eropa, mengapa bulutangkis justru menjadi andalan manusia-manusia Asia?
Persatuan bulutangkis pertama di dunia dibentuk di Inggris. Persatuan itu didirikan pada 1893. Ketika itu bahkan negara bagian Wales, Skotlandia, dan Irlandia belum ikut serta. Dewasa ini dalam persatuan tertua tersebut tergabung kira-kira 2.800 perkumpulan. Jumlah anggotanya kurang lebih 100 ribu.
Turnamen terbesar tingkat internasional bagi perorangan yang pada umumnya dipandang sebagai turnamen kejuaraan dunia tidak resmi juga berkembang di sana. Bahkan turnamen-turnamen beregu antar negara, baik untuk wanita dengan Uber Cup-nya maupun untuk pria dengan Thomas Cup-nya, diciptakan pula oleh orang-orang di sana.
Baca Juga: 4 Agustus 1992: Medali Emas Pertama Olimpiade untuk Indonesia
Namun sejak bulutangkis menjadi olahraga dunia, supremasi internasional belum pernah dipegang oleh negeri induknya sendiri, tapi negara-negara di Asia. Thomas Cup, misalnya, sejak diperebutkan untuk pertama kali pada 1949/1950, praktis cuma sekali mampir ke Eropa, tepatnya di Denmark, pada 2016 lalu.
Hal ini nampaknya ganjil jika kita ingat perhatian yang demikian besar di negeri induk itu. Seperti inisiatif untuk meluaskan bulutangkis ke seluruh dunia; juga usaha-usaha intensif untuk menyelenggarakan kompetisi dan turnamen-turnamen tahunan baik antardaerah maupun secara perorangan, baik yang internasional terbuka maupun yang terbuka secara regional saja.
Pada hakikatnya bentuk dan rupa semua manusia adalah sama, sekalipun ada yang bertubuh besar dan kecil. Namun manusia-manusia yang sama itu bakat dan pembawaannya ternyata dapat berlainan.
Dari bentuk badan dan rupa seseorang, kita tidak dapat memastikan terlebih dahulu dalam cabang olahraga mana ia memiliki bakat luar biasa. Kita tidak dapat tahu, di mana seseorang akan mencapai prestasi setinggi-tingginya sebelum dia terjun di bidang olahraga yang ditekuni.
Akan tetapi karena masing-masing cabang olahraga mempunyai ciri-ciri yang khas dan karenanya memerlukan kemampuan jasmaniah khusus, maka cara dan daya sesuatu bangsa dalam mencapai prestasi yang setinggi-tingginya dalam cabang olahraga tertentu dapat merupakan tanda-tanda dari adanya bakat luar biasa untuk cabang olahraga itu.
Perkembangan bulutangkis sampai saat ini menunjukkan bahwa bangsa Asia rupa-rupanya memiliki ciri-ciri fisik khas yang menguntungkan untuk mengejar taraf permainan tertinggi dalam cabang tersebut.
Di Asia olahraga ini baru diperkembangkan secara resmi pada 1934, ialah ketika di India dan Malaya (sekarang Malaysia) terbentuk persatuan-persatuan bulutangkis. Lima belas tahun kemudian, ketika Piala Thomas untuk pertama kali dipertaruhkan dalam turnamen internasional (1949), dua negara tersebut sudah mempunyai reputasi internasional yang baik. Bahkan pemain-pemain Malaya berhasil menggondol piala itu ke tanah airnya.
Jika berkecamuknya perang dunia kita perhitungkan, masa pertumbuhan pemain-pemain Malaya itu relatif sangat pendek. Dalam jangka waktu kurang lebih 12 tahun mereka berhasil merebut keunggulan mutlak di dunia.
Walaupun sebelum pendudukan Jepang di Indonesia olahraga bulutangkis telah digemari (beberapa pemain bahkan sudah dapat digolongkan kelas internasional), namun pertumbuhan secara teratur baru mulai sekitar 1950-an. Kompetisi resmi untuk memperebutkan kejuaraan Indonesia baru berlangsung pada 1954. Ketika itu Ferry Sonneville, misalnya, memperoleh kedudukan yang baik dalam dunia internasional.
Pada 1958, ketika Indonesia untuk pertama kali memberanikan diri ikut Thomas Cup, serta merta gelar juara lepas dari tangan Malaysia secara mengesankan dan mutlak.
Pun begitu dengan diMuangthai (sekarang Thailand), bulutangkis baru benar-benar berkembang secara teratur pada 1950. Tapi pada 1961 pemain-pemainnya sudah berhasil mencapai challenge round dalam perebutan Thomas Cup. Dan dalam kontes di Tokyo di awal 1960-an, walaupun kalah dari Denmark, negara tersebut menunjukkan dirinya sebagai "bahaya besar" turnamen tersebut.
Dari sejarah perkembangan bulutangkis dapat ditarik kesimpulan: pada umumnya bangsa Asia memiliki berbagai gerak dan ketangkasan yang memungkinkan mereka menguasai olahraga tersebut serta mencapai tingkat prestasi yang tinggi. Dengan bakat-bakat jasmaniah itu, pemain-pemain Asia dalam waktu singkat dapat mengembangkan permainan sampai pada tingkat yang setinggi-tingginya.
Tentunya faktor-faktor lain seperti kesanggupan, ketekadan, dan kesempatan, juga berpengaruh.
Dalam situasi dan kondisi yang sama (seperti bentuk jasmani, kesempatan berlatih, dan bertanding) umumnya pemain-pemain Asia dapat mencapai tingkat yang sama tingginya dengan pemain-pemain Eropa ini pun dalam jangka waktu yang lebih pendek serta dengan cara yang lebih mengesankan.
Di samping keterampilan, faktor-faktor jasmaniah seperti kecepatan, daya-reaksi yang cepat dan peka kelemasan sendi-sendi terutama pada pergelangan tangan, merupakan bakat-bakat dan pembawaan yang khas pada sebagian besar bangsa Asia.
Bahwa di antara pemain-pemain bangsa Eropa justru pemain-pemain Denmark berhasil menempatkan dirinya pada tingkat teratas di dunia sesudah pemain-pemain Asia kiranya itu bukan suatu kebetulan saja. Pertama-tama dapat dikemukakan sistem pendidikan jasmani di negeri itu.
Di Denmark latihan-latihan jasmani yang dijalankan secara teratur, penuh kesadaran dan keyakinan, telah membentuk manusia-manusia baik pria maupun wanita yang lebih cekatan, lebih lemas pada sendi-sendinya, dan lebih terampil daripada rata-rata lain-lain bangsa Eropa, yang iklim dan letak negaranya hampir bersamaan.
Salah satu orang di Denmark yang mempunyai peranan besar dalam sistem latihan jasmani yang demikian efektif adalah Niels Bukh. Niels yang berasal dari keluarga petani, menyadari betul kekurangan-kekurangan yang terdapat pada pemuda-pemuda petani. Di antaranya kakunya sendi-sendi dan berbagai bagian otot-otot yang telah menjadi pendek-pendek.
Kaku-kaku pada pemuda-pemuda petani itu, oleh Niels, kemudian dipanjangkan dan dilemaskan lagi sehingga pada akhirnya fisik mereka dapat digunakan untuk latihan-latihan dan pekerjaan lain. Sebagian besar dasar latihan-latihan yang dilakukan oleh atlet-atlet Denmark dalam warming up hingga saat ini berasal dari kerja Niels Bukh.
Di samping keterampilan yang diperoleh berkat sistem latihan jasmani, di Denmark kesempatan merupakan faktor yang penting dalam menghasilkan pemain-pemain bulutangkis yang mahir dan tangkas.
Dalam bukunya Bulu Tangkis Bermutu, Ferry Sonneville mengatakan, pada 1958 di Kobenhavn, ibukota Denmark, terdapat perkumpulan-perkumpulan bulutangkis dengan gelanggang tertutup. Anggotanya berjumlah antara 300 sampai 1.000 orang. Setiap malam mereka berlatih secara teratur, di bawah pengawasan pelatih-pelatih ahli. Dengan begitu, Denmark dapat bersaing dengan negara-negara Asia di cabang bulutangkis, sekaligus menjadi anomali di sana.
Baca Juga: Susi Susanti, Didiskriminasi MeskiSudah Harumkan Negara Di Olimpiade