Find Us On Social Media :

Resume Singkat Sejarah PKI di Indonesia: dari Kedatangan Sneevlit hingga Tumpas Pasca-September 1965

By Moh. Habib Asyhad, Sabtu, 7 September 2024 | 08:48 WIB

Sejarah PKI

Resume singkat sejarah PKI di Indonesia: Berawal dari ide-ide sosialisme Henk Sneevlieet hingga menjadikan PKI sebagai salah satu partai terbesar di Indonesia pada masanya.

---

Intisari hadir di WhatsApp Channel, follow dan dapatkan berita terbaru kami di sini

---

Intisari-Online.com - Di Indonesia kiwari, PKI atau Partai Komunis Indonesia serupa derangkong karena keberadaan dan kemunculannya ditakuti oleh banyak kalangan. Tapi sepakat atau tidak, partai yang terakhir dipimpin oleh D.N. Aidit itu telah mewarnai sejarah pergerakan dan perjuangan kemerdekaan Indonesia.

Inilah resume singkat sejarah PKI di Indonesia yang tak bisa dilepaskan dari sosok pemikir sosialis asal Belanda, Henk Seevliet.

PKI dibentuk pada 23 Mei 1914 dan dibubarkan pada 12 Maret 1966. Mengutip Kompas.com, PKI pernah menjadi salah satu partai terbesar di Indonesia sebelum akhirnya dilarang dan dibubarkan oleh pemerintah Orde Baru.

Terbentuknya PKI berawal dari sebuah organisasi bernama Indische Social Democratische Vereniging (ISDV). ISDV didirikan oleh seorang kaum sosialis Hindia Belanda, Henk Sneevliet pada tahun 1914. Sneevliet memiliki misi untuk menanamkan paham marxisme-komunisme terhadap perjuangan nasional Indonesia.

Cara yang Sneevliet lakukan yaitu dengan menyebarkan pemahamannya tersebut melalui organisasi buruh kereta api di Semarang. Pada kongres ISDV di Semarang, Mei 1920, nama organisasi ini diubah menjadi Perserikatan Komunis di Hindia (PKH).

Semaun menjadi ketua dalam partai tersebut, dibantu Darsono sebagai wakil. Semaun sendiri merupakan salah satu tokoh penting dalam sebuah organisasi bernama Sarekat Islam. Di organisasi tersebut, Semaun juga berusaha untuk menanamkan paham komunis yang kemudian menimbulkan perpecahan dua kubu, SI Merah (Komunis) dan SI Putih (Agamis).

Pada 1924 diadakan kongres Komintern kelima, di mana hasil dari kongres tersebut adalah adanya pengubahan nama kembali menjadi Partai Komunis Indonesia (PKI).

Pemberontakan PKI 1926

Dalam upaya menentang penjajahan, PKI menerapkan perjuangan yang bersifat radikal. Pada 25 Desember 1925, PKI mengadakan rapat besar yang mengundang pimpinan cabang PKI di seluruh Indonesia.

Rapat tersebut menghasilkan keputusan untuk melaksanakan aksi pemberontakan terhadap pemerintah kolonial Belanda di beberapa kota Indonesia. Pemberontakan itu terealisasi pada 1926-1927.

Dalam buku Sejarah Indonesia Modern: 1200-2004 (2005) karya M.C Ricklefs, aksi pemberontakan PKI berawal di Jakarta dan Tangerang pada tanggal 12 November 1926. Di Jakarta, PKI bergerak menyerang polisi Belanda dan merusak sambungan telepon untuk memutus komunikasi.

Setelah itu, PKI bergerak menuju penjara Glodok untuk membuat kerusuhan dan membebaskan beberapa tahanan. Pemberontakan PKI pada tahun 1926 meluas hingga ke karisidenan Banten, Bandung, Priangan Timur, Surakarta, Kediri, Banyumas, Pekalongan, dan Kedu.

Pola pemberontakan di daerah-daerah tersebut hampir sama dengan pola pemberontakan PKI di Jakarta. Pada 1927, pemberontakan PKI meluas hingga ke pulau Sumatera. Pusat pemberontakan PKI di Sumatera berlangsung di Sawah Lunto, Sumatera Barat.

Pemberontakan PKI pada tahun 1926-1927 mengalami kegagalan. Belanda melakukan penangkapan massal, pemenjaraan, pembunuhan, dan pembuangan terhadap anggota PKI. Pada akhirnya, PKI mengalami kehancuran dan seluruh gerakan revolusioner radikal Indonesia dibekukan oleh pemerintah kolonial Belanda.

Pemberontakan PKI Madiun

Pada tahun 1948, PKI kembali melakukan pemberontakan, kali ini berpusat di Madiun dan melawan negara sendiri. Pemberontakan PKI Madiun terjadi karena dilatarbelakangi oleh jatuhnya Kabinet Amir Syafruddin yang tidak lagi didukung setelah kesepakatan Perjanjian Renville pada 1948.

Dalam Perjanjian Renville, Belanda dianggap menjadi pihak yang paling diuntungkan, sedangkan Indonesia justru dirugikan. Setelah Kabinet Amir jatuh, Soekarno pun mengutus Moh. Hatta untuk membentuk kabinet baru, namun hal ini tidak disetujui oleh Amir dan kelompok komunisnya.

Amir yang dibantu Musso pun merencanakan sebuah strategi, di mana mereka akan menculik serta membunuh para tokoh di Surakarta. Pemberontakan ini menewaskan Gubernur Jawa Timur, RM Suryo.

Demi menghentikan kelanjutan pemberontakan tersebut, dilakukan operasi penumpasan yang dipimpin oleh Kolonel A.H. Nasution pada 20 September 1948. Musso pun berhasil ditemukan dan ditembak mati, sedangkan Amir dan para tokoh komunis lainnya ditangkap dan dijatuhi hukuman mati.

Pemilu 1955

Pemberontakan PKI di Madiun tidak menyurutkan dukungan bagi PKI. Pada pemilu 1955, PKI menduduki tempat keempat dengan perolehan 16 persen dari keseluruhan suara yang ada. Berselang dua tahun, 1957, Partai Masyumi yang juga terlibat dalam pemilu 1955 merasa tersaingi dengan PKI, sehingga partai ini menuntut agar PKI dilarang.

Tidak jauh dari peristiwa ini, dibentuklah Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) yang difungsikan untuk menangkap ribuan kader PKI di wilayah-wilayah yang mereka kuasai. Mengetahui hal tersebut, Soekarno yang mendukung sayap kiri pun mengeluarkan Undang-undang Darurat.

Pada 1960, Soekarno mencetus sebuah slogan bernama Nasakom yang berarti Nasionalisme, Agama, dan Komunisme. Dengan demikian maka peranan PKI sebagai mitra politik pun dilembagakan oleh Soekarno.

Akhir PKI

Bagi kalangan politik, kehadiran PKI sangat dirasakan, terutama menjelang peristiwa G30S, partai ini terasa semakin kuat. Para pesaing PKI pun merasa khawatir jika PKI akan memenangkan pemilu berikutnya, sebab itu mulailah muncul gerakan-gerakan untuk menentang PKI.

Gerakan tersebut dipelopori oleh Angkatan Darat. Pada Desember 1964, Chaerul Saleh dari Partai Murba (dibentuk oleh mantan pemimpin PKI, Tan Malaka) menyatakan bahwa PKI tengah mempersiapkan kudeta.

PKI menuntut larangan Partai Murba kepada Soekarno pada awal 1965. Soekarno yang berada di pihak PKI pun lantas tidak berusaha membatasi pergerakan PKI. Sebaliknya, DN Aidit selaku pemimpin PKI pada saat itu meyakini Dewan Jenderal akan mengudeta Soekarno.

Maka Aidit bersama sejumlah personel Tjakrabirawa menyusun rencana untuk menghadapkan jenderal Angkatan Darat yang diduga ingin mengudeta Soekarno. Rencana itu gagal sebab dalam pelaksanaannya pada 30 September dini hari, enam jenderal terbunuh.

Dari kejadian tersebut, Presiden Soekarno berusaha untuk meyakinkan bahwa PKI tidak terlibat sebagai partai dalam kejadian tersebut, melainkan adanya sejumlah tokoh PKI yang bertindak luar kendali. Untuk itu, Soekarno pun tidak bersedia untuk membubarkan PKI.

Meskipun begitu, banyak pihak yang menuntut bertanggung jawab. Setelah Soeharto mengambil alih kepemimpinan, ia membubarkan PKI dan menghabiskan 32 tahun kepemimpinannya untuk memusnahkan PKI serta semua yang berkaitan dengan PKI. Jutaan orang di berbagai penjuru di Indonesia menjadi korban karena dianggap PKI atau berhubungan dengan PKI.

Begitulah resume singkat sejarah PKI di Indonesia, semoga bermanfaat.