Penulis
Dalam sebuah perdebatan dengan Rocky Gerung, Silfester Matutina mengaku sudah membaca karya-karya Leo Tolstoy sejak SD. Siapa sosok Leo Tolstoy?
---
Intisari hadir di WhatsApp Channel, follow dan dapatkan berita terbaru kami di sini
---
Intisari-Online.com -Nama Leo Tolstoy tiba-tiba banyak disebut di media sosial. Hulunya adalah sebuah video perdebatan antara Silfester Matutina dan Rocky Gerung pada sebuah acara Talkshow bertajuk "Rakyat Bersuara" yang tayang di iNews.
Di situ Silfester, yang tak lain adalah Ketua Umum Solidaritas Merah Putih (Solmet) yang merupakan salah satu organisasi relawan Jokowi, mengaku sudah membaca Tolstoy sejak masih SD, tapi agak gelagapan saat ditanya balik oleh Rocky tentang buku Tolstoy yang mana yang dia baca. Barangkali banyak dari kita yang belum mengenal sosok sastrawan Rusia itu. Majalah Intisari pernah menuliskannya dengan judul "Leo Tolstoi sebagai Insan dan Sastrawan".
Ini cuplikannya untuk Anda:
----
"LEO TOLSTOY SEBAGAI INSAN DAN SASTRAWAN'
Barangkali sudah banyak di antara kita yang telah melihat film War and Peaceyang diadopsi dari novel karya Leo Tolstoy. Count (bangsawn Rusia) Leo N. Tolstoi seorang bangsawan pemilik tanah yang luas, cinta kepada kesusastraan dan terlebih cinta kepada kemanusiaan yang tercermin pada rakyat.
Tidak banyak yang tahu bahwa pujangga yang sanggup menghasilkan karya agung itu dalam hidup sehari-harinya merupakan seorang yang rendah hati suka bergaul dengan siapa pun. Pada zaman Tsar tidak mudah kita cari seorang Count yang mau bergaul dengan petani-petani miskin, dengan hubungan persaudaraan yang diikat oleh rasa harga menghargai. Namun Tolstoy termasuk ke dalam golongan yang sukar kita cari itu.
Tidak segan-segan dia turun tangan menolong membebatkan luka si sakit, memberi makan kepada mereka yang lapar serta memberi hiburan kepada mereka yang ditimpa duka nestapa. Hatinya mudah tersentuh jika dia melihat si kaya menistakan si miskin. Dan tidak segan-segan ia membela si miskin dalam menghadapi si kaya itu.
Pernah sekali terjadi, Tolstoy duduk di balkon Sweizerhof. Pada waktu itu Sweizerhof sedang penuh dikunjungi oleh golongan elite. Tiba-tiba datanglah seorang kelana pemain musik. Dia bermain musik di bawah balkon itu. Para Para tamu mendengarkan permainan pemain musik itu dengan gembira tetapi ketika dia mengulurkan topinya untuk menerima upahnya, tak seorang pun mau melemparkan mata uang.
Melihat kejadian itu naiklah darah Tolstoy. Golongan elite itu perlu pengajaran. Dengan tenang, Tolstoy turun dari balkon meraih tangan pemain musik itu. Puluhan pasang mata tertuju kepada Tolstoy. Namun dia tak peduli. Si pemain musik digandengnya diajak naik ke balkon. Kemudian dia memesan makanan dan sampanye. Mereka berdua makan-makan seolah-olah tidak ada suatu apa pun yang terjadi.
Perasaannya halus, sangat mudah tersinggung, karena itu dia tidak betah tinggal di Paris, kota seniman yang terkenal. Bagaimana pendapatnya tentang Paris?
"Paris sangat memuakkan, sehingga saya hampir gila karenanya. Di maison garnie tempat saya menumpang tinggal pula 36 pasangan. Bayangkan, 19 pasangan di antaranya merupakan pasangan haram. Hal itu sangat menjengkelkan. Di Paris pula saya melihat manusia di-guillotine. Memuakkan, melihat peristiwa itu akun tak dapat tidur dan tak tahu apa yang harus kuperbuat.”
Pengajaran si petani
Apakah kebahagiaan itu? Pertanyaan ini pun tak luput dari pikiran Tolstoy. Dengan kekayaannya dia bisa berbuat banyak, namun hatinya sering risau. Dia mencari dan terus mencari sumber kebahagiaan. Apakah orang-orang miskin dapat mengecap ketentraman hidup? Untuk ikut merasakan kehidupan petani yang berat dia sering mempergunakan waktunya yang terluang untuk menggarapkan tanah janda-janda yang miskin.
Ilya Repin pernah diajak Tolstoy mengerjakan ladang salah satu janda tersebut. Pengalaman Repin ini terjadi dalam Agustus yang terik. Pukul satu mereka berdua berangkat. Leo memakai baju kerja hitam yang telah luntur warnanya karena sering dijilat terik matahari. Enam jam terus menerus Leo membajak ladang, hanya diselingi istirahat sebentar untuk meneguk anggur putih. Peluh beraliran menembus bajunya.
Dengan menyindir Repin berkata: "Sahabatku Leo, itukah yang kau maksud makan dari cucur keringat yang membanjiri jidat?"
Dengan tersenyum dia menjawab: "Ketika jasmaniah adalah yang terberat, tak dapat itu kusangkisan lagi."
Adakah orang yang miskin itu bisa juga merasakan bahagia? Berkat pergaulannya yang akrab dengan petani-petani yang miskin dia bisa memperoleh jawabannya. Dengan gembira dia berulang-ulang menceritakan pengalamannya kepada sahabat-sahabatnya.
"Kini saya mempunyai pandangan yang lebih jelas tentang kebahagiaan keluarga. Kalau saya berbicara tentang kebahagiaan keluarga mau tak mau saja lalu teringat akan percakapan saya dengan seorang petani yang bernama Gordei Deyev bertahun-tahun yang telah silam. Dia tinggal di Yasnaya Polyana."
"Mengapa engkau demikian muram, Gordei?" tanyaku kepadanya.
"Apakah ada sesuatu yang telah terjadi?"
“Bencana besar telah terjadi, Leo, istriku telah meninggal,” jawabnya.
"Apakah istrimu masih muda?"
"O, sama sekali tidak. Dia beberapa tahun lebih tua dari aku. Perkawinanku dengan dia bukanlah atas pilihanku sendiri."
"Aku tahu, pasti seorang pekerja yang baik."
"Pekerja yang baik? Sdalah dugaanmu, Leo. Dia sama sekali bukan pekerja. Senantiasa dia pesakitan. Sepuluh tahun yang terakhir ini dia harus selalu berbaring di tempat tidur, sama sekali tak bisa apa-apa."
"Mengapa engkau kini sangat putus asa? Bukankah kini bebanmu jadi lebih ringan?"
"Ah, bagaimana katamu itu, Leo? Lebih ringan? Kamu salah sangka. Telah menjadi kebiasaan, bila aku pulang kerja dia bertanya dari tempat tidurnya: Adakah, engkau memperoleh rezeki hari ini, Gordei? Siapakah yang akan menyambutku dengan pertanyaan itu sekarang, Leo?"
Perasaan inilah — kata Leo —yang lebih tinggi nilainya daripada kekayaan maupun kedudukan dan yang mendatangkan kebahagiaan serta memberi arti pada hidup kekeluargaan. "Kini aku tahu, kebahagiaan dapat menyelinap di pondok si miskin yang selalu dirundung derita," ujarnya.
Seperti telah dinyatakan di atas, sebagai seorang pemilik tanah yang luas, Tolstoy tidak segan-segan memegang bajak untuk mengolah tanah. Kadang-kadang di masa senggang dia bekerja di ladang. Tidak pernah dia merasa malu mengerjakan pekerjaan tangan yang sering dianggap hina oleh para bangsawan. Kepada murid-muridnya sering terdengar nasihatnya, agar mereka tidak malu mengerjakan pekerjaan kasar dan memiliki rasa hormat terhadap pekerjaan tersebut.
Begitulah pedoman hidup Tolstoy. Tak hanya dalam hubungan antarmanusia, dalam sastra dia juga mempunyai pedoman yang tak kalah kuatnya.
[...]
Mengenai karya sastra, Tolstoy mempunyai pendirian yang sering dijadikan pedoman oleh sastrawan-sastrawan muda yang ingin memperoleh kemajuan dalam bidangnya. Kepada sastrawan-sastrawan muda yang meminta nasihatnya, dia selalu berkata:
"Dalam setiap karya sastra, kita harus memperhatikan tiga unsur: Pertama-tama yang terpenting adalah masalah yang harus dibentangkan oleh pengarang. Kedua kegandrungan yang diperhatikan oleh pengarang terhadap masalah yang akan dibentangkan tersebut. Ketiga teknik yang dimiliki oleh pengarang dalam menyatakan masalah tersebut. Hanyalah harmoni yang komplet antara apa yang akan dinyatakan oleh pengaran serta kegandrungannya terhadap masalah tersebut dapat menciptakan karya sastra yang sejati. Jika kedua unsur ini terpenuhi, unsur yang ketiga yaitu teknik akan datang dengan sendirinya."
"Turgenev misalnya, hanya memiliki sedikit masalah yang bisa dikemukakan tapi dia memiliki kegandrungan yang besar terhadap masalah tersebut dan tekniknya pun sangat mengagumkan. Sebaliknya Dostoyevsky memiliki bahan yang sangat banyak, tetapi tak memiliki teknik sama sekali. Sedangkan Nekrasov memiliki bahannya serta tekniknya tapi dia tidak punya kegandrungan yang muncul terhadap masalahnya."
Sebagai pengarang Tolstoy tidak menutup mata terhadap kejadian-kejadian di sekitarnya. Malah dia sering memperoleh inspirasi dari keadaan di sekitarnya itu. Untuk keperluan buku-buku yang akan ditulisnya, tidak jarang dia mengunjungi gedung pengadilan di Moskow dan Tula untuk memperoleh gambaran yang jelas tentang jalannya pemeriksaan pengadilan.
Ia sering pula mengunjungi rumah-rumah penjara untuk mempelajari sifat-sifat individu yang terasing. Secara pribadi dia menemui dan mewawancarai para narapidana.
[...]
Tokoh Titan dari Yasnaya Polyana
Tolstoy adalah seorang keturunan tuan tanah dari suatu keluarga yang namanya telah terkenal dalam beberapa masa sebelumnya, seorang kelahiran bangsawan hartawan antirevolusioner, tapi lambat laun sifat-sifat warisan leluhurnya itu makin luntur dan lenyap Leo dilahirkan pada 28 Agustus 1817 di St. Petersburg.
Tidak beberapa lama kemudian ayah-ibunya meninggal dunia. Dia bersama adiknya dirawat oleh sang bibi. Pendidikan kanak-kanak di kalangan bangsawan pada umumnya di masa itu diserahkan kepada guru-guru bangsa Jerman dan Prancis.
Leo pun mendapat pendidikan serupa itu. Setelah Leo mencapai usia 15 tahun jiwanya terpengaruh oleh pengarang-pengarang klasik Prancis, terutama tokoh Rousseau sangat digemarinya. Dia menuntut pelajaran di Universitas Kazan, dia belajar bahasa Timur dan ilmu hukum. Dia bergaul dengan para hartawan dan tidak berapa lama dia pun merasa tidak senang maka ditinggalkannya universitas tanpa diploma. Kemudian dia tinggal di Yasnaya Polyana untuk mengurus tanahnya, tapi rupanya Leo tidak mempunyai perhatian tentang tanah yang diurusnya, maka penghasilan Polyana pun dengan sendirinya merosot.
Segala peristiwa pengalamannya itu menimbulkan berbagai pemikiran dan perenungan dalam kalbunya. Dia dia pun mulai mencari jawaban atas pertanyaan apakah tujuan dan gunanya kehidupan manusia di dunia ini? .
Kemudian Leo pindah ke Moskow di sana dia semakin menemui kehidupan yang hampa dari pergaulannya dengan pemuda-pemuda bangsawan. Suasana salon-salon Moskow menjemukan dia pun pindah ke Kaukasus sebagai anggota pasukan sukarelawan. Dia menggabungkan diri pada kesatuan artileri. Lalu dia dipindahkan ke pantai sungai Donau untuk menangkis serangan-serangan tentara Turki, kemudian dia dipindahkan ke Sebastopol yang dikepung musuh.
Di Kaukasus itulah mulai mengarang. Nekrasov pemimpin majalah sastra di St. Petersburg memuat karangan-karangan Tolstoy dan mencapai sukses sehingga nama Tolstoy jadi tenar.
Tolstoy pernah dua kali keluar negeri, tapi setelah dikenalnya Paris dia kecewa, harapannya untuk mendapat pelajaran dari Barat tidak terpenuhi. Dia kemudian kembali ke Yasnaya Polyana sebagai tuan tanah serta menjabat semacam hakim perantara dalam tiap perselisihan antara tuan tanah dengan para petani.
Selain itu dia juga membuka sekolah untuk anak-anak petani berdasarkan teori-teori dan kepercayaannya. Tolstoy percaya, bahwa bakat manusia dapat dikembangkan bila tidak ada rintangannya. Dia pun menerbitkan majalah pedagogis yang bernama “Yasnaya Palvana”.
Dia menikah dengan Sophia Andreyevna dan dianugerahi anak 9 orang. Tampaknya dia bahagia tidak kekurangan suatu apa pun, namun diam-diam jiwa Tolstoy terus bergolak. Lama kelamaan kesenangannya kepada kebendaan lenyap. Timbul pertanyaan dalam hatinya, apakah dia berhak menikmati semua kesenangan itu, sedangkan jutaan rakyat hidup melarat?
Dia selalu menganjurkan supaya manusia jangan berbuat kejahatan terhadap sesama manusia, jangan meminjamkan uang dengan bunga, jangan memperbudak sesama manusia, lebih lagi memeras keringan orang lain. Leo menjadi sangat terkenal di Rusia karena filsafat kemanusiaannya yang memberi harapan akan dunia yang lebih baik, hingga banyak pula orang datang dari berbagai jurusan untuk bertemu dengannya.
Adalah suatu hal yang sangat paradoksal, kalau Tolstoy menjadi mercu bagi orang-orang lain tetapi kehidupan keluarganya sendiri terbengkalai. Pada hari tuanya istri dan anak-anaknya tidak sepaham lagi dengan dia, pertentangan semakin sengit, sehingga Tolstoy akhirnya terpaksa meninggalkan mereka untuk mencari kebahagiaan jiwanya. SepertinyaTolstoybelum berhasil menyelami jiwa wanita pada umumnya. Khususnya istrinya sendiri.
[...]
---
Begitulah riwayat singkat Leo Tolstoy sastrawan Rusia yang baru-baru viral karena disebut-sebut oleh Silfester dalam debatnya dengan Rocky Gerung.