Find Us On Social Media :

Dialah yang Lolos dari Lubang Buaya pada Malam Jahanam 1 Oktober 1965

By Moh. Habib Asyhad, Sabtu, 31 Agustus 2024 | 11:29 WIB

Sukitman menjadi saksi kunci Gerakan 30 September 1965. Bergelimang penghargaan karena jasa-jasanya.

"Kamu tidak usah takut. Kita sama-sama prajurit. Beli kaus singlet pun kita sudah tidak bisa. Sementara para jenderal yang menamakan diri Dewan Jenderal, jam dinding di rumahnya saja terbuat dari emas dan mereka akan membunuh Presiden pada tanggal 5 Oktober. Kamu 'kan tahu Cakrabirawa tugasnya adalah sebagai pengawal dan penjaga Presiden," kata Sukitman mengulangi apa yang diucapkan si anggota Cakra tersebut.

Waktu itulah Sukitman baru merasa agak tenang, meskipun ia masih tetap diawasi. Ternyata anggota Cakra itu sudah di-drill, karena langsung berada di bawah komando Letkol Untung.

Sekitar satu dua jam kemudian melalui radio disiarkan, siapa yang mendukung G30S itu akan dinaikkan pangkatnya. Satu tingkat untuk prajurit, sementara yang aktif akan memperoleh kenaikan pangkat dua tingkat. Mendengar pengumuman itu semua yang merasa terlibat bersalam-salaman, karena merasa gerakan mereka sukses.

Setelah suasana agak tenang, Sukitman dipanggil oleh Lettu Dul Arief yang menanyakan di mana senjata Sukitman. Sukitman menjelaskan apa yang terjadi ketika ia berada di daerah Kebayoran. Akhirnya senjata itu bisa ditemukan, walaupun dalam keadaan patah.

Mengira Sukitman bukan musuh, bahkan teman senasib, Jumat sore itu Sukitman diajak menuju Halim bersama iring-iringan pasukan. Sesampai di Gedung Penas (daerah Bypass, sekarang Jl. Jend. A. Yani) pasukan itu diturunkan di lapangan, sementara Sukitman masih bersama Dul Arief.

Pada malam harinya, entah mengapa, orang yang mengawasi tawanannya malah mengajak Sukitman untuk mengambil nasi. "Ke mana?" tanya Sukitman. "Ke Lubang Buaya, tempat para jenderal dibunuh," jawab Kopral Iskak, orang yang mengajaknya tersebut.

"Pada waktu itulah saya baru tahu bahwa yang dikatakan 'Ganyang kabir, ganyang kabir!' itu para jenderal," ungkap Sukitman. Jalan yang diambil melewati Cililitan, Kramat Jati, Pasar Hek bukan sesuatu yang asing bagi Sukitman, karena dulu ia pernah mengikuti latihan di daerah itu. Keadaan masyarakat masih tenang, karena belum menyadari apa yang terjadi. Saat itu waktu sudah menunjukkan pukul 23.00. Manusia-manusia haus darah itu masih diliputi suasana "kemenangan".

Selesai mengambil nasi mereka segera kembali ke Gedung Penas untuk membagikannya kepada para pasukan. "Ketika kembali menuju Gedung Penas itu saya sempat turun untuk membeli rokok. Saya pikir mendingan saya terus pulang saja," kata Sukitman.

"Jangan," kata Kopral Iskak yang menjadi sopir. "Saya juga pulangnya ke Tanah Abang." Ternyata Iskak adalah sopir Letkol Untung, yang mengotaki pemberontakan berdarah ini.

Karena kelelahan, akhirnya Sukitman tertidur.

Hari Sabtu pagi Sukitman mulai pasang mata lagi. Hari itu semakin siang, anggota pasukan semakin banyak dan mereka sudah berganti pakaian. "Rupanya mereka sudah mempersiapkan segalanya," komentar ayah tiga anak ini.

Dalam suasana yang kurang menguntungkan itu Sukitman masih sempat jajan untuk mengganjal perutnya. "Tapi kesempatan untuk melarikan diri sama sekali tidak mungkin."