Penulis
Pada tanggal 9 Desember 1947, tragedi berdarah melanda Rawagede. Pasukan Belanda, bagaikan badai baja, menerjang desa yang tak bersalah ini. Mereka datang dengan dendam membara, berniat mematahkan semangat juang rakyat Indonesia yang baru saja meraih kemerdekaan.
Dipimpin oleh Mayor Alphons Wijman, pasukan Belanda memburu Kapten Lukas Kustario, seorang komandan pejuang kemerdekaan yang gagah berani. Mereka mengira Lukas bersembunyi di Rawagede. Namun, informasi tersebut keliru. Lukas berada di tempat lain, berjuang di medan perang yang berbeda.
Kekecewaan Belanda berujung pada kekejaman yang tak terperi. Tanpa ampun, mereka membantai penduduk Rawagede dengan brutal. Rumah-rumah dibakar, harta benda dirampas, dan nyawa-nyawa tak berdosa melayang. Teriakan histeris dan tangisan pilu menggema di angkasa, mengiringi genangan darah yang mewarnai tanah Rawagede.
Lebih dari 400 jiwa melayang dalam tragedi Rawagede. Mayoritas korban adalah laki-laki, namun perempuan dan anak-anak pun tak luput dari keganasan Belanda. Desa Rawagede berubah menjadi neraka di bumi, meninggalkan luka mendalam bagi para penyintas dan bangsa Indonesia.
"Kami harus membentuk dua barisan, masing-masing barisan tujuh orang. Lalu kami ditembak dari belakang, dari jarak sekitar dua meter. Ayah saya, Bapak Locan, ada di barisan bersama saya. Saat tentara menembak, laki-laki di belakang saya sebagai tameng. Peluru langsung menembusnya dan hanya menyerempet punggung saya. Orang malang itu langsung mati dan jatuh di atas saya. Sebelum tentara pergi, mereka menembak satu per satu lagi untuk memastikan kami mati Saya adalah satu-satunya dari empat belas orang yang berhasil keluar hidup-hidup" Ungkap yang selamat dari Bapak Saih dalam 'Janda Rawagede: Saksi Perang Dekolonisasi' karya Suzanne Liem.
"Dia ditembak mati dari belakang. Bersama empat temannya, saya membawa jenazahnya pulang ke rumah di atas bangku bambu yang berfungsi sebagai tandu. Saya memandikannya, membungkusnya dengan kain, dan menguburkannya sendiri," Saksi Mata Ibu Wanti binti Taswi dalam 'Janda Rawagede: Saksi Perang Dekolonisasi' karya Suzanne Liem.
Dia menjadi janda akibat pembantaian Rawagede.
"Ya begitulah," pikirku saat itu,
"Itulah kami dan merekalah yang menjadi korban kekerasan kami. Masyarakat desa manis biasa." Veteran Jan Glissenaar, dalam artikel Volkskrant tanggal 23 Desember 1999 tentang kunjungan ke monumen di Rawagede.
Glissenaar tidak terlibat dalam pembantaian Rawagede, namun terlibat dalam aksi kekerasan serupa.
Pembantaian Rawagede bukan tragedi tunggal. Kekejaman Belanda tak hanya terjadi di Rawagede, tapi juga di berbagai wilayah di Indonesia. Agresi Militer I dan II yang dilancarkan Belanda menjadi bukti nyata kekejaman mereka dalam upaya menjajah kembali Indonesia.
Pertempuran Rawagede menjadi simbol kegigihan rakyat Indonesia dalam mempertahankan kemerdekaan. Di tengah kekejaman Belanda, semangat juang mereka tak pernah padam. Mereka bangkit dari keterpurukan, bersatu padu melawan penjajah, dan akhirnya mengantarkan Indonesia pada kemenangan.
Sementara itu, di Belanda hampir tidak ada perhatian terhadap pembantaian tersebut. Pemerintah dan tentara menganggap kejadian di Rawagede sebagai tindakan pembersihan yang perlu.
Rawagede dikatakan sebagai benteng perlawanan dan orang-orang yang terbunuh adalah teroris yang berbahaya. Pandangan ini juga dimuat di surat kabar Belanda, seperti Volkskrant terbitan 23 Desember 1947.
Penyelidikan PBB pada bulan Januari 1948 menemukan bahwa tidak ada kematian atau cedera yang terjadi di antara para penyerang dan tidak ada senjata api yang ditemukan di desa tersebut. Namun laporan PBB tersebut tidak mendapat perhatian berarti dan Rawagede hilang dari ingatan Belanda.
Jenderal Spoor umumnya cenderung mengabaikan penggunaan kekerasan ekstrem yang dilakukan angkatan bersenjata Belanda dan mengabaikan kepala perwira yang bertanggung jawab, seperti yang dilakukannya terhadap Kapten Raymond Westerling.
Fakta bahwa Wijnen adalah seorang pejuang perlawanan yang telah menyelamatkan nyawa orang-orang Yahudi dan pilot Sekutu dalam Perang Dunia Kedua, dan yang kemudian pergi ke wilayah Sekutu sebagai pelaut Inggris dan kemudian berkontribusi pada pembebasan Belanda sebagai anggota Putri. Brigade Irene Belanda, kemungkinan besar berperan dalam keputusan menutup-nutupi Rawagede.
Tragedi Rawagede menjadi pengingat bagi kita semua tentang harga mahal yang harus dibayar untuk meraih kemerdekaan. Darah para pahlawan yang gugur tak boleh sia-sia. Kita harus terus menjaga kemerdekaan ini dengan sepenuh hati, dan mengisi kemerdekaan dengan karya-karya terbaik untuk bangsa.
Di atas puing-puing Rawagede yang hancur, kini berdiri kokoh sebuah monumen sebagai pengingat akan tragedi berdarah itu. Monumen Rawagede menjadi simbol perlawanan rakyat Indonesia, dan menjadi pengingat bagi dunia tentang kekejaman kolonialisme.
Kisah Rawagede adalah elegi bagi para korban, dan seruan semangat bagi generasi penerus. Kita harus terus belajar dari sejarah, dan memastikan bahwa tragedi seperti Rawagede takkan pernah terulang lagi. Mari kita jaga persatuan dan kesatuan bangsa, demi Indonesia yang lebih maju dan sejahtera.
*