Find Us On Social Media :

Pertempuran Rawagede dan Kejahatan Perang Belanda atas Indonesia

By Afif Khoirul M, Rabu, 24 Juli 2024 | 15:30 WIB

Dalam peristiwa pembantaian Rawagede, ratusan penduduk sipil di Rawagede tewas di ujung bedil serdadu Belanda pada Desember 1947.

 

---

Intisari-online.com - Di ufuk timur Jawa Barat, mentari pagi menyapa desa Rawagede yang damai. Gema kehidupan pedesaan mengalun merdu, diiringi kicau burung dan tawa anak-anak yang bermain di pekarangan. Namun, kedamaian itu tak lama bersemi. Langit pagi yang cerah tiba-tiba mendung kelam, diselimuti bayang-bayang ketakutan.

Pada tanggal 9 Desember 1947, tragedi berdarah melanda Rawagede. Pasukan Belanda, bagaikan badai baja, menerjang desa yang tak bersalah ini. Mereka datang dengan dendam membara, berniat mematahkan semangat juang rakyat Indonesia yang baru saja meraih kemerdekaan.

Dipimpin oleh Mayor Alphons Wijman, pasukan Belanda memburu Kapten Lukas Kustario, seorang komandan pejuang kemerdekaan yang gagah berani. Mereka mengira Lukas bersembunyi di Rawagede. Namun, informasi tersebut keliru. Lukas berada di tempat lain, berjuang di medan perang yang berbeda.

Kekecewaan Belanda berujung pada kekejaman yang tak terperi. Tanpa ampun, mereka membantai penduduk Rawagede dengan brutal. Rumah-rumah dibakar, harta benda dirampas, dan nyawa-nyawa tak berdosa melayang. Teriakan histeris dan tangisan pilu menggema di angkasa, mengiringi genangan darah yang mewarnai tanah Rawagede.

Lebih dari 400 jiwa melayang dalam tragedi Rawagede. Mayoritas korban adalah laki-laki, namun perempuan dan anak-anak pun tak luput dari keganasan Belanda. Desa Rawagede berubah menjadi neraka di bumi, meninggalkan luka mendalam bagi para penyintas dan bangsa Indonesia.

"Kami harus membentuk dua barisan, masing-masing barisan tujuh orang. Lalu kami ditembak dari belakang, dari jarak sekitar dua meter. Ayah saya, Bapak Locan, ada di barisan bersama saya. Saat tentara menembak, laki-laki di belakang saya sebagai tameng. Peluru langsung menembusnya dan hanya menyerempet punggung saya. Orang malang itu langsung mati dan jatuh di atas saya. Sebelum tentara pergi, mereka menembak satu per satu lagi untuk memastikan kami mati Saya adalah satu-satunya dari empat belas orang yang berhasil keluar hidup-hidup" Ungkap yang selamat dari Bapak Saih dalam 'Janda Rawagede: Saksi Perang Dekolonisasi' karya Suzanne Liem.

"Dia ditembak mati dari belakang. Bersama empat temannya, saya membawa jenazahnya pulang ke rumah di atas bangku bambu yang berfungsi sebagai tandu. Saya memandikannya, membungkusnya dengan kain, dan menguburkannya sendiri," Saksi Mata Ibu Wanti binti Taswi dalam 'Janda Rawagede: Saksi Perang Dekolonisasi' karya Suzanne Liem.

Dia menjadi janda akibat pembantaian Rawagede.

"Ya begitulah," pikirku saat itu,

"Itulah kami dan merekalah yang menjadi korban kekerasan kami. Masyarakat desa manis biasa." Veteran Jan Glissenaar, dalam artikel Volkskrant tanggal 23 Desember 1999 tentang kunjungan ke monumen di Rawagede.

Glissenaar tidak terlibat dalam pembantaian Rawagede, namun terlibat dalam aksi kekerasan serupa.

Pembantaian Rawagede bukan tragedi tunggal. Kekejaman Belanda tak hanya terjadi di Rawagede, tapi juga di berbagai wilayah di Indonesia. Agresi Militer I dan II yang dilancarkan Belanda menjadi bukti nyata kekejaman mereka dalam upaya menjajah kembali Indonesia.